Brilio.net - Rancangan Undang-Undang Permusikan hingga kini masih menimbulkan polemik. Di kalangan musisi RUU ini masih menjadi perdebatan.
Bahkan, persoalan ini menyeret "perseteruan saling komentar" antaraJerinx 'Superman is Dead' dan Anang Hermansyah di sosial media.Tak sedikit musisi yang menolak RUU ini disahkan menjadi Undang-Undang.
BACA JUGA :
4 Musisi ini tanggapi bijak soal RUU Permusikan, tak asal tolak
Bagi mereka, rencangan aturan ini mengekang kebebasan berkespresi, bahkan merepresi para pekerja musik di Tanah Air. Banyak musisi yang beranggapan bahwa tidak ada urgensi apapun bagi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan Pemerintah untuk membahas dan mengesahkan RUU Permusikan ini.
Marcell Siahaan adalah salah satu musisi yang menolak keras hadirnya payung hukum ini. Menurut penyanyi yang juga seorang drummer ini, tujuan penyusunan RUU Permusikan ini sejak awal tidak jelas.
BACA JUGA :
Perlukah sertifikasi musik di kalangan musisi Indonesia?
Lalu Marcell merujuk pada Pasal 5 UU No.12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Di mana pada poin A dalam pasal itu menyebutkan bahwa peraturan perundang-undangan yang baik harus memiliki kejelasan tujuan.
Jika tujuannya saja tidak jelas maka mengacu pada poin berikutnya, tidak berdaya guna. Kalau payung hukum sudah tidak berdaya guna, kita nggak usah ribut-ribut ngomongin pasal yang itu atau ini. Dari awal saja sudah tidak benar, tegas Marcell yang ditemui di sela-sela mini konser Music Drip di Jakarta, baru-baru ini.
Bahkan Marcell mengibaratkan RUU Permusikan sebagai mangkuk bakso yang digunakan untuk minum di sebuah acara pesta cocktail.
Bagaimana jika kamu datang ke pesta cocktail tapi bawa mangkuk bakso? Mungkin ada yang bilang ya sudah ganti saja isinya. Tapi mangkuknya itu sudah salah, cacat hukum. Masa ke pesta cocktail bawa mangkuk bakso. Kan ada gelasnya sendiri untuk minum wine misalnya. Minum kopi saja ada gelasnya sendiri, papar Marcell.
Karena itu Marcell secara tegas menolak. Padahal, RUU ini sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas. Kalau masih ada yang berkutat di pasal-pasal, melakukan uji dan kajian ya silahkan saja. Tapi buat saya ruhnya saja sudah cacat hukum, tegasnya.
Lalu dia memberikan dua jalan tengah agar hal ini tidak berlarut-larut. Pertama, bongkar RUU ini. Lalu menyusun lagi dari awal dengan menentukan tujuan yang jelas. Siapa yang akan dilindungi. Setelah itu diadakan kajian dari sistem perundang-undangan yang sudah ada.
Misalnya, UU Hak Cipta (UU No 28 Tahun 2014), UU Pemajuan Kebudayaan (UU No 5 Tahun 2017), atau yang lainnya. Sejumlah payung hukum inilah yang mesti diuji jika dinilai kurang merepresentasikan dunia musik.
Revisi bisa dilakukan pada payung hukum yang sudah ada. Setelah itu pembuat UU bisa meminta semua masukan baik dari musisi, ahli budaya, ahli hukum yang mengerti sistem.
Kemudian dibuat peraturan di bawahnya yang lebih spesifik. Jadi untuk RUU ini (Pemusikan) tidak ada kata revisi. Tolak!, tegas Marcell.
Kedua, buatkan UU baru dari awal lagi. Bentuknya UU tapi harus menjadi lex specialis dari UU yang sudah ada. Artinya, UU yang sudah ada harus menjadi rujukan dari UU yang akan dibuat.
Namanya juga pasti bukan UU Permusikan. Tata kelola musik juga masih terlalu luas. Harus dicari nama yang lebih spesifik lagi, katanya.
Selain itu, Marcell menuding jika RUU Permusikan dibuat lantaran saat ini banyak warga Indonesia ketakutan akan ujaran kebencian dan hoax.
Apalagi ada ketentuan pidana, memang musisi itu siapa. Tahu tidak kenapa? Kita itu sudah takut sekali dengan ujaran kebencian, hoax, jadi undang-undangan baru pun dimasukan aspek-aspek seperti itu, paparnya.
Setali tiga uang dengan Marcell, DJ Dipha Barus juga secara tegas menolak RUU Permusikan ini. Menurutnya, RUU ini sebagai bentuk pemasungan kreativitas musisi.
Gue memilih musik sebagai media berkespresi dan membahasakan semua pandangan gue tanpa tekanan, tanpa ada batasan. Kalau ditanya mendukung apa menolak, jelas gue menolak, kata Dipha.
Menurut Dipha, hampir semua pasal dalam RUU ini tidak masuk akal. Pasal-pasal tersebut sangat mengekang musisi untuk berekspresi. Begitu juga mengenai masalah sertifikasi profesi yang tidak jelas tujuannya. Musik itu tidak bisa dibatasi untuk musisi yang mengekspresikan karyanya, katanya.
Sejumlah musisi beranggapan RUU Permusikanmengatur persoalan yang sudah diatur dalam beberapa Undang-Undang yang sudah ada. Karena itubanyak mendapat penolakan.
Bukan cuma para musisi yang menolak RUU Permusikan ini, sejumlah elemen masyarakat pun telah menandatangani petisi#TolakRUUPermusikan di laman Change.org. Hingga berita ini dibuat, sudah lebih dari 266 ribu orang yang menandatangani petisi ini.
Akankah RUU Permusikan ini lolos menjadi payung hukum atau kandas di tengah jalan? Tunggu saja kelanjutannya.