1. Home
  2. »
  3. News
5 Mei 2015 21:00

Tolak kebodohan, bapak 3 anak berumur 54 tahun jadi murid SMP di Papua

Wem biasanya berangkat dari rumahnya pada dini hari pukul 04.00 dan akan tiba di sekolah pukul 07.00 karena sekolah akan dimulai pukul 07.30 wakt Ines Faradina

Brilio.net - Mendapat pendidikan memang termasuk salah satu hak semua masyarakat Indonesia dari segala golongan. Baik itu untuk mereka yang kaya maupun miskin, lelaki maupun wanita, bahkan bagi mereka yang muda atau tua. Siapa saja boleh terus mengejar pendidikan selagi mereka mampu dan juga mau pastinya. Berbicara mengenai golongan usia untuk pendidikan, ada satu kisah yang menarik dan inspiratif datang dari tanah Papua.

Cerita datang dari Deny Mustikasari, seorang sarjana Universitas Negeri Malang yang menjadi pengajar SD dan SMP di salah satu daerah di Papua, tepatnya di Distrik Okbab, yang mana dia memiliki siswa yang dia sebut paling luar biasa. "Salah satu cerita yang paling saya ingat sampai sekarang adalah saya punya siswa SMP yang umurnya 54 tahun bernama Wem Akmer yang juga seorang kepala kampung dari Distrik Tufukyum," cerita Deny pada brilio.net,Senin (4/5).


SMP tersebut memang merupakan sekolah yang baru saja dibangun dan Wem menjadi salah satu siswa angkatan pertamanya. Faktanya memang Wem sudah berusia 54 tahun, meskipun pada ijazah SD nya tertulis bahwa lelaki ini merupakan kelahiran tahun 1990-an. Wem sendiri juga merupakan ayah dari tiga orang anak yang mana anak keduanya sudah berkeluarga, anak pertama duduk di bangku SMA, dan anak ketiganya masih sekolah SD.

Sebenarnya letak sekolah di distrik Okbab ini cukup jauh dari distrik tempat Wem tinggal, di Distrik Tufukyum yang letaknya memang di dataran paling tinggi di antara distrik-distrik lainnya. Setiap harinya bapak tiga orang anak ini harus menempuh tiga jam dengan berjalan kaki dari Tufukyum menuju Okbab. Wem biasanya berangkat dari rumahnya pada dini hari pukul 04.00 dan akan tiba di sekolah pukul 07.00 karena sekolah akan dimulai pukul 07.30 waktu setempat.

Jalan yang harus dilewati Wem tidak mudah, dia harus naik turun beberapa gunung dan melewati tiga kampung untuk ke sekolah. Dia juga harus melewati sungai penuh dengan batu-batu besar dan berarus deras, di mana hanya ada satu jembatan penyebrangan yang sudah rapuh dengan tali yang hampir putus. Maka dari itu butuh tiga jam untuknya sampai ke sekolah.

"Saat itu ada teman saya memberikan sepatu untuk Wem, dan saking sayangnya Wem dengan sepatu itu dia baru mengenakannya saat sampai di sekolah. Jadi dari rumah Wem tidak mengenakan sepatu dan saat melewati sungai dia memilih untuk turun melewati arus airnya yang deras dan berbatu itu karena mungkin dia juga khawatir kalau harus lewat jempatan rapuh itu," lanjut Deny.

Deny juga bercerita bahwa alasan Wem ingin melanjutkan sekolah adalah karena dia tidak ingin ditipu oleh orang lain karena sebelumnya dia pernah mengalaminya. Beberapa waktu silam, saat distrik Wem akan mengadakan upacara adat bakar batu yang memerlukan babi untuk dibakar, Wem diminta membeli babi dengan harga lebih mahal dari harga seharusnya. Jika biasanya 1 kg babi dihargai Rp 100.000, saat itu Wem harus membayar sangat mahal.

Dari situlah kemudian Wem berpikir apa karena dia tidak bisa berhitung sampai dia ditipu oleh orang lain. Akhirnya saat mengetahui ada pembangunan sekolah SMP di Distrik Okbab, Wem memutuskan untuk kembali belajar.

Deny menambahkan bahwa Wem adalah siswa yang sangat rajin di mana dia hanya akan tidak masuk saat memang merasa sakit. Menurut Wem, selama tubuhnya masih bisa berdiri tegak, maka dia harus terus masuk sekolah.

Selain bersekolah dan menjadi kepala kampung, sehari-harinya Wem bertani dan beternak babi. Terlepas dari semua itu sebenarnya Wem bercerita bahwa dia menderita katarak pada matanya dan masih mengumpulkan uang untuk operasi karena memang biaya operasi katarak di sana sangat mahal.

"Waktu itu pernah saya tanya kalau dia mendapat bantuan uang, apa yang akan dilakukan pertama kali. Dan Wem menjawab bahwa uangnya akan diberikan pada anaknya untuk sekolah, kepada istrinya, dan kalau masih ada sisa akan dibelikan garam dan mie instan. Karena mie instan adalah makanan yang mewah dan paling enak untuk masyarakat di sana," papar Deny.

Hal lain yang paling membuat sarjana pendidikan asal Malang ini tersentuh adalah saat dia dan rekan-rekan sesama guru akan kembali pulang ke Jawa, Wem mendatangi mereka dan meminta izin menginap bersama dengan guru-guru lelaki dan Wem mengucapkan, "Guru saya mau menginap, saya ingin terakhir bersama-sama dengan bapak dan ibu guru karena kalian adalah yang pertama di sini yang membuat kami semangat untuk sekolah. Kalau saya nanti sudah cukup uang saya ingin ke Jawa bertemu bapak ibu guru, bisa to?"

Saat itu Deny hanya memberi jawaban bahwa Wem bisa saja pergi ke Jawa asalkan katarak Wem dapat sembuh karena Wem membutuhkan penglihatan yang baik untuk ke Jawa. Dan seketika itu juga siswa yang paling semangat ini menitikan air matanya sembari menghantar kepergian bapak ibu gurunya.

Selalu semangat Pak Wem, raihlah pendidikan setinggi mungkin dan sampai jumpa di Jawa!

SHARE NOW
EXPLORE BRILIO!
MOST POPULAR
Today Tags