Brilio.net - 11 Maret 1966 menjadi salah satu momen bersejarah bagi bangsa ini. Keluarnya Surat Perintah 11 Maret, yang kemudian dikenal sebagai Supersemar, ternyata menjadi langkah awal perpindahan kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto, kemudian menjadi presiden kedua RI.
50 tahun berlalu, misteri tentang Supersemar tak pernah bisa terpecahkan. Apakah betul Supersemar tersebut memang pengalihan kekuasaan. Dalam pidatonya pada 17 Agustus 1966 dengan judul "Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah" (Jasmerah), atau lima bulan setelah Supersemar keluar, Soekarno menegaskan Supersemar bukanlah transfer of sovereignity dan bukan pula transfer of authority. Sama sekali bukan pengalihan kekuasaan.
Tapi, yang terjadi Jenderal Soeharto menafsirkan sendiri Supersemar. Dikutip brilio.net dari laman historia.id Soeharto tidak melaksanakan perintah Supersemar dan mengambil tindakan sendiri di luar perintah Presiden Soekarno. Padahal perintah Soekarno kepada Soeharto dalam Supersemar jelas, untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memulihkan ketertiban dan keamanan umum, yang pada waktu itu kabarnya mengarah chaos.
Soeharto justru mengambil langkah-langkah sendiri. Pertama, membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan Surat Keputusan Presiden No. 1/3/1966 yang ditandatanganinya pukul 04.00 Sabtu, 12 Maret 1966.
Langkah kedua, adalah mengeluarkan Surat Keputusan Presiden No. 5 tanggal 18 Maret 1966 tentang penahanan 15 orang menteri yang dianggap terkait PKI dan terlibat Gerakan 30 September 1965.
Sejumlah langkah penting tersebut, selain tindakan lainnya, pada akhirnya mengantarkan Soeharto berkuasa menggantikan Soekarno. Soeharto berkuasa penuh ketika dilantik sebagai penjabat presiden pada 12 Maret 1967.
BACA JUGA :
Dari Nazi hingga Bung Karno, ini 23 foto lawas eksotisnya Pulau Bali
Jusuf Wanandi, saksi sejarah sekaligus aktivis KAMI ketika Supersemar keluar, dalam memoarnya Menyibak Tabir Orde Baru menyimpulkan jika Supersemar adalah kemenangan hukum dan politik Soeharto".