Brilio.net -
Rumah kuno itu tak berpenghuni. Berpagar kayu yang hampir roboh. Rumah itu menyatu dengan Jalan Sunan Kudus dan membuat siapa saja yang melintas berpikir tentang kemegahan rumah itu pada zamannya. Menurut cerita, dulu pagar rumah itu terbuat dari besi, tapi setelah dirampas tentara Jepang pagar diganti kayu.
BACA JUGA :
Pengusaha Tionghoa berebut untung dari opium di Lasem (2)
Warga menyebut bangunan itu sebagai Rumah Kembar. Bangunan yang berada di barat Kali Gelis itu mempunyai rumah kembaran di timur Kali Gelis. Dua rumah itu milik Nitisemito, bos kretek pada awal abad 20. Rumah Kembar hanyalah salah satu bukti kejayaan sang pengusaha kretek.
Nitisemito adalah sosok yang legendaris. Berkat perannya, campuran tembakau dan cengkeh yang pada akhir abad 19 dan awal abad 20 banyak dikonsumsi menjadi rokok kretek yang begitu digemari hingga saat ini. Oleh Nitisemito, racikan yang ditemukan oleh Haji Jamhari itu dikembangkan dengan sistem yang belum dilakukan oleh orang lain pada masa itu.
Pada masa kejayaannya, Nitisemito menjadi salah satu orang yang sangat terpandang dan berpengaruh. Nitisemito memang luar biasa, ia menjadi potret usahawan sukses yang memulai usahanya dari nol. Parada Harahap dalam bukunya Indonesia Sekarang menyebut jika hampir semua Raja Kretek yang ada di Kudus adalah orang yang selfmademan, yakni orang yang memajukan dirinya sendiri, orang yang tadinya tak berharta dan tak punya pelajaran apa-apa.
BACA JUGA :
Kartini sang penentang peredaran opium di kalangan pribumi (3-habis)
Tetapi berkat keuletan bekerja, kemampuan berdagang yang cerdik dan tajam, mereka mampu mengumpulkan kekayaan dengan mendirikan pabrik-pabrik besar. Hal itu tentu menjadi gambaran bagi Nitisemito yang tak sekolah tapi berkat keuletannya ia bisa sukses dan dihormati.
Berpengaruhnya sosok Nitisemito yang notabene tak pernah bersekolah terbukti dari kedekataannya dengan orang-orang berpendidikan yang menjadi tokoh pergerakan nasional. Kedekatan itulah yang membuat dirinya juga berperan menjadi salah satu donatur pergerakan nasional kala itu.
Nitisemito bersama para tokoh pergerakan nasional di depan rumahnya tahun 1935
Peran Nitisemito yang membangun industri kretek yang menampung belasan ribu pegawai pribumi bisa diartikan telah menyelamatkan belasan ribu pribumi itu dari cengkeraman tangan Belanda. Peran Nitisemito yang begitu besar pun mengundang simpati dari Raja Kasunanan Solo, Susuhan Paku Buwono X. Sebagai penghargaan, Paku Buwono X mengundang Nitisemito untuk berkunjung ke Keraton Solo.
Alex Soemadji Nitisemito menerangkan dalam bukunya, Nitisemito datang ke Keraton Solo ditemani oleh H.M. Oemar Said, M. Karmain, dan Soemadji. Pada kunjungan itu, Nitisemito mendapat kehormatan dengan diberi seekor kuda yang diberi nama Kyai Gambuh. Kedatangan Nitisemito ke Solo mendapat balasan dari Paku Buwono X di kemudian hari.
Kepada brilio.net awal Januari lalu, Nusjirwan Soemadji Nitisemito menyebut jika setelahnya, Paku Buwono X mendatangi kediaman Nitisemito. Saat itu, Raja Solo itu memang terkenal sering melakukan kunjungan ke berbagai daerah di Jawa untuk mendukung dan membangkitkan semangat nasionalisme masyarakat, termasuk kunjungannya di Kudus. Pada saat itu, kata Nusjirwan, Nitisemito menjamu Paku Buwono X di kediamannya sendiri yang terletak di sebelah utara Jalan Senan Kudus dan sebelah baratnya Kali Gelis.
Alex menjelaskan dalam bukunya jika pada Agresi Militer Belanda 1947-1949, Nitisemito juga sebenarnya ikut berkontribusi tapi bentuk kontribusi yang dilakukan bukan secara langsung ikut turun dalam pertempuran. Karena Nitisemito saat itu sudah tua, maka bentuk dukungannya dibuktikan dengan meminta anak laki-lakinya, Soemadji mengambil peran. Nitisemito meminta anaknya mengurus rumahnya sebagai tempat menampung komandan batalyon 423, Mayor Basuno, istri, dan para pembantu dekatnya. Selain itu Nitisemito juga meminta Soemadji mendirikan dapur umum untuk mempersiapkan hidangan bagi para tamu Mayor Basuno.
Menurut Nusjirwan Soemadji Nitisemito kepadabrilio.net, Nitisemito sering menerima Soekarno dan para pejuang kemerdekaan lainnya di villanya yang ada di Salatiga. Pertemuan itu tak dilakukan di Kudus agar tak diketahui oleh Belanda. Dalam setiap pertemuan Nitisemito disebut sering menitipkan dana untuk perjuangan kaum pergerakan kepada Bung Karno. Pemerintah Belanda sebenarnya mencurigai hal itu, tapi mereka tak mempunyai bukti atas hal itu.
Nusjirwan Soemadji Nitisemito, salah satu cucu Nitisemito
Kedekatan itu membuat Bung Karno sampai menyebut nama Nitisemito dalam pidatonya di hadapan peserta sidang BPUPKI 1 Juni 1945. "Sebagaimana tadi telah saja katakan: kita mendirikan negara Indonesia, jang kita semua harus mendukungnja. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito jang kaja buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia semua buat semua!"
Penyebutan itu tentu menunjukkan bahwa Nitisemito saat itu sudah terkenal sebagai orang kaya dari pribumi asli.
Tingginya angka penjualan rokok merek tjap Bal Tiga milik Nitisemito yang didaftarkan kepada Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1908 membuatnya semakin kuwalahan dalam urusan produksi. Rumah pasangan Nitisemito-Nasilah juga tak cukup lagi menampung bahan baku maupun kegiatan produksi rokok dalam jumlah besar untuk memenuhi permintaan pelanggan. Muncullah cara produksi yang disebut sistem abon.
Dalam buku karangan Alex Soemadji Nitisemito berjudul Raja Kretek Nitisemito (1980), disebutkan jika pada sistem abon, perusahaan akan memberikan bahan pembuatan rokok seperti tembakau campur, serat untuk mengikat dan sebagainya kepada orang-orang yang dipercaya. Bahan tersebut dibawanya pulang ke rumah masing-masing dan dikerjakan bersama penduduk sekitar.
Orang-orang kepercayaan perusahaan bertanggung jawab menyerahkan rokok yang sudah jadi kepada perusahaan. Lalu, oleh perusahaan, rokok tersebut lantas dimasukkan ke dalam pembungkus yang sudah ada mereknya. Dengan kata lain, saat itu perusahaan hanya mempunyai sebuah gedung dan ribuan buruh untuk proses pembungkusan dan pencampuran tembakau dan cengkeh.
"Keadaan ini menyebabkan perusahaan rokok tjap Bal Tiga milik Nitisemito secara langsung hanya mempunyai buruh beberapa ribu saja meskipun pada hakikatnya buruh pembuat rokoknya berjumlah puluhan ribu," tulis cucu Nitisemito itu dalam bukunya.
Tapi keadaan itu berubah tatkala harga cengkeh yang meningkat cepat dibandingkan dengan bahan lain seperti tembakau, saos, dan lainnya. Meskipun Indonesia menghasilkan cengkeh, tapi saat itu cengkeh yang digunakan didatangkan dari Zanzibar Afrika karena cengkeh Indonesia terlalu banyak minyak dan terlalu mahal harganya. Keadaan ini mendorong beberapa orang kepercayaan mencari keuntungan secara sembunyi-sembunyi. Caranya, mereka mengambil cengkeh pada campuran tembakau dan cengkeh itu kemudian menambah porsi tembakaunya. Hal tersebut tentu akan mempengaruhi kualitas rokok.
Mengetahui hal itu, Nitisemito lalu membangun sebuah pabrik di atas tanah seluas 6 hektar di Desa Jati Kulon, tepatnya di pinggir Jalan Semarang-Kudus. Keadaan tersebut membuat pada pagi hari tampak pemandangan ribuan orang berbondong-bondong menuju pabrik rokok. Perusahaan rokok pun berjalan sehat.
Rumah kembar peninggalan Nitisemito
Selain kualitas bagus, cara promosi Nitisemito juga terbilang bagus. Mark Hanusz dalam bukunya Kretek; The Culture and Heritage of Indonesia's Clove Cigarette menyebutkan jika cara-cara promosi modern telah dilakukan Nitisemito sejak tahun 1920.
Amen Budiman dan Onghokham dalam buku Rokok Kretek: Lintasan Sejarah bangsa dan Artinya Bagi Pembangunan Bangsa dan Negara menyebutkan, sekalipun Nitisemito tuna aksara, ia telah menerapkan sejumlah prinsip perusahan modern yang akhirnya berhasil menempatkan perusahaannya menjadi perusahaan yang paling berjaya pada masanya.
Kepada para pelanggan rokok, Nitisemito menyediakan berbagai macam hadiah, mulai dari gelas, piring, cangkir, arloji, jam tembok, sepeda, dan lain sebagainya. Seluruh hadiah diberi cap Bal Tiga, lengkap dengan lambang tiga lingkaran dan nama M. Nitisemito. Hebatnya lagi, seluruh barang-barang tersebut bukan diproduksi di Hindia Belanda, melainkan di Jepang. Di samping itu, ia juga mengerahkan sejumlah mobil untuk keperluan promosi sekaligus menerima penukaran pembungkus rokok hasil produksinya dengan hadiah yang telah disediakan. Setiap ada pasar malam di berbagai daerah, Nitisemito juga tak ketinggalan ikut serta meramaikannya dengan membuka stan.
Tak hanya itu, Nitisemito juga menggunakan sandiwara keliling sebagai media promosinya. Sandiwara keliling itu sebenarnya bagian terpisah dari perusahaan Nitisemito, Rokok tjap Bal Tiga posisinya hanya sebagai sponsor tunggal. Pada setiap pertunjukan yang dilakukan, mereka wajib mempromosikan rokok tjap Bal Tiga dengan cara menampilkan gambar pabrik di layar utama. Alat musik mereka pun semuanya bergambar merek tjap Bal Tiga. Nitisemito juga mendirikan radio sendiri, sebagai salah satu cara untuk mendekatkan rokok tjap bal Tiga dengan masyarakat.
"Bahkan, yang paling hebat dan belum pernah dilakukan oleh perusahaan rokok manapun di tanah air kita, ia pernah menyewa pesawat tebang hanya untuk menyebarkan pamflet rokok hasil produksinya," kata Amen Budiman dalam bukunya. Saat itu, sekitar tahun 1930-an, Nitisemito menyewa pesawat jenis Fokker F-200 untuk menyebarkan pamflet rokok tjap Bal Tiga. Penyebarannya bukan hanya di area Jawa Tengah, tetapi juga telah sampai Bandung dan Jakarta.
Tak hanya souvenir yang diproduksi Nitisemito di Jepang, pembungkus rokok pun ternyata dicetak di Jepang. Alex Soemadji Nitisemito menyebut, pembuatan bungkus di Jepang dilakukan sebagai cara untuk mencegah pemalsuan produk yang mulai merebak dan merugikan perusahaan. Pencetakan pembungkus rokok di Jepang itu dilakukan untuk mendapatkan pembungkus dengan huruf dan gambar yang tercetak timbul di kertas. Saat itu, percetaan di Hindia Belanda belum ada yang sanggup membuat seperti itu. Pembuatan di Jepang tentu membawa konsekuensi, karena harus mencetak dengan jumlah yang banyak. Dengan pembungkus yang timbul itu, tentu pelanggan dapat membedakan mana rokok tjap Bal Tiga yang asli dan yang palsu.
Sovenir untuk pelanggan rokok kretek Bal Tiga yang kini masih tersimpan di Museum Kretek
Kekayaan Nitisemito pun melimpah. Pada saat anak perempuannya yang pertama dan kedua, Nahari dan Nafiah menikah, memang keadaan ekonomi Nitisemito belum terlalu baik. Tak heran jika pesta pernikahan untuk kedua anak perempuannya itu dilakukan secara sederhana. Tapi pada saat pernikahan anak laki-lakinya, Soemadji, usaha Nitisemito bisa dikatakan sedang berkembang pesat. Pernikahan anak orang terpandang itupun dilakukan dengan besar-besaran.
Pesta Pernikahan Soemadji dengan Siti Chasinah (anak H.M. Muslich) pengusaha kretek di Kudus yang juga besar, dilakukan dalam waktu 7 hari 7 malam. Beberapa arsip foto pernikahan tersebut juga masih tersimpan di Balai Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Jawa Tengah yang ada di Semarang.
Soemadji menikah dengan Siti Chasinah tahun 1935
Alex Soemadji menyebutkan bahwa resepsi pernikahan kedua orangtuanya itu dilakukan di kediaman Nitisemito sendiri. Pada saat itu menjadi kebiasaan orang Kudus untuk mengadakan resepsi pernikahan di rumah pribadi, bukan di gedung pertemuan. Pada resepsi itu, tak kurang ada 300 undangan yang terdiri dari para pejabat Belanda, para pejabat pribumi, para pengusaha serta relasi-relasi Nitisemito dan Muslich. Sebelumnya, Nitisemito juga mengadakan tahlilan yang diikuti tak kurang dari 2.500 orang. Pada hari lain, Nitisemito juga mengadakan resepsi khusus wanita yang didatangi sekitar 1.500 orang.
Pada pesta perikahan 7 hari 7 malam itu, Nitisemito juga mendatangkan panggung terbuka seperti sandiwara, ludruk, gambus, ketoprak wayang orang, wayang kulit, tarian, dan masih banyak kesenian tradiional lain.
Puncak kejayaan Nitisemito bisa dikatakan terjadi pada tahun 1930-an. Pada tahun-tahun tersebut, produksi rokoknya bisa mencapai 10.000.000 batang per hari. pada tahun 1934 bahkan omzet Nitisemito mencapai Rp79.338, suatu nominal yang sangat besar kala itu.(bersambung)
BACA JUGA: Nitisemito, Raja Kretek Nusantara yang ternyata tak pernah sekolah (1)