1. Home
  2. »
  3. News
14 Maret 2016 20:03

Jejak-jejak kejayaan Lasem sebagai pusat perdagangan opium (1)

Salah satu ruangan di Lawang Ombo, terdapat sebuah lubang semacam sumur dengan diameter 60 sentimeter. Lubang perdagangan opium. Tony Febryanto

Brilio.net -Lasem. Kota tua dengan wajah multikulturnya menyimpan banyak sejarah. Sebuah kecamatan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah ini terletak di pesisir utara Pulau Jawa. Sejak abad ke-14, Lasem sudah hiruk-pikuk dengan kegiatan ekonomi. Dan salah satu sisa sejarahnya yang masih ada adalah bahwa Lasem sebagai pintu utama penyelundupan opium (candu) ilegal ke Tanah Jawa.

Menjadi pusat perdagangan candu, tak lepas dari banyaknya warga Tionghoa yang tinggal di Lasem. Tak heran jika daerah ini sejak dulu dijuluki Tionghoa kecil. Turis Prancis menyebutnya Petit Chinois untuk menyebut kawasan Pecinan di Lasem.

Bahkan sampai sekarang, cukup banyak keturunan Tionghoa yang berdomisili di Lasem. Dari penjual nasi pecel, pengrajin batik, pemilik toko bangunan, penjual sembako, dan profesi lainnya hampir semuanya keturunan Tionghoa. Mereka membaur dengan warga keturunan Jawa serta membentuk komunitas yang sangat harmonis.

BACA JUGA :
Kartini sang penentang peredaran opium di kalangan pribumi (3-habis)


Salah satu bukti peninggalan sejarah perdagangan opium adalah Rumah Candu Lawang Ombo yang dibangun sekitar tahun 1830 oleh Kapten Liem Kim Siok. Di rumah ini, konon praktik penyelundupan opium era Hindia Belanda dijalankan dengan sangat rapi. Hingga saat ini, bangunan Lawang Ombo masih berdiri dengan kokoh meski usianya lebih dari satu setengah abad.

BACA JUGA :
Pengusaha Tionghoa berebut untung dari opium di Lasem (2)

Bangunan Lawang Ombo yang berdiri sejak tahun 1830-an

Rumah Candu Lawang Ombo berada di Jalan Dasun, Desa Soditan, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Bangunan ini terletak sekitar 100 meter dari Sungai Babagan. Di salah satu ruangan di Lawang Ombo, terdapat sebuah lubang semacam sumur dengan diameter 60 sentimeter.

Ini dulu diameternya sekitar 1,5 meter, tapi karena banyak yang terpeleset, akhirnya dipersempit, ujar Gandor Sugiharto Santosa (71), salah seorang tetua Dasun kepada brilio.net, Jumat (8/1).

Gandor menjelaskan lubang itu terhubung dengan sungai Babagan yang juga terhubung ke laut. Dari lubang itulah candu ilegal diselundupkan. Praktik penyelundupan lewat terowongan tersebut terbilang cukup sederhana. Opium yang diambil dari kapal kemudian diangkut menggunakan sampan kecil melalui terowongan. Di atas sumur, ada orang yang bersiap mengambil opium sedikit demi sedikit dengan bantuan tali

Sumur yang dipakai untuk menyelundupkan opium illegal

Praktik penyelundupan opium illegal kala itu memang bukan tanpa alasan. Pemerintah Hindia-Belanda selaku penjual resmi dan memonopoli perdagangan opium di Tanah Jawa memberlakukan aturan ketat dalam memberikan izin untuk menjual opium. Permintaan opium yang tinggi serta tidak diimbangi dengan persediaan opium legal oleh pemerintah memungkinkan praktik-praktik penyelundupan semacam itu marak terjadi. Di samping itu, pasokan opium tanpa melalui perantara pemerintah diyakini akan lebih menguntungkan para pedagang yang mayoritas orang Tionghoa.

Pada abad ke-19, mengisap opium sudah menjadi kebiasaan umum yang dilakukan masyarakat, baik di desa maupun di kota. Di kalangan orang Tionghoa, mereka biasa menikmati opium di rumah dan di klub-klub opium pribadi. Sedangkan orang dari golongan yang lebih miskin, mereka umumnya mengonsumsi opium di pondok atau warung penjual opium yang memang menyediakan tempat tersendiri untuk pelanggan mereka.

Menurut tulisan James R Rush dalam bukunya yang berjudul Candu Tempo Doeloe, mayoritas konsumen candu adalah orang Jawa. Mereka mengonsumsi opium dengan berbagai cara, tergantung pada alat dan selera masing-masing. Bahan yang diperlukan yaitu candu atau opium mentah yang disuling. Kemudian dicampur dengan penguat rasa serta bahan campuran lainnya, seperti awar-awar (ficus septic) dan gula. Sementara orang yang lebih kaya mengisap jenis candu yang lebih mahal dengan pipa hisap kualitas bagus (badudan).

Kala itu, pondok-pondok opium memang bertebaran merajalela di Jawa. Berdasarkan novel karya M T H Perelaer yang ditulis tahun 1880-an berjudul Baboe Dalima, dikisahkan, Di bale-bale itulah seorang lelaki Jawa berbaring, berselonjor kaki, dengan badan setengah miring ke samping. Dia melepaskan ikat kepalanya dan rambutnya yang hitam panjang tergerai di atas bantal bale itu.

Sang pelayan kemudian mengeluarkan candu dari kotak kecil lalu menyalakannya dengan api dan mencampurkannya dengan sedikit tembakau yang sudah dirajang halus. Setelah itu, campuran tersebut digulung-gulung menyerupai bola kecil dan ditempatkan ke dalam sebuah mangkuk pipa opium dan dikonsumsi oleh si penghisap.

Praktik menghisap opium oleh orang Jawa

Bunga opium (poppy) yang dalam bahasa Latin disebut Papaver somniferum, memang tidak ditanam di Pulau Jawa. Tidak diketahui secara jelas, siapa yang pertama kali membawa opium masuk ke Jawa. Ketika bangsa Belanda mendarat pertama kali di Jawa pada abad ke-16, opium sudah menjadi komoditas vital dalam perdagangan di Jawa.

Melihat adanya potensi keuntungan dari perdagangan opium yang menggiurkan, Belanda kemudian memonopoli penjualan opium melalui VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) setelah membuat perjanjian dengan Raja Amangkurat II. Melalui kesepakatan tersebut, Belanda diizinkan mengimpor opium dan mengedarkannya di wilayah Kerajaan Mataram.

Aktivitas perdagangan opium oleh Belanda meningkat seiring berjalannya waktu. Menurut catatan J C Baud, VOC setidaknya mengimpor sekitar 56 ton opium mentah ke Jawa setiap tahunnya pada sejak 1619 hingga 1799. Angka tersebut belum termasuk opium ilegal yang masuk melalui jalur pesisir pantai utara Jawa yang sangat rentan terhadap penyelundupan.

Di Rembang sendiri khususnya Lasem, praktik penyelundupan opium sudah menjadi hal lazim terjadi kala itu. Pemerintah Hindia Belanda sebenarnya sudah membagi daerah kekuasaan dengan mengeluarkan izin Pak Opium, yakni surat izin resmi memperjualbelikan opium di setiap karesidenan. Setiap residen memiliki satu bandar resmi yang dizinkan menjual dan memonopoli opium di wilayahnya. Sebagai konsekuensinya, Bandar tersebut diwajibkan membayar pajak kepada pemerintah Hindia Belanda setiap tahunnya dengan angka yang cukup tinggi.

Adanya perdagangan gelap tentu saja merugikan bandar (pak opium). Sebagai tindakan pencegahan, pemerintah bekerjasama dengan pak opium seringkali menggelar razia. Namun pedagang ilegal lebih lihai. Sungai Bagagan yang bermuara di pantai utara kerap dipakai untuk mengangkut opium gelap dari kapal-kapal besar. Karena kapal besar yang membawa opium khawatir terjaring razia, mereka kemudian berlabuh di pulau terdekat untuk membongkar muatan.

Kapal-kapal kecil tersebut bertugas membawa opium masuk melalu sungai Babagan. Secara sembunyi-sembunyi, opium diangkut melalui jalur rahasia, salah satunya lewat sumur di Lawang Ombo.

Muara Sungai Babagan yang dulunya menjadi jalur penyelundupan opium ilegal

Mengonsumsi opium diyakini oleh orang Jawa memberi banyak manfaat medis. Sifat analgesik atau meredakan rasa sakit menjadi alasan utamanya. Selain itu, masyarakat Jawa meyakini opium dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit, diantaranya diare dan disentri. Mengingat minimnya fasilitas kesehatan pada zaman itu, penggunaan opium sebagai obat rasa sakit tampaknya dapat dimaklumi.

Kehidupan yang keras dengan aturan kerja paksa oleh pemerintah Hindia Belanda, membuat orang Jawa tidak punya pilihan lain selain mengonsumsi opium sebagai satu-satunya jalan untuk memperoleh kesenangan dan fantasi semu. Disamping alasan medis tadi tentunya.(bersambung)

SHARE NOW
EXPLORE BRILIO!
RELATED
MOST POPULAR
Today Tags