Brilio.net - Meninggalkan 'kemapanan' untuk membangun bisnis sosial yang belum tentu mulus adalah langkah berani yang diambil mantan dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya ini.
Setelah 8 tahun menjadi dosen berstatus pegawai negeri sipil (PNS), Bukik Setiawan (40) memutuskan untuk menekuni bidang pendidikan yang menyentuh segmen anak-anak. Indonesia bercerita adalah karyanya yang mulai dibentuk pada tahun 2010, sekitar 2-3 tahun sebelum resmi mengundurkan diri dari instansi terkait.
Hatinya tergerak membentuk bisnis sosial Indonesia Bercerita (@IDcerita) setelah melihat anak gadisnya, Damai (9) yang kala itu hobi merekam cerita, kemudian mengunggah dan membagikannya di media sosial. Dia pun berpikir bahwa pendidikan anak di negara ini hanya sebatas sekolah formal saja. Padahal pendidikan utama anak bermula dari keluarga.
"Kebanyakan orangtua mengasosiasikan begini, pokoke anakku wis sekolah yo wis(pokoknya anakku sudah sekolah ya sudah). Hal ini bukan hanya berlaku di kalangan bawah aja, di kalangan menengah-atas juga begitu," ujarnya pada brilio.net, Sabtu (28/2).
Nah, tujuan utama adanya Indonesia Bercerita itu adalah penguatan keluarga Indonesia dalam mendidik anak melalui cerita. Bedanya dengan gerakan dongeng-dongeng lain yang ada, Indonesia Bercerita ini memanfaatkan teknologi berupa podcast (mp3).
Podcast ini berisi cerita-cerita anak yang akan diceritakan orangtua kepada anak-anak mereka. Hal seperti ini sebetulnya juga sudah banyak berlaku di luar negeri, seperti Amerika. Tapi pada faktanya, Indonesia Bercerita dengan produk unggulan podcast yang bisa diunduh secara gratis ini, justru tidak ada kabarnya lagi. Alias mati suri sampai hari ini.
"Soalnya budaya podcast di sini belum terbentuk ekosistemnya. Jangankan kita, podcast-podcast sebelumnya juga banyak yang bubar, kok," tukas Bukik menambahkan.
Setelah Indonesia Bercerita mati suri, dibuatlah terobosan baru bernama 'Takita'. Takita sendiri merupakan nama salah satu admin dari Indonesia Bercerita.
Program unggulan Takita ini adalah boneka anak perempuan yang disertai panduan. Maksud panduan itu adalah untuk memanfaatkan boneka Takita sebagai sarana bercerita. Diharapkan dengan adanya boneka Takita, orangtua mau meluangkan waktu pada akhir pekan bersama anaknya. Tapi ternyata, program ini pun usianya tak lebih panjang dari sistem podcast Indonesia Bercerita.
"Setelah berjalan 4 bulan, kami evaluasi ternyata bukan solusi untuk orangtua yang sibuk terus menghabiskan akhir pekan bersama anak mereka. Akhirnya, kami ubah bekerja sama dengan Indigo Incubator dari Telkom Indonesia," jelas pemilik akun twitter @bukik ini.
Tawaran kerja sama dari Indigo Incubator disambut antusias oleh Bukik untuk mentransformasi boneka Takita ke sebuah aplikasi. Aplikasi ini digunakan untuk mendidik dan mengajarkan anak tentang hobinya melalui program yang fun.
"Jadi, Takita app ini ada di App Store yang berisi menu-menu pendukung kesukaan anak. Misalnya, pengen nyanyi, sentuh aja menu nyanyi. Lalu ada tantangan yang harus dilalui anak itu. Atau pengen jadi fotografi juga ada. Tapi ternyata nggak lama juga. Sudah nggak ada aplikasinya," jelasnya saat diwawancara melalui video call.
Bukik menambahkan bahwa ketidakberhasilan Takita app ini karena respons dari orang, khususnya orangtua anak, tidak begitu besar. Sehingga tidak mencapai target pasar yang telah disepakatinya dengan pihak developer.
Selesai dengan podcast Indonesia Bercerita, boneka Takita, dan Takita app, Bukik tidak lantas patah arang. Founding father Program Studi Magister Perubahan & Pengembangan Organisasi (MPPO) pertama di Indonesia ini, justru getol membuat buku yang baru saja terbit Februari 2015 kemarin. Buku itu bertajuk 'Anak bukan kertas kosong'.
"Buku ini merupakan pionir buku pengembangan bakat anak di Indonesia. Sebab kebanyakan buku yang ada justru menyuguhkan sebatas bagaimana mengenali bakat anak," terang bapak satu anak ini. Bukik juga menyimpulkan bahwa buku ini juga mencangkup isi yang berada pada Takita app. Bahkan beberapa posternya juga dimasukkan ke dalam buku ini.
Jatuh-bangun mencoba usaha dalam memajukan pendidikan terutama anak-anak, justru membuat Bukik menyadari bahwa langkahnya dari semula memang kurang tepat. "Seharusnya sih, dari buku lalu jadi podcast, aplikasi, baru boneka. Tapi justru saya kebalikannya. Soalnya saya berangkat dari lapangan. Tapi saya optimis buku ini bermanfaat untuk pengembangan bakat anak."
Bukik memang begitu getol dengan pendidikan anak-anak. Ide-denya yang sempat terealisasi namun gagal, selama ini hadir sebagai alternatif bagi pendidikan formal (sekolah). Bahkan sudah sempat dia uji-cobakan kepada anak gadisnya. Terbukti dia sudah mulai bisa menyimpulkan kecerdasan anaknya terarah pada bidang musik, bahasa, dan kecerdasan diri. Dasar teori yang dia pakai tercantum dalam buku karangannya tersebut.
Dia berpijak pada teori kecerdasan majemuk milik Howard Gardner yang menyatakan bahwa kecerdasan seseorang meliputi berbagai macam, antara lain kecerdasan matematika logika, bahasa, musikal, visual spasial, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis. Bukunya itu juga disertai panduan observasi minat dan bakat anak yang dapat digunakan oleh orangtua.
Bukik ingin menunjukkan bahwa dari sekian banyak kecerdasan itu, pasti seorang anak memiliki kecerdasan yang menonjol lebih dari sekadar apa yang diajarkan di sekolah. Dia ingin sebisa mungkin anak-anak Indonesia menekuni kegemarannya sejak dini sehingga ketika sudah berusia remaja dan dewasa, mereka sudah tahu karir pilihannya sendiri.
"Nggak seperti mahasiswa kebanyakan sekarang. Mau lulus S1 ditanya mau jadi apa setelah ini, masih bingung," paparnya.
Tak pernah ada habisnya semangat Bukik untuk anak-anak Indonesia. Walaupun belum memberikan dampak luas, tapi cita-citanya ke depan adalah ingin menghidupkan kembali program-program yang pernah dia buat bersama rekan-rekannya dari kalangan psikologi, teknologi, bahkan sampai aktivis pendidikan. Tidak ada penyesalan darinya melepaskan status PNS-nya.
"Semua konsekuensinya saya tahu dan jalani. Saya merasa sudah cukup berkarya di kampus. Sudah waktunya mencari tempat aktualiasi diri yang lebih luas," tandas lelaki yang berdomisili di Sidoarjo, Jawa Timur ini.
Terakhir, Bukik juga ingin menegaskan bahwa setiap anak sudah mendapatkan anugerah kebaikan dan kecerdasan. Tugas orangtua bukan menjejali anak dengan pengetahuan. "Tapi orangtua bertugas mencari cara supaya kebaikan dan kecerdasan anak mereka bisa diekspresikan dan diaktualisasikan. Itulah pendidikan yang menumbuhkan menurut saya," tandasnya.
Nah,belajar dari sosok Bukik, bisa kita ambil kesimpulan bahwa apa pun passion kamu, pastikan kamu siap dengan segala konsekuensinya. Yang jelas, pastikan juga membawa manfaat bagi orang di sekelilingmu, sekecil apa pun imbasnya. Tidak ada kebahagiaan selain mampu berbagi dengan orang lain, bukan? Selamat berkarya!