Brilio.net - Kehebatan anak-anak kecil yang berpartisipasi dalam ajang International Islamic School Robot Olympiad (IISRO) 2015 yang dilaksanakan di Universitas Islam Indonesia (UII) 19-21 Agustus 2015 pasti membuat orang-orang berdecak kagum. bagaimana tidak, anak-anak kecil usia Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) telah lihai dalam membuat dan memrogram robot.
Dengan cekatan, siswa-siswa SD itu memrogram robot yang telah mereka siapkan agar bisa berjalan sesuai ketentuan lomba. Saat robot yang mereka uji coba ternyata tak berjalan sesuai rencana, dengan lincah mereka mengotak-atik robot itu agar sesuai yang mereka inginkan.
BACA JUGA :
UII diramaikan dengan sumo, tapi bukan sumo beneran lho!
Mereka beradu kelincahan dan ketepatan dalam memainkan robot itu. Hal itu tentu membuat orang bertanya-tanya, bagaimana prosesnya hingga anak-anak usia SD itu bisa mahir bermain robot hingga ikut kompetisi internasional?
Kiki Windasari (23), pelatih robotika SD Muhammadiyah 4 Surabaya menjelaskan jika anak-anak tersebut telah melalui proses latihan rutin hingga bisa seperti itu. Di SD Muhammadiyah 4 Surabaya sendiri, ekstrakurikuler robotika diikuti siswa mulai kelas 3 SD. Siswa ikut berdasarkan kemauannya sendiri.
Pada tahap awal, Kiki memberikan penjelasan apa itu robot. Kebanyakan anak-anak berpikir kalau robot itu seperti Transformer atau mirip dengan manusia. "Terus kita kasih pengertian kalau robot itu untuk membantu atau mempermudah pekerjaan manusia," terang Kiki kepada brilio.net di area IISRO 2015, Kamis (20/8).
BACA JUGA :
Kisah dua sahabat yang gila robot, selalu bersama sejak kelas 3 SD
Alumni Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya itu menjelaskan jika robotika untuk siswa SD itu belum begitu mendalam seperti tingkatan di atasnya. Siswa SD belum diproyeksikan untuk membuat robot, tetapi baru melakukan pemrograman agar robot bisa melakukan perintah seperti yang diinginkan.
"Kita kenalkan juga dengan komponen-komponennya, karena untuk pemrograman kan harus tahu bagian-bagian robot," kata Kiki yang sudah 3 tahun menjadi pelatih di SD Muhammadiyah 4 Surabaya.
Latihan dilakukan minimal 2 kali dalam satu minggu. Siswa kelas 3 SD mulai diajari dengan robot Line Tracer yang menggunakan dua sensor. Setelah mereka mengerti dengan dua sensor, baru diajari dengan multi sensor dan robot yang menggunakan pemrograman seperti Rescue ataupun Mission Challenge.
Kiki menjelaskan jika robotika sangat mendukung perkembangan otak anak. Hal itu karena untuk melakukan pemrograman harus mengerti bahasa pemrograman yang menuntut logika yang kuat. "Anak-anak jadi punya respon yang tinggi dan lebih kreatif. Lebih positif bermain robot daripada hanya bermain gadget," ungkap Kiki.
Meski begitu, orang tua memang harus merogoh saku yang cukup dalam untuk memenuhi kebutuhan anaknya ikut robotika. Satu robot sederhana, terang Kiki, membutuhkan minimal dana Rp 700.000. Sedangkan untuk robot yang sudah menggunakan pemrograman bisa lebih dari Rp 1 juta.