Brilio.net - Pendidikan adalah hak semua masyarakat Indonesia. Apapun status sosialnya, selama seseorang tersebut masih ingin dan mau belajar, dia berhak melanjutkan pendidikan setingi-tingginya. Termasuk salah satunya untuk Slamet Kuatno, anak buruh tani yang berhasil diterima di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Slamet adalah anak ke-7 dari tujuh bersaudara dalam sebuah keluarga sederhana yang tinggal di daerah Banyumas. Slamet adalah satu-satunya anak yang berhasil merasakan pendidikan sampai bangku kuliah, sementara kakak-kakaknya hanya sampai jenjang Sekolah Dasar dan bekerja sebagai buruh tani, kuli bangunan, dan lainnya.
BACA JUGA :
Penemuan baru, ada mesin cuci tanpa listrik harganya Rp 571 ribu, wow!
"Waktu itu orangtua sudah lepas tangan dalam artian cuma sanggup biayai sekolah sampai SD. Tapi karena saya ingin sekali melanjutkan pendidikan, diam-diam saya daftar SMP. Setelah diterima barulah saya cerita pada kakak saya dan akhirnya mau membayar biaya SMP," cerita Slamet pada brilio.net, Kamis (10/9).
Saat menjadi siswa SMP, satu hal yang paling diingat oleh Slamet adalah ketika setiap jam istirahat dia hanya bisa duduk di lapangan sambil melihat teman-temannya di kantin. Dia tidak ikut jajan karena tak memiliki uang saku. Selain itu Slamet juga mulai bekerja sambilan sebagai buruh pengangkat batu bata agar dapat meringankan beban sang kakak untuk membayar uang sekolahnya.
"Beruntungnya saya waktu lagi duduk merenung di lapangan itu ada guru yang kebetulan tahu keadaan saya yang kemudian menawarkan untuk membiayai sekolah saya asal saya mau tinggal di rumah beliau," lanjut Slamet.
BACA JUGA :
Kisah di balik gambar fenomenal yang dilihat jutaan orang
Berkat kebaikan guru SMPnya tersebut, akhirnya Slamet beruntung bisa melanjutkan sekolah ke jenjang SMK. Slamet bercerita, saat tinggal di rumah sang guru dia baru menyadari bagaimana kasih sayang orang tua pada anak.
"Setelah seminggu di rumah pak guru, saya pulang sebentar untuk bertemu ibu. Saat di rumah saya nangis di depan ibu sambil saya basuh kakinya dan saya cium sembari berjanji bahwa saya akan sekolah dengan benar untuk mengubah nasib keluarga."
Prinsip itulah yang kemudian membawa Slamet untuk semakin yakin melanjutkan pendidikan. Setelah lulus SMK, atas saran dari seorang kenalan, dia memutuskan untuk mengikuti bimbingan belajar di Semarang. Perjalanannya menuju Semarang pun bukan tanpa masalah.
Slamet dibekali uang Rp 600.000 yang didapatnya dari saudara-saudara serta gurunya untuk biaya perjalanan dan membayar bimbingan belajar senilai Rp 300.000. "Saya transit di Jogja sebelum akhirnya dapat bis ke Semarang. Waktu itu malam hari saya harus ganti bis di Solo. Harusnya tarifnya hanya Rp 25.000 tapi saya nggak sadar bayar Rp 130.000 tanpa kembalian," ceritanya.
Gara-gara kesalahan membayar itu, uangnya tinggal Rp 350.000 saat tiba di pemberhentian bis karena sebagian uangnya telah dipakai untuk biaya perjalan dari rumah ke Jogja. Namun Slamet belum sampai lokasi bimbingan. Dia harus naik angkutan lagi dan membayar Rp 30.000, sehingga tiba dilokasi uangnya cuma tersisa Rp 320.000. Padahal, biaya bimbingan adalah Rp 300.000. Untuk memenuhi kebutuhan biaya selama tinggal di Semarang, Slamet sempat meminjam uang dari teman bimbingannya untuk membayar keperluan kaos, dan lainnya.
Selepas bimbingan, Slamet diajak temannya bekerja menjadi kuli bangunan dan membantu temannya belajar agar bisa mendapat uang untuk melunasi utang dan untuk kembali pulang ke Banyumas. "Waktu itu ibu sempat telepon menanyakan kapan saya pulang. Tapi saya bilang saja, bimbingannya belum selesai padahal saya tidak punya uang untuk pulang dan masih bekerja," tuturnya. Slamet baru pulang setelah mendapat gaji dan mendengar kabar bahwa ibunya sakit.
Kisah Slamet juga masih berlanjut saat menantikan pengumuman SBMPTN pada bulan puasa lalu. "Waktu nunggu pengumuman, saya ke warnet dan saya bawanya uang pas untuk bayar 1 jam. Tapi ditunggu-tunggu pengumuman belum muncul. Sampai akhirnya di detik terakhir pengumuman sudah keluar dan ada nama saya untuk fakultas kehutanan UGM."
Kini Slamet menjalani hari-harinya sebagai mahasiswa di salah satu kampus bergengsi di Indonesia itu. Slamet membuktikan bahwa dengan kemamuan dan ketekukan, pasti akan ada jalan untuk mencapai tujuan.