1. Home
  2. »
  3. News
3 Desember 2015 10:34

Go Tik Swan dan persahabatan erat dengan Bung Karno (3)

Saat Fatmawati meninggal, Go Tik Swan memerankan diri sebagai pembantu rumah tangga. Ahada Ramadhana

Brilio.net - Ndalem (kediaman) Kratonan 101 hanya didiami oleh kakek Tjan Kay Sing dan istri, sebab semua anak mereka telah hidup berumah tangga masing-masing. Keadaan ramai hanya terjadi pada saat para pembatik sibuk bekerja di rumah yang juga menjadi tempat produksi batik tersebut. Ketika mereka semua telah pulang ke rumah masing-masing, maka keadaan kembali sepi. Mereka lalu berpikir untuk membawa cucu tertua, Go Tik Swan. Keinginan ini bersambut.

Orangtua Go Tik Swan yang telah begitu sibuk dengan aktivitas bisnis mereka tak keberatan dan justru senang dengan maksud kakek dan nenek Go Tik Swan tersebut. Bersama Tjan Kay Sing dan istri, Go Tik Swan begitu dimanja. Dia bebas bermain apa saja. Kesukaannya adalah wayang kertas, layang-layang, kelereng, serta petasan (setiap tahun Baru Cina).

BACA JUGA :
Go Tik Swan, maestro Batik yang lebih Jawa dari orang Jawa (1)


Bagian rumah Go Tik Swan yang didesain Bung Karno yang juga arsitek.

Aktivitas membatik para karyawan di rumah tersebut kerap diramaikan dengan nyanyian macapat (syair Jawa tradisional) yang dilantunkan oleh ibu-ibu pembatik sebagai pengisi kesenyapan. Beberapa pembatik juga kerap menirukan antawacana (dialog) wayang orang yang pernah mereka tonton di Sriwedari atau Sono Harsono.

BACA JUGA :
Bulan pecah di tubuh Go Tik Swan, asal muasal Batik Indonesia (2)

Dua orang tetangga rumah Go Tik Swan yang merupakan budayawan sekaligus pangeran, Gusti Pangeran Haryo (GPH) Hadiwidjojo (putra Pakubuwana X) dan GPH Prabuwinata (putra Pakubuwana IX) membuka diri untuk menjadi guru tari. Di rumah Prabuwinata yang merupakan seorang komponis karawitan, sering diadakan latihan karawitan (gamelan) dan tari. Go Tik Swan merupakan salah satu yang aktif. Prabuwinata inilah yang disebut Go Tik Swan sebagai 'guru utama'. Go Tik Swan belajar tari kepada beberapa orang, yaitu seorang abdi dalem beksa Karaton Kasunanan Surakarta, Jagatamaya. Juga dua orang adik kandung dosen sastra UI Purbatjaraka, Kodrat dan Wiradat kelak ketika dia kuliah di Jakarta.

Di Klenteng Coyudan, terletak tidak jauh dari tempat tinggalnya, sering ada pertunjukan wayang kulit. Go Tik Swan adalah salah satu penonton setianya. Jika sudah menonton wayang kulit, Go Tik Swan sering lupa waktu, sampai larut malam hingga maminya pernah memarahinya, namun hal itu tak digubris olehnya. Kecintaannya terhadap seni tradisi Jawa ini bukan merupakan suatu kebetulan yang disebabkan oleh faktor lingkungan. Sebab ternyata adik-adik maupun para tetangganya yang tinggal di kampung yang sama tidak turut berinteraksi dengan dunia tersebut seperti yang dilakukan Go Tik Swan. Rustopo dalam bukunya Menjadi Jawa menyebut bahwa masa kecil Go Tik Swan menjadi titik mula pembentukan jati dirinya hingga dewasa.

Go Tik Swan kecil mendapat kesempatan mengenyam pendidikan di sekolah bentukan Belanda yang eksklusif. Go Tik Swan masuk sekolah dasar di Neutrale Europese Lagere School (NELS) Surakarta pada tahun 1938 ketika usianya 7 tahun. Go Tik Swan kecil telah memakai nama Jawa ketika di sekolah, jauh sebelum peraturan mengenai pemakaian nama Jawa bagi orang-orang keturunan Tionghoa. Nama Jawanya adalah Hardjono, sehingga nama lengkapnya menjadi Hardjono Go Tik Swan yang sering ditulis Hardjono GTS. Anak-anak di Neutrale Europese Lagere School (NELS) Surakarta memiliki nama akrab, semisal Soerjo Goeritno (atau Pakubuwana XII) kerap dipanggil Bob, atau Winarso Sosrodiningrat (putra Patih Sosrodiningrat) sering dipanggil Wilhelm. Seperti teman-temannya, Go Tik Swan juga memiliki nama akrab, yaitu Yan Go atau Jhoni Go.

Pendidikannya dilanjutkan di Uitgebreid Laer Onderwijs (MULO) Semarang, kemudian Voorbereiden Hoger Onderwys (VHO) Semarang. Di Semarang, dia tinggal di kediaman salah seorang yang juga keturunan Tionghoa, Gan Djing Siang. Sang adik angkat, Kangjeng Raden Arya Hardjosoewarno menuturkan, hanya orang pilihan yang bisa sekolah saat itu. "Pada waktu itu orang yang bisa sekolah, kalau orangtuanya tidak sangat kaya, tidak mungkin bisa sekolah. Dan yang kedua, kalau anaknya tidak pinter tidak mungkin masuk sekolah elit semacam itu.

Pada 1953, papi Go Tik Swan mengirimkannya ke Jakarta untuk kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) dengan maksud kelak dapat meneruskan usaha papinya yang merupakan temurun dari sang kakek. Go Tik Swan yang tidak didampingi siapapun ketika mendaftar kuliah di UI memanfaatkan kesempatan tersebut. Dia memilih mencatatkan namanya sebagai mahasiswa Jurusan Sastra dan Bahasa Jawa Fakultas Sastra UI. Hal ini tidak diberitahukan kepada kedua orangtuanya di Surakarta. Di UI dia belajar dengan dua dosen yang juga jawanis tersohor, Tjan Tjoe Sim dan Poerbatjaraka.

Semasa kuliahnya, Go Tik Swan bergabung dalam Senat Mahasiswa Fakultas Sastra UI. Di Dewan Mahasiswa tingkat universitas, dia diamanahi sebagai ketua seksi kebudayaan. Ikatan Seni Tari Indonesia (ISTI) juga menjadi salah satu tempat dimana dia menjadi pengurusnya. Dari ketertarikannya dengan dunia tari inilah perkenalan dengan presiden pertama Republik Indonesia Soekarno bermula. Ketika itu, Go Tik Swan tampil membawakan tari Gambir Anom dalam acara Dies Natalis UI ke-5 pada 9 Februari 1955. Usai pertunjukan, Bung Karno yang hari itu hadir menonton menemui Go Tik Swan muda di belakang panggung. Kesan Bung Karno ditunjukkan dalam pemberian bunga pada Go Tik Swan seraya mengucapkan "tarianmu bagus,".

Rumah Go Tik Swan, sering dikunjung Bung Karno dan juga putrinya Megawati.

Sejak itu hubungan Go Tik Swan dengan Bung Karno semakin dekat. Terlebih sejak pertengahan tahun 1955 ketika Go Tik Swan menerima tawaran Soekarno membantunya melayani tamu-tamu kenegaraan di Istana Merdeka. Setiap pukul 05.00 pagi dia berangkat dari kediamannya di asrama mahasiswa UI Jalan Pegangsaan Timur dan menghabiskan waktu hingga malam hari di Istana. Malam hari tak jarang ia makan malam bersama Bung Karno sembari bertukar ilmu. Lambat laun mereka saling memahami karakter satu sama lain.

"Go Tik Swan memang agak feminin, luwes bergaul dengan siapa saja. Termasuk dengan Bung Karno. Ketika Fatmawati meninggal, maka dia masuk dan mengerjakan semua pekerjaan seperti pembantu. Menata tempat tidur, bersih-bersih sewaktu masih menjadi mahasiswa UI," tutur Rustopo, guru besar Karawitan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta yang menulis disertasi mengenai Go Tik Swan.

Dari belajarnya kepada banyak orang ini Go Tik Swan menguasai berbagai tari lakon Jawa, seperti pemeranan tokoh Arjuna, Abimanyu, Gambir Anom, Kresna, Samba, Panji Asmarabangun, dll. Kegandrungannya terhadap tari mulai kurang terefleksikan dalam bentuk praktik ketika dia semakin sibuk dengan usaha batiknya, di samping faktor usia yang mengurangi kelincahan dan berat badan yang semakin bertambah. Sejak itu dia lebih terdorong untuk menciptakan gerakan tari baru.

Beberapa tari yang merupakan hasil kreativitasnya merupakan suatu persembahan kepada orang-orang yang dekat dengannya. Misalnya Sendratari Wukir dipersembahkan untuk putra Pakubuwono X, Gusti Pangeran Haryo (GPH) Hadiwidjojo pada tahun 1966 sebagai hadiah ulang tahun ke-80. Bedaya Tolu merupakan tari yang dipersembahkan kepada Julius Tahija, Presiden Direktur Caltex Pasific Indonesia yang dinilai sangat berjasa dalam mengembangkan dan melestarikan budaya Jawa.

Tari Bedaya Temanten dipersembahkan untuk pernikahan putri Jenderal Soerono, Retno Setyowati dengan Kunto Rajoso, putra Danang Sutarto, yang isinya merupakan doa kesuburan dan kemakmuran bagi pasangan. Sedangkan tari Bedaya La-la berisi kisah Bima yang berguru pada Durna dalam mencari hakikat kehidupan yang sempurna. Busana untuk para penari ketika tampil didesain oleh Go Tik Swan.

Penampilan tarinya di UI ini selain membawa perkenalan dengan Bung Karno, juga memberikan dampak pada hubungan dengan keluarga. Perusahaan Film Negara (PFN) merekam lenggak-lenggoknya di atas panggung. Setelah dilakukan editing menjadi film dokumenter, copy-nya disebarkan di bioskop-bioskop tanah air. Dokumenter ini ditampilkan sebelum film utama diputar.
Bioskop Ura Patria (UP) Solo termasuk yang memutarnya. Ayah Go Tik Swan, Go Dhiam Ik mendapat cerita dari para tetangga bahwa sulungnya telah menjadi aktor dan filmnya diputar di bioskop. Akhirnya tuan dan nyonya Go Dhiam Ik membuktikan sendiri kebenaran cerita tersebut.

Go Tik Swan akhirnya dipanggil setelah sang ayah menonton tariannya dalam film dokumenter. Di sini Go Tik Swan tak hanya mengakui bahwa dia belajar tari tapi juga menceritakan bahwa selama ini kuliahnya bukan di bidang Ekonomi melainkan Sastra. Go Tik Swan diberi dua pilihan. Pertama, masuk juruan Ekonomi mengulang kuliah dari awal dan segala perbuatannya dimaafkan. Kedua, jika tetap ingin menjadi penari maka silakan namun tidak mendapat biaya lagi dari orangtua.

Ternyata Go Tik Swan memilih yang kedua. Vespa pemberian orangtua mau tak mau ditarik ke Solo dan membeli sepeda untuk mobilitasnya. Kos mewahnya harus ditinggalkan dan mulai tinggal di asrama mahasiswa. Keterampilan mendesain dan membuat asesoris busana Jawa sangat membantunya menghidupi diri dan membayar kuliah. Karena kemahirannya ini dia direkrut sebuah toko asesoris asal Jerman di Jakarta untuk membuat desain dan mengarahkan sebanyak 30 orang perajin. Aktivitas membantu Bung Karno juga turut memberi keuntungan baginya.

Dalam suatu momen makan malam, Soekarno pernah memberi 'saran' kepada Go Tik Swan untuk membuat batik yang berbeda dengan batik yang pernah ada seperti batik Solo, Yogya, Pekalongan, Cirebon, Lasem, dll. Batik yang dimaksud tersebut oleh Bung Karno dinamai 'Batik Indonesia'. Pemasaran batik ini dilakukan dengan mengadakan pameran-pameran, selain melalui toko 'Arti Warna' milik seorang pencipta dan penyanyi lagu anak-anak Ibu Sud.

Pengabdian terakhirnya pada Bung Karno adalah ketika menjadi penyelenggara pameran kebudayaan Indonesia di New York World Fair selama 6 bulan sejak April 1964. Pertemuan dengan Bung Karno ketika jabatan presiden tak lagi diembannya dan menjadi tahanan rumah pasca kejadian 30 September 1965 menjadi yang terakhir.

Perbincangan mereka kala itu pun terbilang singkat sebab diawasi oleh tentara. Setelah pertemuan ini hubungan Go Tik Swan dengan Bung Karno sama sekali terputus. Go Tik Swan yang merasa pernah dengan Soekarno was-was turut menjadi incaran. Dia mulai mengurangi aktivitas yang bisa menarik publikasi sehingga lebih banyak menghabiskan waktu di rumah.

BACA JUGA:

Go Tik Swan, maestro Batik yang lebih Jawa dari orang Jawa (1)

Bulan pecah di tubuh Go Tik Swan, asal muasal Batik Indonesia (2)

Mimpi Go Tik Swan ke Mekkah dan Madinah yang akhirnya terkabul (4)

Hardjosoewarno, tukang becak pewaris milik Go Tik Swan (5)

SHARE NOW
EXPLORE BRILIO!
MOST POPULAR
Today Tags