Brilio.net - Jika berkunjung ke Solo, sempatkan untuk mampir ke Kelurahan Laweyan yang berada di Jalan Dr Rajiman. Di sepanjang jalan kampung ini kamu akan menemukan rumah-rumah yang menampilkan berbagai motif batik di etalasenya. Beberapa rumah juga masih memiliki arsitektur yang bergaya Jawa-Eropa yang merupakan peninggalan para saudagar batik masa lalu. Mereka yang telah plesiran ke luar negeri, baik untuk urusan bisnis maupun liburan tertarik dengan rumah-rumah di sana, sehingga diadopsi untuk rumah sendiri tanpa meninggalkan khas Jawa.
Melalui Forum Pengembangan Kampoeng Batik Laweyan (FPKBL), selaku organisasi yang mendorong penggiatan produksi batik sejak berdiri pada 2004 ini, kamu bisa mengikuti berbagai paket wisata yang ditawarkan. Sejak berdirinya FPKBL ini, dibukalah kawasan Laweyan ini sebagai wisata batik. Tercatat sebanyak 51 brand kerajinan batik rumahan yang berasal dari 3 Rukun Tetangga hingga kini terus aktif membuat batik, baik dengan metode tulis, maupun cap.
Berdasarkan penuturan Arif Budiman Effendi, salah satu pengurus FPKBL, Batik Laweyan sudah ada sejak abad 15, yaitu pada masa pemerintahan Joko Tingkir (Sultan Hadiwijaya). Pada masa itu, para pembatik banyak memanfaatkan pewarna alami. Nama Laweyan berasal dari kata lawe (benang), sebab dulunya merupakan tempat penghasil dan berjual benang yang ramai. Ada pula yang menyatakan Laweyan berasal dari kata nglawiyan yang berarti golongan kaya, sebab pada mas itu banyak pengusaha batik yang kaya raya.
BACA JUGA :
Wow, museum batik pertama di Indonesia ternyata ada di Jogja!
Kampung Laweyan ini merupakan tanah pemberian Joko Tingkir kepada Ki Ageng Enis atas keberhasilan melumpuhkan pemberontakan yang dilakukan oleh Arya Penangsang (Adipati Jipang). Tokoh lainnya yang turut berjasa dalam mempertahankan kekuasaan sah ini seperti Ki Panjawi diberi tanah Pati, Ki Ageng Pamanahan yang merupakan putra Ki Ageng Enis diberi tanah Mataram.
"Laweyan pernah mengalami masa jaya, yaitu sewaktu adanya Sarekat Dagang Islam yang digagas Haji Samanhudi waktu itu. Beliau mencetuskan metode batik cap yang mempermudah produksi batik. Dari segi biaya produksi jadi lebih murah, sehingga harga lebih bisa diterima masyarakat," kata Arif kepada brilio.net, Senin (9/11).
Pada masa 1900-an ini, seorang saudagar bernama Tjokrosoemarto berhasil mengekspor batik hingga ke luar negeri. Menurut situs resmi Kampoeng Batik Laweyan, Tjokrosoemarto merupakan eksportir batik pertama dari Indonesia.
Didirikannya FPKBL adalah untuk menggerakkan kembali kerajinan batik rumahan Laweyan setelah sempat merosot pada tahun 200-an sebab pada era 1970-an muncul produk printing bermotif batik yang menyaingi batik tulis maupun cap. Batik Laweyan sempat jatuh hingga menyisakan hanya 20an rumah kerajinan.
BACA JUGA :
Simpang siur cerita Canting Jerman milik Museum Batik Jogja
"Mimpi besarnya, adanya FPKBL ini bisa membawa kembali meraih masa kejayaan seperti SDI dulu. Produk batik yang sudah sampai ekspor ada Puspa Kencana, itu sudah jalan 5 tahun lebih," imbuh Arif.