1. Home
  2. »
  3. News
10 Desember 2015 12:10

Ketika para waria mencari Tuhan, bukan pertobatan jadi pria sejati

Mereka secara kejiwaan membutuhkan Tuhan untuk bersemayam dalam jiwa mereka. Muhammad Zufar

Brilio.net - Sebuah artikel di surat kabar Jogja pada tahun 2011 membuat kalangan waria di Jogja, khususnya di Pondok Pesantren Waria Al Fatah, kaget dan tercabik perasaannya. Artikel itu berjudul "Waria ingin jadi laki-laki sejati". Yang makin membuat mereka makin sedih adalah artikel tersebut ditulis oleh pengajar di ponpes tempat mereka belajar, Kiai Hamroli Harun. Tulisan itu dianggap secara sepihak menggambarkan motivasi pendiri ponpes, Maryani (almh) dan Shinta Ratri, mendirikan ponpes itu.

Shinta dan para waria yang mengaji di ponpes itu pun kemudian mendatangi Kiai Hamroli untuk meluruskan artikel tersebut. Dalam pertemuan itu, Shinta dan kawan-kawan mengaku bahwa menjadi waria bukan sebuah pilihan, bukan pula harus disesali. Menjadi waria adalah keadaan jiwa yang diekspresikan untuk menjadi dirinya sendiri, demi keutuhan hidup. Tidak ada keinginan dalam hati mereka untuk menjadi waria. Hanya saja secara alamiah jiwa mereka cenderung bersifat kewanita-wanitaan, sehingga keputusan mereka untuk menjadi waria adalah untuk menuruti kecenderungan jiwa mereka supaya bisa hidup dalam ketentraman.

BACA JUGA :
Ponpes waria di Jogja, sempat tertatih karena bingung nyari ustaz


Setelah berdiskusi dengan kiai, akhirnya kedua belah pihak saling memahami dan memaklumi. Namun demikian, Kiai Hamroli Harun akhirnya memilih mengundurkan diri dari jabatan pengajar di pesantren waria itu.

Sejak mundurnya Kiai Hamroli Harun, pesantren ini sempat beberapa kali vakum karena ketiadaan tenaga pengajar. Shinta lantas bergerak untuk mencari agamawan dan cendekiawan untuk mengedukasi mereka secara sukarela. Sampai akhirnya Shinta mendapatkan pengganti kiai Hamroli Harun, yakni kiai Muhaimin. Dan kini mereka memiliki relawan 6 pengajar, 3 adalah master dan 3 lainnya adalah sarjana.

Lebih lanjut Shinta menjelaskan, cita-citanya mendirikan pesantren adalah untuk mencari Tuhan. Sebagai manusia, mereka secara kejiwaan membutuhkan Tuhan untuk bersemayam dalam jiwa mereka. Namun sebagai kaum yang termarjinalkan, mereka tidak bisa mendapatkan kesempatan untuk terlibat dalam ritus dan kultus agama sebagaimana manusia normal.

BACA JUGA :
Ini dia foto-foto perbedaan ibadah haji tahun 1900-an dengan sekarang

"Kami ini mencari Tuhan, bukan mencari pertobatan menjadi pria lagi," tegas Shinta Ratri yang kini menjadi pimpinan Pondok Pesantren Waria Al Fatah kepada brilio.net, Rabu (9/12).

Untuk itulah kajian yang ada dalam pesantrennya dikhususkan menelaah keilmuan agama Islam dalam perspektif dan paradigma khusus waria. Yaitu menemukan bagaimana sesungguhnya agama Islam sebagai rahmatan lil alamiin memandang dan mengayomi kaum waria. "Meliputi tauhid, fikih, dan tarikh dalam perspektif waria," tutur alumnus fakultas biologi UGM tahun 1989 ini.

Selain memberikan pembelajaran untuk mengetahui ilmu agama, Shinta mengaku juga melakukan penyuluhan kepada masyarakat umum tentang keadaan waria. Terutama mengedukasi apa yang mereka rasakan dan apa yang mereka butuhkan di tengah masyarakat supaya kaum waria bisa diterima layaknya manusia normal di tengah masyarakat.

SHARE NOW
EXPLORE BRILIO!
RELATED
MOST POPULAR
Today Tags