Brilio.net - Usianya memang sudah tidak muda lagi, namun semangatnya masih menggelora ketika menceritakan bagaimana kisah profesinya sebagai seorang perajin barongsai. Adalah Martinus Doel Wahab (84), kakek yang tinggal di Kampung Sutodirjan Yogyakarta ini adalah salah satu perajin barongsai yang masih eksis hingga sekarang.
Dari rumah kecil di gang sempit itulah Doel masih dengan cekatan membuat barongsai. Kesukaannya terhadap barongsai dimulai sejak berumur 12 tahun. Sepulang sekolah dia selalu melewati Hohab atau tempat latihan barongsai untuk warga keturunan Tionghoa, tepatnya di seputaran kampung pecinan Jogja yang tak jauh dari rumahnya. Dari situlah ketertarikan dia mulai belajar kesenian barongsai dan juga silat.
BACA JUGA :
Rahasia kecerdasan Habibie yang jarang diketahui banyak orang
Awal memilih barongsai sebagai jalan hidup, ketika tahun 1991 Doel pensiun dari pekerjaannya di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Yogyakarta. Kecintaan Doel dimulai dengan seringnya membuat topeng kepala naga barongsai. Sampai akhirnya, Doel mengajak para warga kampung Sutodirjan untuk membuat kelompok barongsai yang diberi nama Isaku Iki, yang artinya dalam Bahasa Indonesia "bisaku ya ini".
Nama tersebut diambil dari ungkapan canda bahwa "Ketika bermain barongsai bagus dinilai ya isaku iki, ketika bermain jelek ya isaku iki," papar Doel sambil bercanda kepada brilio.net, Jumat (28/8). Bahkan ketika perayaan Imlek datang, kelompok ini cukup laris mendapatkan tanggapan pentas di berbagai tempat.
Menjadi berkah bagi Doel tentunya ketika perayaan Imlek banyak pesanan yang datang kepadanya. Harga sebuah kepala barongsai hanya dipatok sebesar Rp 80.000 per buahnya. Sedangkan untuk seperangkat alat liong untuk lima orang pemain dijual dengan harga Rp 400.000. Doel sengaja menjualnya dengan murah untuk menarik konsumen.
BACA JUGA :
Komunitas GBN, gerakan mahasiswa mengabdi di perbatasan
"Kalau ndak pas Imlek seperti ini ya sepi, biasanya yang laku cuma yang kecil-kecil untuk anak-anak atau hiasan yang beli biasanya bule. Saya bejo (beruntung) lah tinggal di daerah yang banyak turis menginap," ujarnya sambil tertawa, tidak sedikit pun terlihat kesedihan di wajahnya walaupun dagangannya sepi.
Bagi pelestari kesenian barongsai tersebut mempertahankan kebudayaan Tionghoa yang semakin terdesak arus modernisasi di Jogja memang sulit. Namun, karena panggilan hati, maka dirinya berkomitmen akan tetap berkonsentrasi menekuni seni pembuatan kepala barongsai bahkan sampai ajal menjemput.
Barongsai, katanya, bukan sekadar budaya Thionghoa. Melainkan juga memiliki filosofi mendalam. Hal ini karena barongsai dimaknai sebagai binatang kesayangan dewa yang membawa keberuntungan. Sedangkan liong merupakan perwujudan dewa laut sebagai penolak bala.
dok.foto:Elyandra Widharta