Brilio.net - Pernah mendengar gangguan psikologis yang disebut-sebut dialami beberapa artis ternama seperti Marshanda, Demi Lovato, atau mendiang Robin Williams?
Yap, bipolar disorder atau sering disebut gangguan bipolar. Bi itu dua, dan polar itu kutub. Melalui wawancara dengan dosen sekaligus psikolog dari Universitas Muhammadiyah Surabaya, Jawa Timur, Fety Khosianah, disampaikan bahwa mengacu pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM)-IV-TR, gangguan bipolar merupakan salah satu gangguan suasana hati (mood) yang fluktuatif dan bertolak belakang dalam waktu yang relatif tak lama, di mana penderitanya mengalami episode-episode, yaitu:
BACA JUGA :
Cowokmu suka pedas? Mungkin aja dia cuma ingin tampak macho di depanmu
- Episode depresif, ditandai dengan kesedihan mendalam dan rasa tidak bersemangat. Bisa juga kehilangan berat badan dan energi serta memiliki pikiran untuk menyalahkan diri sendiri dan bunuh diri.
- Episode mania, ditandai semangat berlebihan, mudah tersinggung, lebih aktif dari biasanya, perhatian mudah teralihkan, dan memiliki harga diri tinggi dan tidak realistis.
Nah, untuk bisa didiagnosis mengalami gangguan bipolar, setidaknya memerlukan waktu minimal dua minggu mengalami gejala-gejala tersebut. Selain itu juga gejala-gejala tersebut terjadi cukup parah sehingga mengganggu fungsi sosial dan pekerjaan orang bersangkutan.
BACA JUGA :
7 Hal ini bisa kamu jadikan acuan menebak kepribadian unik seseorang
Salah satu penyebab gangguan bipolar adalah stres. Menurut Fety, sebetulnya episode depresi dan mania adalah salah satu mekanisme pertahanan diri seseorang terhadap kondisi psikologis yang merusak. Hal inilah yang terjadi pada Rian Kurnianing Purnama (31) asal Blora, Jawa Tengah. Awal dia didiagnosis mengalami gangguan bipolar adalah semenjak lulus kuliah dan masuk ke dalam pekerjaan yang jauh berbeda dengan latar belakang ilmu Rian yang mengambil jurusan Teknik Industri. Pekerjaan di perusahaan multimedia sebagai sekretaris direktur membuat wanita ini harus mempelajari banyak hal baru dan penuh tekanan.
"Jadi, saya sendiri pengennya kerja itu perfect. Lalu, waktu itu seharusnya saya mendapat training selama satu bulan dari sekretaris sebelumnya, eh, dianya hanya masuk satu hari. Terus mejanya berantakan banget, sementara saya sendiri sudah harus berurusan langsung dengan pekerjaan seperti mengurus harga sewa alat-alat, menghafal karakter orang. Belum lagi ada teman yang pengennya jadi sekretaris tapi ternyata ditempatkan di bagian lain," papar Rian saat dihubungi brilio.net, beberapa waktu lalu.
Saat dalam masa-masa penuh stressor atau tekanan di tempat kerja, satu ketika Rian pulang kerja dengan perasaan dan pikiran kosong. Sejurus kemudian dia demam, mengigau, lantas tak sadarkan diri. Langsung saja dia dibawa ke rumah sakit.
Sebetulnya, sebelum dia benar-benar didiagnosis mengalami gangguan bipolar, Rian telah sembilan kali keluar-masuk rumah sakit. Saat masuk ke rumah sakit pada kesempatan satu, dua, dan tiga, dia didiagnosis mengalami depresi akibat pekerjaan yang menekan tadi sehingga timbul stres, kecapaian, dan kondisi drop yang berakumulasi menjadi satu. Namun, pada kesempatan masuk rumah sakit ke-4 lah dia menunjukkan gejala mania. Rasa bahagia dan emosinya yang lain seakan tak terkendali.
Gejala yang dialami wanita yang hobi menulis cerita ini, saat dalam episode depresi adalah benar-benar merasa jatuh sejatuh-jatuhnya. "Tapi alhamdulillah nggak pernah sampai kepikiran bunuh diri. Soalnya kalau sudah down, saya berusaha mendekatkan diri sama Tuhan. Bahkan pernah mengurung diri di kamar kayak orang semedi," tutur wanita yang merupakan anak pertama dari lima bersaudara ini.
Sementara saat dalam episode mania, Rian merasakan ide di kepalanya berjejalan seakan ingin semua dikeluarkan. "Jadi, saya pengen nulis, bikin komunitas, dan banyak lagi sampai bingung mana nih, yang harus dilakukan terlebih dahulu."
Nah, saat dalam episode mania inilah Rian begitu on fire melakukan passion-nya. Namun saat niatannya justru mendapat larangan dari orangtua atau lingkungan tak mendukung, meledaklah amarahnya. Namun memang, emosi menggebu-gebu Rian yang juga aktif menjadi pengurus daerah Yogyakarta dan Jawa TengahBipolar Care Indonesia, tidak sampai bersifat atau berdampak destruktif.
"Tapi yang paling saya ingat adalah bahwa saya pernah orasi sepanjang jalan Malioboro, lho. Bahkan saya juga pernah ngamuk di kantor polisi karena suatu hal," tukas wanita yang pernah mengalami overdosis obat tidur sampai rasanya kepalanya mau pecah.
Lebih lanjut Rian menyampaikan bahwa sejauh ini respons orang terdekatnya masih belum menganggap gangguan bipolar itu 'wajar'. Menurutnya, orangtuanya masih sering khawatir berlebihan terhadap dirinya, padahal Rian juga ingin dipercaya bahwa dia bisa mandiri dan diberi ruang untuk berkarya. Teman-temannya pun juga masih memandangnya sebelah mata.
"Pernah saya ke kampus, ya pengen curhat gitu. Eh, ada temen bilang 'Eh, Mbak Rian ngapain ke sini? Pulang aja!' Duh, saya langsung sedih banget. Saya merasa kayak nggak punya tempat cerita," keluh Rian yang pernah mengalami penambahan berat badan menjadi 83 kilogram akibat efek samping obat untuk mengatasi gangguan bipolar disordernya tersebut.
Untuk mengatasi gangguan bipolar, Rian selama ini cukup sering berkonsultasi dengan dokter psikiatri. Di sisi lain, sebetulnya untuk mengatasi gangguan bipolar bukan hanya dari sisi medis (obat) yang diberikan dokter psikiatri. Fety menyambung bahwa terapi gangguan bipolar bisa berupa terapi psikologis dan biologis, baik sendiri-sendiri atau dikombinasikan.
"Tapi rata-rata menurut penelitian, berbagai terapi (yang diterapkan) justru cukup efektif," ungkap Fety.
Fety melanjutkan bahwa terapi obat biasanya menggunakan obat-obatan antidepresan seperti Prozac, Zoloft, yang berfungsi untuk mengembalikan serotonin selektif dan sebagainya. Sementara terapi psikologis biasanya menggunakan Cognitif Behavioral Therapy (CBT), Cognitif Therapy, Interpersonal Therapy, dan sebagainya.
Setelah bertahun-tahun hidup dengan bipolar disorder, Rian bisa mengambil hikmah bahwa kini dia lebih bisa memahami dirinya sendiri dan mengerti potensinya. Dengan adanya gangguan bipolar, dia bisa bercerita dalam sebuah buku utuh berjudul Ketika Aku Cinta Dirinya Juga DIA, namun memang masih menjadi konsumsi pribadi dan kalangan terdekat saja. Tapi keinginannya adalah menyebarkan buku kisah perjalanannya menjadi orang dengan gangguan bipolar kepada banyak khalayak di luar sana.
Rian yang sekarang aktif menjadi konsultan dan pelatih dalam pelatihan koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), berharap besar bahwa pemerintah dan masyarakat lebih sadar terhadap gangguan mental. "Menurut saya, orang dengan gangguan jiwa bukan yang ada di rumah sakit jiwa (RSJ) aja. Banyak yang nggak masuk RSJ di luar sana, sebenarnya juga mentalnya terganggu. Saya berharap semuanya bisa hidup berdampingan dengan damai," harapnya.
Selain itu, Rian juga berharap agar lebih banyak edukasi masyarakat untuk lebih memahami kesehatan mental, termasuk pegawai rumah sakit jiwa. "Soalnya saya pernah dipukul perawat karena posisi saya waktu itu mania. Perawat juga harus sadar bahwa setiap pasien punya karakternya sendiri-sendiri," imbuh Rian.