Brilio.net - Melewati Jalan Raya Solo-Baki yang berada di Solo bagian selatan, terdapat Tempat Pemakaman Umum (TPU) Daksinoloyo. Makam tersebut salah satu terbesar di Solo selain Bonoloyo, Untoroloyo, Purwoloyo,dan Pracimoloyo. TPU Daksinoloyo yang terletak pada lahan seluas 12 hektare itu makin banyak dikenal lagi lantaran sebagian besar yang dimakamkan di pemakaman tersebut adalah masyarakat dari kalangan menengah ke bawah. Jenazah yang tak dikenal maupun yang tak diambil di RSUD Dr Moewardi Solo kebanyakan dimakamkan di pemakaman tersebut.
Tapi siapa sangka jika di balik TPU kalangan menengah ke bawah tersebut, ternyata ada satu makam istimewa. Makam yang berada di pinggiran area makam bagian utara itu dikelilingi pagar yang tingginya tak lebih dari satu meter. Di sekitaran makam tersebut masih berupa tanah kosong yang belum diisi jenazah.
"Ya, ini makam Panembahan Hardjonagoro, sudah lama sekali beliau pesan makam ini," kata Mulyadi (36) kepada Brilio.net, Selasa (24/11). Mulyadi adalah penjaga TPU Daksinoloyo itu mengaku tahu tentang Panembahan Hardjonagoro.
Makam Go Tik Swan
Penambahan Hardjonagoro yang mempunyai nama asli Go Tik Swan adalah orang yang punya pengaruh besar dalam hal budaya di Solo. Tak hanya di Solo, Hardjonagoro bahkan punya peran besar bagi perkembangan batik di Indonesia. Dari tangannyalah tercipta Batik Indonesia permintaan Presiden Soekarno.
Hardjonagoro yang lahir pada 11 Mei 1931 di Solo itu wafat pada tanggal 3 November 2008 dalam usia 77 tahun. Karena tak mempunyai keturunan, maka ia memilih pasangan suami istri Hardjosoewarno dan Supiyah menjadi ahli warisnya. Hardjosoewarno dan Supiyah diberi hak dan tanggung jawab untuk merawat serta melestarikan harta kekayaan Hardjonagoro yang berada di Ndalem Hardjonagaran seisinya, termasuk batik dan besalen keris yang telah dibangun Hardjonagoro. Sejak lama Supiyah telah dipersiapkan untuk meneruskan Batik Indonesia yang telah dirintis Hardjonagoro, sementara Hardjosoewarno telah dipersiapkan untuk mewarisi ilmu tosan aji.
Dalam buku 'Jawa Sejati, Otobiografi Go Tik Swan Hardjonagoro' karangan Rustopo, diceritakan jika untuk persiapa meninggal dunia, Hardjonagoro lewat Hardjosoewarno telah memesan tempat di pemakaman umum Daksinoloyo Solo. Ia memesan tanah yang cukup untuk 30 badan. Di sana dipersiapkan untuk memakamkan jenazah Hardjonagoro sekeluarga, yaitu Hardjosoewarno, Supiyah, anak-anak dan menantu, serta cucu-cucunya.
Mulyadi menerangkan jika dulu sebelum meninggal Hardjonagoro sering kali mengunjungi area tanah yang telah dipesannya dan berdiam diri di tempat itu. Sementara setelah ia meninggal dunia, setiap malam Jumat terdapat keluarga yang berziarah di makam Hardjonagoro, mereka itu adalah keluarga Hardjosoewarno. Menurut Mulyadi, termasuk hal unik jika Hardjonagoro memilih dimakamkan di sini, karena memang makam Daksinoloyo sebenarnya pemakaman kalangan menengah ke bawah.
"Harusnya beliau juga mampu jika memilih pemakaman lainnya, tapi entah kenapa beliau kok memilih makam di sini," kata Mulyadi.
Rustopo saat dihubungi brilio.net, Rabu (25/11) mengungkapkan jika secara eksplisit Hardjonagoro memang tak pernah mengungkapkan pilihannya untuk dimakamkan di Daksinoloyo adalah caranya yang tidak mau dianggap istimewa dan memilih membaur dengan masyarakat kelas bawah. Tapi jika dilihat dari sikapnya selama ini, memang dia terkesan lebih senang membaur dengan orang-orang biasa.
Kompleks Pemakaman Go Tik Swan
Kesahajaan diri inilah yang sangat jarang ditemui pada tokoh-tokoh lainnya. Hal itu sama seperti keputusan Hardjonagoro yang memilih mewariskan hartanya kepada Hardjosoewarno dan istri yang secara darah tak mempunyai hubungan apapun.
Hardjosoewarno sendiri mengenang sosok Hardjonagoro sebagai orang yang bersahaja. Ia selalu memberikan keteladanan kepada orang di sekitarnya. Hardjonagoro selalu membiasakan diri untuk sedekah. Salah satu hal yang sangat dikenang oleh Hardjosoewarno dan Supiyah adalah tindakannya yang sering memberi makan orang-orang jalanan.
Setiap Selasa Kliwon, ada aktivitas tak biasa di Ndalem Hardjonegaran yang terletak di Jalan Yos Yudarso 176 Solo. Supiyah Anggriyani pada hari itu pasti akan masak nasi bandeng dalam jumlah besar. Setelah selesai dimasak dan dibungkus, giliran Hardjosoewarno, suami Supiyah yang bertugas. Ia akan keliling kota Solo untuk membagikan nasi bandeng tersebut kepada para orang kere, gelandangan, atau pengemis di pinggir jalan. Kebiasaan itu telah dilakukan bertahun-tahun selama masa hidup Hardjonagoro.
"Itu hal yang wajar dilakukan orang Jawa, yakni melakukan selamatan saat wetonnya," terang Hardjosoewarno.
Kebersahajaan Go Tik Swan juga ditunjukkan dengan tindakannya yang menghibahkan koleksi patungnya kapadan pemerintah. Tindakan itu sama sekali tak menunjukkan sikap keserakahannya. Sikapnya yang menyerahkan koleksi patung langka hasil pencariannya sendiri itu dinyatakan pemerintah sebagai tindakan pertama yang pernah ada.
Tak hanya bersahaja, Hardjonagoro juga seorang yang religius. Religiusitasnya ditunjukkan dengan tindakannya yang sering melakukan ziarah ke makam wali di daerah yang ia singgahi. Ketika dia mengunjungi beberapa daerah saat masa pencarian ilham Batik Indonesia, ia selalu sempatkan menyinggahi makam yang ada di daerah tersebut, seperti makam Luar batang jakarta, makam Sunan Gunung Jati Cirebon, makam Raden Fatah Demak, makam Sunan Kalijaga, hingga makam Sunan Bonang. Ia juga cukup sering mengunjungi makam Sunan Bayat di Klaten yang dianggapnya sebagai leluhurnya.
Ketika pada tahun 1979 ia diundang oleh Irene Emery Roundtable on Textile Museum di New York sebagai pembicara utama, ia pun memberikan hadiah berupa 20 lembar batik untuk dikoleksi The Metropolitan Museum of Art. Ketika ditanya direktur The Metropolitan Museum of Art tentang hadiah apa yang cukup mengesankan bagi Hardjonagoro seandainya mereka mampu memberikan, Hardjonagoro memilih hadiah untuk bisa mengunjungi tanah suci Makkah dan Madinah, sang direktur pun langsung mengatur perjalanan Hardjonagoro untuk ke Makkah, Madinah, hingga kemudian kembali ke Indonesia.
Hardjonagoro mendapat perlakuan yang cukup istimewa selama di Makkah dan Madinah. ia dapat bersimpuh dan dekat sekali dengan Hajar Aswad serta makam Nabi Muhammad SAW selama berjam-jam. Setelah melakukan semua ibadah umroh sesuai dengan tuntunan, Hardjonagoro merasa lega karena apa yang dimimpikan selama ini bisa terkabul.
Bagi Rustopo sendiri, Hardjonagoro adalah sosok yang patut untuk diteladani. Sangat jarang bisa ditemukan orang seperti dia, bukan keturunan asli Jawa tapi mengerti budaya Jawa melebihi orang Jawa asli.
BACA JUGA:
Go Tik Swan, maestro Batik yang lebih Jawa dari orang Jawa (1)
Bulan pecah di tubuh Go Tik Swan, asal muasal Batik Indonesia (2)