Brilio.net - Adalah Is Fatimah, dosen Ilmu Kimia Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta menemukan dua material penangkap tenaga surya, yaitu lempung dan kulit manggis. Dari penelitian berjudul 'Komposit TiO2 Montmorillonit-Pigment Kulit Manggis untuk Aplikasi Sel Surya' ini, Is Fatimah dinobatkan menjadi salah satu dari 5 wanita peraih penghargaan L'Oreal Indonesia Fellowship for Women in Science (FWIS) pada 2011 lalu. Hebat!
Lempung punya struktur berlapis sehingga bisa dimasukkan oksida logam titanium dioksida dan zinc oksida yang bisa menyerap tenaga surya. "Kedua logam tersebut bisa lebih stabil ketika dimasukkan di lempung. Interaksinya lebih efektif dibanding ketika logam tersebut dalam posisi sendiri," kata wanita kelahiran 29 Maret 1975 ini ketika berbincang dengan brilio.net, Selasa (31/3).
Menurutnya, penelitian ini masuk dalam bahasan solar cell generasi kedua, yaitu disebut dye-sensitized solar cells. Solar cell generasi pertama prinsipnya hanya menangkap cahaya, disimpan, lalu diubah ke energi listrik.
Pada generasi kedua, terdapat semi konduktor yang kinerjanya akan lebih tinggi kalau ada zat warna. Semua zat berwarna pada dasarnya bisa menyerap sinar matahari. Kulit manggis dinilai stabil, bisa dilihat dari ketahanan warna ungu pada kulitnya yang tidak cepat berubah sehingga tenaga surya yang tersimpan terjaga.
Teknologi tenaga surya membutuhkan kolaborasi dari beberapa bidang. Saat ini, penemuan ini masih belum diindustrikan karena masih kurang tenaga dari bidang teknik. Is Fatimah masih mencari material yang lebih stabil dari kulit manggis.
Pada 11 Maret 2015 Is Fatimah menjadi satu-satunya peneliti Indonesia yang menerima penghargaan sebagai peneliti terbaik dalam ajang 21st Science and Technology Award yang diselenggarakan oleh Indonesia Toray Science Foundation (ITSF). ITSF adalah lembaga pemerhati sains yang dibentuk oleh sebuah perusahaan kimia asal Jepang. Award ini hanya diberikan pada satu orang setiap tahunnya.
Dosen kelahiran Bantul, 29 Maret 1975 ini memperoleh penghargaan tersebut karena dedikasinya pada bidang lempung selama sepuluh tahun. "Jadi peneliti yang baik sebenarnya bukan yang ikut tren. Peneliti yang baik punya peta jalan, expertise di salah satu bidang saja dan keluarannya jelas." imbuh Kaprodi Ilmu Kimia Fakultas MIPA UII ini.