Brilio.net - Pada abad ke-19, bagi warga pribumi mengonsumsi candu adalah hal yang lumrah. Karena hampir semua orang dengan bebas bisa mengonsumsinya. Lasem, sebagai daerah perdagangan candu membuat warganya menyukai candu. Rumah Candu Lawang Ombo di Lasem adalah salah satu bukti bahwa Lasem menjadi pusat perdagangan.
Di Lawang Ombo, terdapat sebuah sumur berdiameter 1,5 meter yang dulunya terhubung dengan sungai Babakan. Melalui sumur tersebut, opium diselundupkan dan dijual kepada masyarakat.
BACA JUGA :
Jejak-jejak kejayaan Lasem sebagai pusat perdagangan opium (1)
Praktik mengonsumsi opium kala itu sebenarnya adalah tindakan legal. Namun distribusi dan perdagangan opium secara langsung dimonopoli oleh pemerintah Hindia Belanda. Karena permintaan pasar yang tinggi maka pedagang mencari alternatif dengan mendatangkan secara ilegal.
Kebiasaan mengonsumsi candu oleh orang pribumi dibenarkan oleh sejumlah saksi hidup yang merupakan penduduk Lasem. Lo Ging Wan alias Kajarni (86) menyebut praktik menghisap opium sudah menjadi kebiasaan yang lazim dilakukan. Waktu itu saya masih usia sekitar tujuh tahun. Banyak orang dewasa yang mengonsumsi opium, ujarnya kepada brilio.net.
BACA JUGA :
Pengusaha Tionghoa berebut untung dari opium di Lasem (2)
Lo Ging Wan alias Kajarni (86) mengisahkan pengalamannya melihat orang nyandu
Hal senada juga diungkapkan Minuk Setyawati (66). Nenek asal Tuban ini juga pernah melihat orang-orang di lingkungannya mengonsumsi opium. Alatnya pipa panjang dan dicampur dengan tembakau, katanya. Opium tidak seburuk rokok, malah dipakai untuk mengobati penyakit, imbuhnya.
Kliwon (47), ketua RT03/02 Kampung Pecinan, Lasem mengaku pernah menemukan pipa hisap bekas di pekarangan rumahnya. Waktu itu saya menggali tanah untuk mengubur kambing saya yang mati. Kemudian menemukan alat (hisap opium) itu, katanya.
Kesaksian warga Lasem tersebut menunjukkan bahwa kebiasaan mengonsumsi opium masih berlangsung hingga masa pra kemerdekaan. Meski tidak sebebas pada abad ke-19 dulu.
Kebiasaan mengonsumsi candu baru mulai dipersoalkan sisi buruknya oleh RA. Kartini dalam surat-suratnya (Surat-Surat Kartini. Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya diterjemahkan Sulastin Sutrisno, 1979). Dalam surat pertamanya kepada Nona E.H. Zeehandelaar atau Nona Stella, justru dia merasa prihatin terhadap kesengsaran bangsanya, Jawa. Ia menyebut candu sebagai benda laknat (putri Jawa yang halus perasanya harus mengatakan demikian). Penyakit sampar Jawa bukannya pes tetapi lebih dari pada pes, yaitu candu.
Kartini (kiri) sebut kebiasaan mengonsumsi candu jadi sumber bencana bagi orang Pribumi
Pada tanggal 10 September 1890 Bupati Rembang Djojoadiningrat yang juga merupakan suami dari Kartini berhasil menggagalkan penyelundupan 14 pikul (856 kg) opium gelap. Setelah dilakukan penyelidikan lebih lanjut, jumlah tersebut ternyata hanya sebagian kecil dari timbunan opium yang disembunyikan.
Pihak-pihak yang anti opium mulai bermunculan. Diantaranya kampanye anti opium yang dikomando para jurnalis, tenaga terdidik Hindia, para misionaris dan juga politisi.
Isaac Groneman juga menyerukan semangat yang sama anti-opium dengan novel Een Ketjoegeschiedenis, Kisah Seorang Ketjoe (baca: kecu = rampok, bandit). Tidak ketinggalan juga Pieter Brooshooft ujung tombak koran Semarang De Locomotief yang mengeluarkan petisi dalam buku Memorie Over den toestana in Indie (Memorandum tentang Keadaan di Hindia). Lewat karya-karyanya mereka menolak candu yang tentu saja menusuk jantung pemerintah Belanda.
Karena desakan banyak pihak, Pemerintah Kolonial Belanda mulai mempertimbangkan nilai-nilai moral dan etika. Aturan perpakan opium digantikan Regi Opium. Selain untuk membatasi dan memperbaiki celah aturan sebelumnya, juga bertujuan untuk mengurangi pemakaian opium di kalangan penduduk pribumi. Belanda mulai sadar bahwa opium selama ini sudah menjadi candu yang merusak orang Jawa.
Namun di sisi lain, Belanda memandang opium sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan orang pribumi. Opium seakan menjadi hiburan sederhana bagi kehidupan orang Jawa yang sangat sederhana.
Jika opium ditarik dari peredaran, Belanda khawatir masyarakat pribumi akan mencari alternatif kesenangan yang sama buruknya, atau bahkan lebih buruk. Kesenangan tersebut mungkin bisa minum minuman keras yang justru berbahaya. Orang pribumi yang awalnya tenang dan pasif berpotensi menjadi para pemabuk yang membuat onar dan kegaduhan.
Di kalangan orang Belanda sendiri, masalah opium ini ditanggapi secara beragam. Namun mereka tidak tegas mengemukakan pendapat apakah opium perlu dihapuskan seluruhnya. Hanya sedikit orang yang mendukung wacana penyalahgunaan opium harus dihentikan. Meskipun mereka paham dampak buruk dari penggunaan opium, mayoritas orang Belanda menganggap pemakaian opium oleh orang Jawa dalam kadar sedang hanyalah imoralitas yang bisa ditolerir.
Belanda pun pernah melakukan survei tahun 1885 yang meminta pandangan para residen tentang kebiasaan menghisap opium di Tanah Jawa. Mayoritas residen menilai mengonsumsi opium tidak berbahaya asalkan dalam kadar yang sedang saja. Singkatnya, masyarakat tetap dizinkan untuk menghisap opium dengan jumlah yang tidak terlalu banyak.
Sementara pihak pemerintah Kolonial Belanda menerapkan kebijakan untuk membatasi peredaran opium sebagai bentuk pertanggungjawaban moral. Tujuan finasial dengan mengumpulkan pendapatan besar dari penjualan opium tetap berjalan, sementara tujuan etik terhadap orang pribumi juga bisa dilaksanakan.