Brilio.net - Kamu mungkin pernah mendengar jika antibiotik sangat ampuh melawan sakit. Namun tak banyak orang tahu bahwa antibiotik tidak boleh digunakan secara sembarangan. Penggunaan antibiotik secara tidak tepat juga mengakibatkan bakteri menjadi resisten alias kebal terhadap obat-obatan.
Bahkan, pada tahun 2001, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pernah mengampanyekan perang melawan bakteri resisten akibat penggunaan antibiotik yang kurang tepat. Inilah persoalan yang tengah dipecahkan oleh para ilmuwan selama bertahun-tahun.
BACA JUGA :
Mengantar orang sakit parah, tugas paling berat para sopir ambulans
Untuk pertama kalinya dalam 30 tahun, para ilmuwan berhasil menemukan jenis antibiotik baru. Antibiotik yang dinamakan Teixobactin ini diyakini mampu menyembuhkan ketergantungan terhadap obat-obatan.
Teixobactin dipercaya dapat menyembuhkan berbagai jenis infeksi yang disebabkan oleh bakteri, seperti tuberculosis, septicaemia dan C diff. Meski demikian, antibiotik ini baru bisa digunakan dalam lima tahun lagi.
Para peneliti dari Northeastern University di Boston, Massachusetts, AS menemukan bahwa satu senyawa, Teixobactin, sangat efektif untuk melawan infeksi bakteri umum, seperti Clostridium difficile, Mycobacterium tuberculous dan Staphylococcus aureus.
BACA JUGA :
Jangan biarkan bayi dicium orang sembarangan
"Teixobactin menunjukkan bahwa kita dapat mengadopsi strategi alternatif dan mengembangkan senyawa yang membuat bakteri tidak menjadi resisten," ujar Profesor Kim Lewis, Direktur Antimicrobial Discovery Centre yang dikutip brilio.net dari Telegraph, Senin (5/10).
Antibiotik pertama Penisilin, ditemukan oleh Alexander Fleming pada tahun 1928 dan lebih dari 100 senyawa telah ditemukan. Namun sejak tahun 1987, tidak ada kelas baru yang berhasil ditemukan. Selain itu, pemberian obat-obatan yang melebihi dosis kepada pasien menyebabkan bakteri menjadi resisten.
Dengan ditemukannya antibiotik baru, para ilmuwan percaya bahwa bakteri tidak akan resisten karena Teixobactin memiliki daya serang yang berlipat. Setelah dilakukan ujicoba kepada tikus, antibiotik ini bekerja dengan baik tanpa menimbulkan efek samping. Tim peneliti saat ini sedang fokus untuk bisa diujicobakan terhadap manusia. "Saat ini kami dapat menyembuhkan tikus dari berbagai model infeksi dan kami dapat memberikan 10 mg per kg sehingga berkorelasi baik dengan penggunaan pada manusia," tambah Profesor Lewis.
Penemuan yang diterbitkan dalam jurnal Nature ini diharapkan mampu mengatasi persoalan resistensi bakteri terhadap antibiotik. "Peningkatan resistensi antibiotik merupakan ancaman bagi dunia kesehatan modern. Penemuan ini berpotensi membantu untuk menjembatani kesenjangan yang semakin meningkat antara infeksi dan obat-obatan yang tersedia untuk mengobati para pasien," komentar Prof Neil Woodford, Kepala Public Health England's Antimicrobial Resistance and Healthcare Associated Infections Reference Unit.