Brilio.net - Tak seorang pun ingin disebut menderita gangguan jiwa. Terdengar terlalu kasar di telinga khalayak Indonesia. Belum lagi, gangguan jiwa masih dianggap aib bagi kebanyakan masyarakat kita. Tak mudah menjadi orang yang disebut mengalami gangguan jiwa, seperti yang dirasakan Afa (17).
Gadis kelas 3 SMA di sebuah sekolah negeri di Surabaya, Jawa Timur ini mengaku menderita trikotilomania. Trikotilomania adalah gangguan psikologi yang mendesak penderitanya mencabut rambut saat kondisi emosi tak stabil. Namun trikotilomania yang terjadi pada Afa ini, cenderung terjadi juga saat dia lengah atau tak ada kegiatan apa pun. Maka dari itu, untuk mengatasinya, dia mencoba mencari kesibukan. Sayangnya, kebiasaan ini tak hilang begitu saja sampai sekarang.
Afa mengalami itu sejak duduk di bangku SMP kelas 2, ketika dia dan keluarga masih berdomisili di Makassar. Semula dia berobat ke dokter kulit bersama orangtuanya. Namun tak ada gejala penyakit apa pun setelah melakukan tes laboratorium. Sampai akhirnya, orangtua Afa membawanya ke psikiater. Di sana dia didiagnosis menderita trikotilomania.
"Kalau menurut psikiater itu saya ambisius. Saya waktu SMP memang dapat ranking 1, Ujian Nasional juga tujuh terbaik se-sekolah. Kalau kata temen saya pas SMP, saya ini dibilang pemarah. Padahal saya mikirnya ya mungkin terpengaruh PMS aja. Pas itu juga saya putus sama pacar karena mau Ujian Nasional, eh tapi dianya malah gonta-ganti cewek di depan saya. Sepertinya itulah pemicu saya mengalami trikotilomania," kata Afa kepada brilio.net melalui layanan story telling bebas pulsa ke 0-800-1-555-999, Kamis (7/1).
Dengan trikotilomania ini, Afa tak pernah mampu mengendalikan diri mencabut rambutnya sendiri sampai mengalami kebotakan. Pernah dia mengobati dengan obat penumbuh rambut, ternyata hanya rambutnya yang kembali tumbuh tapi tak berefek pada kebiasaannya mencabuti rambutnya sendiri. Alhasil, rambutnya tetap saja tak seperti kebanyakan orang.
Afa juga sempat dibawa ke pengobatan alternatif oleh orangtuanya di Lamongan, Jawa Timur. Orang tua yang mengobatinya itu hanya menyatakan Afa akan mengalami kesembuhan nantinya. Hal yang dialami Afa tersebut hanya cara supaya Afa lebih dekat pada Tuhan YME.
"Selain itu, beliaunya bilang saya ini diganggu makhluk ghaib. Tubuh saya diikat tali yang buat orang menari itu, terus tangan saya diiket ke atas. Terus disembuhin gitu katanya. Tapi nyatanya, sampai sekarang saya masih begini," lanjut gadis yang pindah bersama orangtuanya ke Surabaya pada saat dia kelas 2 SMA.
Dengan suara yang semakin berat dan meminta izin menangis, Afa melanjutkan ceritanya. Beban batinnya tak berhenti pada usaha mengendalikan diri yang tak pernah berhasil, melainkan permasalahan pergaulan. Afa tak pernah bisa menjadi dirinya sendiri selama menderita trikotilomania.
Apa yang dia tunjukkan pada orang lain selalu berkebalikan dengan hatinya. Misalnya saat habis menangis di sekolah, dia berusaha ceria kembali saat bergaul dengan teman-temannya. Bersama teman-temannya, dia tak pernah bisa jujur tentang trikotilomania-nya tersebut. Bahkan satu kali pun dia tak pernah menunjukkan kebotakan rambutnya baik saat masih tinggal di Makassar maupun sekarang di Surabaya.
"Saya ke mana-mana selalu pakai kerudung, bahkan saat di tempat tinggal sekalipun. Berhubung saya sekarang ngekos yang pemiliknya pasangan suami istri, jadi saya bisa pakai alasan nggak bisa buka jilbab karena ada laki-laki. Padahal kalau nggak ada orang, saya sering masih tetap pakai jilbab. Soalnya saya bingung mau jawab apa kalau tiba-tiba ada orang bertanya kenapa saya sebenarnya," terang Afa yang mengaku sejauh ini hanya kedua orangtua dan seorang sahabat dekat yang mengetahui dirinya menderita trikotilomania.
Siksa batin Afa semakin terasa saat melihat kesedihan kedua orangtuanya. "Saya bersyukur punya orangtua seperti Bapak dan Ibu yang sayang dan sabar banget sama saya. Tapi dari matanya kelihatan kayak nggak sreg. Saya sampai sedih sendiri, salah saya itu apa sih, sampai Tuhan kasih saya begini," sambung Afa dengan terisak tangis.
Anak tertua dari tiga bersaudara ini berharap, ceritanya ini dibaca oleh banyak orang, terkhusus yang sama-sama menderita trikotilomania. Tujuannya supaya orang-orang dengan gangguan psikologis serupa bisa berbagi cerita, menemukan solusi bersama, bahkan bisa membentuk komunitas penderita trikotilomania.
"Saya terinspirasi Rebecca Brown, dia penderita trikotilomania pertama yang berani jujur kepada publik bahwa dia menderita trikotilomania. Saya pengen bisa menginspirasi dan membantu orang-orang seperti saya di luar sana, bagaimanapun caranya," pungkas Afa yang ingin sekali masuk kuliah jurusan psikologi namun dilarang orangtuanya. Orangtua Afa berpendapat bahwa jurusan psikologi itu tempatnya orang-orang yang bisa memberi saran, bukan yang mengalami kelainan seperti Afa.
Sekalipun ditentang orangtua masuk jurusan psikologi dan orangtuanya hanya bisa mendengar semua ceritanya, Afa kukuh ingin pada tahun 2016 dia bisa lebih terbuka, jujur, dan berdamai dengan diri sendiri dan orang lain.
Cerita ini disampaikan oleh Afa melalui telepon bebas pulsa Brilio.net di nomor 0-800-1-555-999. Semua orang punya cerita. Ya, siapapun termasuk kamu punya kisah tersembunyi baik cerita sukses, lucu, sedih, inspiratif, misteri, petualangan menyaksikan keindahan alam, ketidakberuntungan, atau perjuangan hidup yang selama ini hanya kamu simpan sendiri. Kamu tentu juga punya cerita menarik untuk dibagikan kepada kami. Telepon kami, bagikan ceritamu!
BACA JUGA :
Ahli bedah selamatkan nyawa remaja Maroko dengan 'bom waktu' di wajah