1. Home
  2. »
  3. News
15 Maret 2016 01:00

Pengusaha Tionghoa berebut untung dari opium di Lasem (2)

Menetapnya warga Tionghoa tak lepas dari kebijakan Hindia Belanda memberikan hak perdagangan untuk beberapa jenis barang Tony Febryanto

Brilio.net - Lasem berjuluk Kota Tionghoa Kecil. Sebutan ini merujuk pada banyaknya keturunan Tionghoa yang berdomisili di Lasem. Menetapnya warga Tionghoa tak lepas dari kebijakan Hindia Belanda memberikan hak perdagangan untuk beberapa jenis barang. Salah satunya adalah opium.

Warga Tionghoa yang tinggal di sini rata-rata sudah lanjut usia, kata Baskara (34), warga Lasem sekaligus pegiat kebudayaan setempat. Mereka adalah keturunan beberapa generasi sebelumnya.

BACA JUGA :
Jejak-jejak kejayaan Lasem sebagai pusat perdagangan opium (1)


Pedagang opium di Lasem adalah para saudagar warga Tionghoa. Salah satu bukti peninggalan sejarah perdagangan opium adalah sebuah rumah kuno yang dikenal dengan Rumah Candu Lawang Ombo. Di rumah inilah praktik penyelundupan opium pada abad ke-19 dijalankan dengan sangat rapi. Rumah tersebut milik seorang saudagar China Liem Kim Siok.

Opium diselundupkan melalu jalur sungai yang kemudian satu jalur rahasia menuju rumah Lawang Ombo. Hingga saat ini, bangunan Lawang Ombo masih berdiri dengan kokoh meski usianya lebih dari satu setengah abad.

BACA JUGA :
Kartini sang penentang peredaran opium di kalangan pribumi (3-habis)

Lawang Ombo yang berada di sudut jalan dan menghadap langsung dengan sungai Babakan

Belanda telah memonopoli penjualan opium sejak abad ke-17 di Indonesia. Karena opium menjadi salah satu sentra pendapatan yang tinggi, maka diperlukan aturan yang jelas untuk mengatur distribusi serta penjualan opium di Jawa. Mekanisme ini kemudian dinamakan Pak (pacht).

Pak atau surat izin mengedarkan opium dilelang secara terbuka oleh pihak pemerintah Hindia Belanda. Dalam acara pelelangan tersebut, hadir semua kalangan termasuk perwakilan pemerintah daerah (keresidenan): para bupati pejabat priyayi rendahan, pejabat dari kalangan Tionghoa, dan para staf Kolonial Belanda. Sedangkan peserta lelang adalah orang Tionghoa yang memang mendapatkan kepercayaan penuh dari pemerintah untuk mengelola perdagangan opium.

Para peserta lelang saling mengajukan tawaran tertinggi. Artinya, bagi residen Hindia Belanda, penawaran yang tinggi akan menghasilkan pendapatan tertinggi pula untuk negara. Sedangkan bagi orang Tionghoa, memenangkan lelang berarti akan memberi mereka hak istimewa menjual opium secara resmi serta menjadi tokoh berpengaruh dan disegani.

Dalam acara lelang tersebut, dibacakan pula berbagai aturan mengikat seperti batas-batas wilayah kerja pak, besarnya jumlah opium yang diberikan pemerintah kepada pemenang lelang (pengepak), serta jumlah toko yang ada dalam wilayah kerja pak. Pemerintah mengancam akan memberikan sanksi berat jika para penawar yang melakukan penyuapan, penipuan, dan kong-kalikong.

James R Rush dalam bukunya yang berjudul Candu Tempo Doeloe menyebut untuk memuluskan aturan pemerintahan, Belanda mengangkat wakil-wakil Tionghoa yang bertanggung jawab atas wilayah koloni yang mengatur masalah perdagangan. Mereka kemudian diberi gelar kaptan, letnan, atau mayor. Meski gelar ini bukan gelas di kemiliteran.

Melalui mekanisme yang sistematis, bisnis opium oleh pemerintah kolonial berlangsung selama bertahun-tahun. Pemerintah mendapatkan keuntungan yang melimpah. Sementara para pengepak yang menjual opium diyakini menghasilkan keuntungan yang tak kalah fantastis.

Keuntungan yang dihasilkan para pengepak tidak pernah terungkap. Yang jelas, jumlah yang dibayarkan oleh pengepak kepada negara seringkali mencapai angka yang mencengangkan.

Kendati demikian, bisnis opium bukanlah bisnis sederhana. Keuntungan pak tergantung sejumlah variabel, diantaranya kemampuan mengolah candu, efisiensi manajemen pak, serta kondisi pasar di wilayah pak setempat. Belum lagi, jatah opium yang dipasok pemerintah terkadang tidak seimbang dengan permintaan pasar.

Akibatnya, mau tidak mau, para pengepak berusaha menambah persediaan opium mereka dengan opium ilegal. Kalau tidak, pasar gelap opium di wilayahnya akan dikuasai penjual opium ilegal lain yang dapat membahayakan keuntungan yang mereka dapatkan.

Agar pak opiumnya sukses dan mampu membayar pajak kepada pemerintah, para pengepak tidak segan-segan bekerjasama dengan pihak aparat untuk mengontrol distribusi opium gelap. Banyaknya kasus penyelundupan yang terungkap serta tidak diimbangi dengan jumlah aparat penegak hukum yang memadai, Belanda mulai menyadari bahwa sistem perpakan opium memiliki banyak kelemahan.

Dua orang warga pribumi sedang menikmati opium

Setelah melakukan diskusi dengan para pakar dan pemerintah di Belanda, pemerintah kolonial kemudian memberlakukan aturan baru. Aturan lama pak opium digantikan dengan Regi Opium.

Di bawah Sistem Regi Opium, semua urusan opium dipusatkan di ibukota. Semua produk, rasa dan kualitasnya diseragamkan. Sementara pabrik-pabrik di daerah yang dulunya dikelola pak setempat hanya diizinkan memproduksi produk turunan opium yang berupa candu dan tiket.

Opium produksi pemerintah juga memiliki label sendiri dan campuran bahan kimia tertentu. Tujuannya untuk membedakan opium resmi dan ilegal.

Praktis tugas dari pak di daerah hanya sekadar mendistribusikan serta menjual opium. Perdagangan pak yang awalnya dimonopoli oleh orang-orang Tionghoa kini dialihkan kepada para pegawai negeri Jawa. Tujuannya untuk mendukung gerakan antipak dan semangat Etis.

Pemerintah Hindia Belanda merasa berdosa karena selama berpuluh-puluh tahun mengeksploitasi orang Pribumi sebagai konsumen candu. Dengan adanya sistem Regi Opium serta semangat etis, diharapkan orang Jawa bisa menjadi tuan rumah di tanahnya sendiri.

Opium regi konon merupakan opium termahal di dunia. Pada tahun 1903, harganya mencapai 10 kali lipat lebih mahal dari opium yang dijual di Pasar Singapura.

Pada tahun 1904, tahun pertama diberlakukannya sistem Regi Opium, penjualan di berbagai residen mengalami peningkatan pasca depresi pada dua tahun sebeumnya. Setahun kemudian 1905, penjualan Regi Opium menghasilkan keuntungan yang melampaui era pak opium.

Pada tahun itu, pendapatan regi mencapai 20 juta dan menyumbang 15,87% dari seluruh pendapatan kolonial. Pada tahun 1910 Regi Opium sudah menghasilkan 240 ribu (137%) lebih banyak ketimbang pak opium selama 10 tahun sebelumnya. Bahkan dalam laporan tahun 1914, pendapatan Belanda menjadi terbaik.

Melihat laporan keuangan tersebut, seorang pejabat di Den Haag berkata, Membaca laporan ini membuat orang kecewa pada kinerja Regi- tidak ada indikasi apapun seorang berusaha keras mengurangi penggunaan opium, kata pejabat sebagaimana dikutip oleh James R Rush dalam bukunya berjudul Opium to Java.

Di satu sisi, Regi Opium sukses menjadi penerus pak opium dengan mengumpulkan pendapatan besar untuk pemerintah. Di sisi lain, pemerintah gagal mengurangi distribusi opium yang menjadi tujuan dari kebijakan Etis untuk orang Pribumi. (bersambung)

SHARE NOW
EXPLORE BRILIO!
RELATED
MOST POPULAR
Today Tags