Brilio.net - Membangun Indonesia bisa dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya seperti yang dilakukan Suraban (25), pengajar yang mengabdi di daerah pedalaman paling timur provinsi Indonesia.
Suraban adalah salah satu Sarjana Pendidikan dari Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta yang dikirim melalui program SM3T (Sarjana Mendidik di Daerah Tertinggal, Terluar, dan Terdepan).
Pemuda asli Desa Turi, Sidorejo, Ponjong, Gunungkidul Yogyakarta, ini ditugaskan untuk mengajar di SMP N Satu Atap Kotaip Oklip yang berada di distrik Oklip Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua. Daerah tempat dia mengajar ini juga merupakan wilayah paling timur Indonesia yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini.
Mengajar di wilayah pedalaman tentu memiliki tantangan tersendiri yang tidak mudah. Suraban bercerita akses menuju wilayah terpencil ini sangat tidak mudah dan menguras tenaga. Pasalnya untuk menuju Distrik Oklip harus dilalui dengan jalur udara karena tidak tersedianya jalur darat. Perjalanan menggunakan pesawat pun tidak dilaluinya dengan mudah.
"Kami datang dari Kota Sentani menggunakan pesawat kecil AMA, pesawat tersebut tidak dapat masuk ke Distrik Oklip saat itu angin terlalu kencang. Bahkan pesawat yang saya tumpangi hampir menabrak gunung. Beruntung Allah masih menjaga kami," cerita Suraban kepada brilio.net, Selasa (25/8).
Tidak sampai di situ saja, karena pesawat tersebut tidak dapat menjangkau ke Distrik Oklip maka Suraban beserta rekan-rekannya pun harus rela berjalan selama empat jam dengan medan yang tidak mudah untuk mencapai wilayah yang dituju.
"Keadaan sekolah ketika saya datang, dari segi bangunan sudah cukup baik tapi yang masih memprihatinkan adalah pendidikan anak-anak pedalaman tersebut. Banyak di antara mereka yang belum bisa menulis dan membaca padahal sudah SMP," tutur Suraban.
Anak-anak tersebut juga harus menempuh perjalanan selama dua jam mencapai sekolah. Suraban bercerita, tenaga pendidik di sekolah tersebut hanya tiga orang. Dua di antaranya bahkan jarang ke sekolah, hanya kepala sekolah saja yang selalu datang ke sekolah.
Suraban juga dihadapkan dengan kendala komunikasi antara dia dengan siswa-siswanya yang sebagian besar belum menguasai Bahasa Indonesia dengan baik dan benar. "Yang kedua adalah minimnya sarana pembelajaran di sana seperti buku bacaan," ujarnya lagi.
Suraban juga bercerita bahwa daerah tempatnya mengajar belum ada listrik, hanya ada beberapa orang yang menggunakan panel surya dengan lampu yang hanya dapat menyala beberapa jam saja.
Sinyal telepon pun baru bisa di dapat saat turun ke Kota Papua. Namun semua itu tidak dijadikannya kendala, karena selain untuk berbagi pengalaman, tujuannya mengikuti program SM3T ini adalah bentuk pengabdiannya turut mencerdaskan anak bangsa.
"Justru itu yg membuat semangat kami semakin besar untuk mendidik anak-anak pedalaman supaya mereka dapat terbebas dari ketertinggalan," pungkas Suraban.