Brilio.net - Penampilan ceria serta gaya bicara yang lugas sesekali diselingi gelak tawa membuat wanita setengah baya itu seolah tak punya beban hidup. Tanpa beban dan penuh optimisme adalah sikap yang kasat tertangkap pada perempuan bernama Sri Sulanjari (54), warga Bangunjiwo, Sewon, Bantul, Yogyakarta.
Siapa sangka ternyata kisah hidupnya tidak semudah tawa lepas yang keluar dari bibirnya. Di usianya yang mulai menginjak lansia ini, Sri masih harus mengurusi si bungsu Jagad Adi Putro (18). Usia 18 tahun seharusnya Adi bisa melakukan apapun sendiri, tetapi Adi masih harus mendapat bantuan untuk melakukan segala aktivitasnya. Ya, Adi adalah bocah penyandang down syndrome.
Usia yang lebih dari setengah abad membuat Sulanjari tak sekuat dulu. Apalagi jika harus berlarian mengikuti Adi yang sedang dipenuhi energi tinggi. Sulanjari meminta Adi untuk bermain di dalam rumah saja. "Kan depan rumah kami ada lapangan sepak bola. Kalau sudah begitu kan mengganggu orang lain yang sedang bertanding," cerita Sulanjari kepada brilio.net, Selasa(1/9).
Meski putra bungsunya tak sempurna, Sulanjari mengaku tidak malu ataupun merasa beban atas segala kewajiban menjaga sang anak ini. Malah sebaliknya merasa bangga. Bagi dia menjadi ibu dari seorang anak down syndrome itu tidak ringan. Perlu kesabaran yang tinggi dan secara fisik harus kuat.
Sulanjari justru bangga karena menjadi manusia pilihan Tuhan untuk menjaga Adi. "Ini berarti Gusti Allah melihat saya sebagai wanita yang tangguh. Atau setidaknya Allah memberi saya ketangguhan sehingga bisa dititipi anak seperti Adi," ujar Sri Sulanjari dengan nada yang meyakinkan dan tegas.
Walau begitu Sri tidak menampik bahwa membesarkan Adi dia lalui dengan perjuangan keras. Terutama ketika banyak tetangganya yang berpikiran negatif tentang Adi. Mereka yang belum teredukasi dengan sindrom ini hanya bisa menuduh Sri dengan tuduhan yang membuat ibu dengan lima anak ini mengelus dada.
Sri bercerita, sebelumnya dia dan keluarga tinggal di Minggiran, Yogyakarta, kemudian mereka pindah ke Sewon tempat tinggalnya hingga kini. Saat pertama pindah rumah, Sewon masih dalam suasana desa. Sehingga ketika keluarga Sri datang dengan membawa sedikit barang berharga, isu negatif pun mulai berhembus.
"Saat itu kan di Sewon masih kampung dan karena kami sedikit membawa barang, dinilai sebagai keluarga yang berada. Terus ada yang nuduh kalau kekayaan itu kami dapat dengan cara yang tidak benar dengan menjadikan anak sendiri sebagai tumbal, saat itu saya hanya bisa Istighfar," lanjut Sri
Tuduhan semakin keras ketika tetangga melihat empat kakak Adi semuanya normal. Mereka menganggap, sebagai anak bungsu Adi sengaja dikorbankan untuk mencari pesugihan. Walaupun sakit hati mendengar tuduhan tetangganya, Sri bersama suaminya tetap tegar dan menjalani hidup mereka.
"Empat anak saya yang lain normal semua. Bahkan semuanya sudah menyelesaikan kuliah. Sudah dapat gelar sarjana. Hanya Adi yang seperti ini. Tapi saya tetap bangga dengannya," pungkasnya.
BACA JUGA :
Kisah Mbah Karto, jualan buah untuk biayai hidupnya yang sebatang kara