Brilio.net - Sebagian besar masyarakat Indonesia pernah minum jamu dan merasakan khasiatnya. Data ini setidaknya terlihat pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 yang menyebutkan 56,9% masyarakat pernah meminum jamu dan merasakan manfaatnya. Namun apakah jamu secara klinis sudah dianggap sebagai obat?
Tampaknya, dunia kedokteran dan farmasi masih menganggap jamu sulit dianggap sebagai obat, karena tidak mudah lulus uji klinis.
Guru Besar dalam Ilmu Farmasi Kedokteran Universitas Indonesia Prof. Dr. dr. Erni Hernawati Purwaningsih menyebutkan, penolakan dari kalangan kedokteran akan jamu masih besar, terutama dari dokter konvensional. Karena pada umumnya mereka mengharuskan adanya bukti ilmiah. Di kalangan dokter konvensional syarat bukti ilmiah adalah uji klinis. Sementara uji klinis untuk jamu sangat susah, ujar Erni.
Saat uji klinis, sulit didapatkan bahan atau senyawa apa dalam jamu yang aktif bekerja karena memiliki kandungan yang banyak. Berbeda dengan obat konvensional yang hanya mempunyai satu kandungan, sehingga ketika orang minum obat konvensional maka satu kandungan itulah yang bekerja. Sementara kalau jamu senyawanya banyak. Misalnya curcuma mengandung curcumin, namun belum tentu curcuminnya yang berefek, bisa saja senyawa yang lain karena mempunyai efek sinergi, jelas Erni.
Fenomena inilah yang kadang membuat jamu mendapatkan penolakan, termasuk di pasaran. Dia berharap ada sinergi yang kuat antar semua kementerian untuk mengembangkan jamu. Jamu tidak bisa hanya ditangani oleh kementerian kesehatan saja, namun juga harus melibatkan kementerian lain seperti Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan, Kementerian Industri hingga Kementerian Perdagangan. Kemenkes sudah mulai ada kebijakan terkait tenaga kerja, dan pemakaian jamu di kalangan kodokteran, tambah Erni.
BACA JUGA :
Hampir 2 tahun, para arkeolog bingung ungkap prasasti di Temanggung