Brilio.net - Satu tim yang terdiri dari lima mahasiswa UGM berhasil menjadi juara satu sayembara penataan kawasan Malioboro. Lomba ini diadakan oleh Pemda DIY dimana yang menjadi jurinya langsung adalah Sri Sultan Hamengkubuwono X. Desain milik Tim Gusma yg memiliki tema Teras Budaya ini berhasil menyingkirkan lima nominasi lainnya.
BACA JUGA :
Kosakata Inggris andalan kusir andong Malioboro saat ketemu turis bule
foto: Ardhyasa Fabrian Gusma
Ditemui brilio.net beberapa waktu yang lalu, Ardhyasa Fabrian Gusma, ketua tim, mengatakan, tema Teras Budaya ini memiliki filosofi bagaimana membuat kawasan Malioboro itu sebagai terasnya keraton. Ketika menjadi teras, maka otomatis menjadi perpanjangan dari keraton. Dan di teras itu bisa menjadi refleksi berbagai macam kebudayaan Jogja itu sendiri. Jadi bagaimana membuat teras sebagai tempat untuk ruang publik yang bisa digunakan untuk berbagai macam aktivitas masyarakat.
"Fokus kita untuk menjadikan Malioboro sebagai ruang publik. Yang nanti ketika menjadi kawasan pedesterian benar-benar berfungsi untuk berbagai kalangan," ungkap pria yang akrab dipanggil Gusma ini.
BACA JUGA :
Ini dia potret Malioboro tempo dulu! Sudah ramai bule di sana
foto: Ardhyasa Fabrian Gusma
Desain ini sendiri adalah buah karya dari lima orang mahasiswa dengan spesialisasinya masing-masing. Seperti Urban Design, Tata Kota, Design Arsitektural, dan lain-lain. "Kebetulan tim kita ini sudah memiliki komposisi yang lengkap sehingga kita bisa saling mengisi satu dengan yang lainnya," ujarnya.
Konsep dari desain hasil karya tim Gusma ini memiliki lima elemen utama, antara lain tata ruang, transportasi, toko dan PKL, lansekap dan lighting, dan ruang jalan, dimana masing-masing elemen berkaitan satu sama lain. Untuk tata ruang Gusma menjelaskan, ke depan untuk kawasan Malioboro akan memanfaatkan kampung sebagai tempat singgah para wisatawan, bukan hotel. Karena jika terus menomorsatukan pembangunan hotel maka secara tidak langsung masyarakat yang berada di area perkampungan sekitar Malioboro akan tersisihkan. Ini terjadi karena biaya hidup yang akan semakin meningkat.
"Memang harus ada peraturan yang tegas dari Pemda DIY mengenai pembangunan hotel. Jika tidak, ke depannya perkampungan di sini akan habis," ungkap pria berambut panjang ini.
Kemudian untuk masalah transportasi, kawasan Malioboro nantinya akan memiliki sembilan titik tempat parkir kendaraan yang ingin menuju kawasan Malioboro. Sehingga ke depannya Malioboro akan bebas kendaraan dan bisa menjadi kawasan pedestarian. "Untuk saat ini saja kawasan Malioboro baru memiliki dua tempat parkir, yaitu tempat parkir Abu Bakar Ali dan Ngabean. Padahal kedua tempat itu masih cenderung jauh dari Malioboro. Sehingga masyarakat yang ingin menuju Malioboro masih kesulitan," sambungnya.
Selain masalah transportasi dan tata ruang, nantinya Malioboro akan memiliki banyak ruang publik dan pohon peneduh. Untuk pohon peneduh sendiri dipilih pohon Asam dan Gayam yang memiliki makna filosofis yang berkaitan dengan keraton.
foto: Ardhyasa Fabrian Gusma
Gusma berharap desain ini segera bisa terealisasikan dengan baik dan maksimal. Dia menginginkan Kota Yogyakarta memiliki sebuah Art Gallery yang bisa menampilkan rencana pembangunan kota. Sehingga jika ada rencana pembangunan kota untuk jangka waktu yang lama, semua elemen masyarakat bisa tahu dan menilai.
"Kita harus punya penghubung antara desainer dengan masyarakat. Jadi masyarakat bisa tahu kotanya ke depan mau jadi seperti apa. Karena masyarakat sendiri yang akan menikmatinya," ungkapnya.
foto: Ardhyasa Fabrian Gusma