Brilio.net - Orang kebanyakan pasti akan berpikir dua kali untuk meninggalkan pekerjaan yang telah menghidupinya selama bertahun-tahun. Tapi tidak demikian dengan Bambang, Ketua Kelompok Tani Karya Membangun Desa Kasiau Raya di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan.
Padahal sejak 2006 Bambang bekerja sebagai mandor (foreman) di sebuah perusahaan tambang batu bara di Kabupaten Tabalong. Namun Bambang merasa posisinya di perusahaan itu kurang menjanjikan secara finansial untuk menghidupi keluarganya. Lalu, pada 2011 Bambang memutuskan berhenti dari pekerjaannya. Saya berhenti karena tidak ada hasilnya. Gaji satu bulan habis begitu saja, tukas Bambang.
Saat memilih berhenti dari pekerjaannya, Bambang mendapat tawaran pemerintah membuka lahan semak belukar di Desa Kasiau Raya untuk dijadikan lahan pertanian. Saat itu Bambang melirik bisnis karet yang cukup menjanjikan. Maklum, harga jual karet ketika itu d ikisaran Rp 20 ribu per kilogram. Bambang, pun langsung berpikir menjadikan karet sebagai komoditas utama yang akan digarap bersama teman-temannya.
BACA JUGA: Rino & Idalina, suami-istri yang sukses berkat beras organik, keren!
Desa Kasiau Raya atau yang dikenal Desa Manunggul merupakan kawasan operasional Pertamina EP, anak perusahaan Pertamina (persero). Di kawasan inilah Bambang dan kawan-kawannya membuka lahan seluas 50 hektare untuk dijadikan lahan pertanian.
Tak tanggung-tanggung, pemerintah juga menggulirkan dana hingga Rp 500 juta untuk pembukaan lahan tersebut. Lewat program ini, lahan yang tadinya semak belukar diubah menjadi lahan yang siap digarap untuk bercocok tanam guna memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Tujuan program ini tak lain untuk menunjang ketahanan pangan.
Bambang dan kawan-kawan tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Mereka mulai mengolah kebun karet. Dari situ Bambang dapat menghidupi keluarganya dengan dua orang anak yang kini sudah menginjak usia remaja. Namun belakangan harga karet anjlok, hanya Rp 6.000 per kilogram. Kondisi ini membuat Bambang harus memutar otak agar tetap bisa bertahan mengolah lahan pertanian.
Akhirnya, dari petani karet, Bambang bersama teman-temannya melirik komoditas lain yakni padi. Mereka mulai menggarap lahan pertanian dengan bermodalkan pengetahuan seadanya. Bahkan bibit tanaman mereka beli secara kelompok. Awalnya hasil yang diperoleh tidak terlalu banyak, sekitar 1,5 ton sekali panen. Untuk dikonsumsi sendiri saja sampai setahun tidak cukup, ujar Bambang.
Nasib baik mulai berpihak kepada Bambang pada 2013 saat perusahaan migas nasional itu melirik potensi lahan pertanian yang dia garap. Selain itu para petani mau bekerja keras mengolah lahan mereka. Dari situlah Bambang mendapat bimbingan dari Balai Penyuluhan Pertanian Murung Pudak.
Keinginan keras untuk belajar membuat Bambang menjadi pribadi yang tekun dan ulet. Dia mengajak 19 orang temannya yang tergabung dalam kelompok tani untuk ikut dalam program Sekolah Lapang Good Agriculture Practice (SLGAP) yang digagas perusahaan migas tersebut.
Program ini mengajarkan para petani cara pemilihan bibit yang baik, pengelolaan lahan, sistem bertani yang benar, dan penanggulangan hama. Di mana semua sistem yang diterapkan menggunakan pola pertanian organik.
Salah satu ilmu yang didapat Bambang dan teman-temannya adalah pola tanam yang menerapkan sistem legowo. Ini merupakan pola baru yang dirasakan Bambang. Maklum, sebelumnya Bambang bersama rekan-rekannya menerapkan pola tanam ngasal. Istilahnya, yang penting nanam, tumbuh dan dipanen.
Namun, setelah mendapatkan pelajaran berharga, Bambang pun menerapkan pola tanam baru tersebut. Hasilnya, tak sekadar ilmu pengetahuan yang didapat, tapi hasil panen juga melimpah. Pada tahun pertama (2013), hasil panen yang didapat Bambang mencapai 3,2 ton gabah basah. Sementara pada tahun kedua hasilnya mencapai 6,3 ton. Keberadaan beras organik ini sekaligus bisa meningkatakan kesadaran masyarakat Tabalong agar hidup lebih sehat tanpa bahan kimia.
BACA JUGA :
Kisah penjual madu keliling ini bikin miris netizen