1. Home
  2. »
  3. Olahraga
29 Juli 2017 06:06

Nyawa melayang sia-sia karena sepak bola, kapan bisa belajar sportif?

Harus berubah menjadi suporter yang smart. Kurnia Putri Utomo
Foto: Dok/merdeka.com

Brilio.net - Baru-baru ini publik dikejutkan meninggalnya Riko Andrean Maulana (22), pendukung Persib Bandung. Richo meninggal akibat aksi pemukulan oleh suporter Persib. Aksi itu disayangkan banyak pihak.

Hilangnya nyawa akibat bentrok antar suporter tak hanya terjadi kali ini saja. Di Sragen pada Desember 2015, terjadi bentrok antara Aremania, nama lain dari supporter Arema Malang dan suporter Persebaya yang dikenal dengan nama Bonek. Akibat bentrokan tersebut, salah seorang Aremania, Eko Prasetyo, harus kehilangan nyawa. Selain dua suporter ini masih banyak lagi rentetan peristiwa hilangnya nyawa akibat rusuh antar suporter dalam sejarah sepak bola Indonesia.

BACA JUGA :
Bisnis nostalgia menjamur, apa sebenarnya yang menarik dari masa lalu?


Kasus bentrokan antar suporter di Indonesia seringkali terjadi. Meski banyak upaya untuk meredam, tetap saja bentrokan sulit dihindari. Sedangkan pada sisi lain, performa sepak bola Indonesia di kancah dunia masih jauh dari harapan dan masih perlu ditingkatkan.

BACA JUGA :
Kasus edelweis dan larangan-larangan penting saat mendaki gunung

Lalu, apa sebenarnya yang terjadi dengan suporter sepak bola Indonesia?

Seorang psikolog Max Wessel menggolongkan massa penonton sepak bola dalam beberapa jenis. Antara lain massa insiders, massa yang senang akan kegiatan-kegiatan olahraga, massa
suporter, massa penjudi, massa sensasi, massa absensi, dan massa undangan.

Dari berbagai jenis penonton, massa supporterlah yang paling memungkinkan berbuat kerusuhan. Hal ini dikarenakan semangat berlebihan dan tekat yang akan mengorbankan apapun demi tim kesayangan.

Yosia (2010) pernah melakukan riset tentang psikologi suporter Indonesia. Deretan suporter yang pernah terlibat bentrokan diantaranya Bonekmania (supporter Persebaya surabaya), Jackmania( suppporter Persija jakarta), Viking (supporter Persib Bandung), Aremania (supporter Arema malang), Benteng Mania (Supporter Persikota Tangerang), Benteng Viola (supporter Persita Tangerang).

Perilaku suporter ini diakibatkan oleh chauvinisme berlebihan. Sikap ini selanjutnya berujung pada fanatisme, yang jika berlebihan akan mendorong orang melakukan apapaun demi hal yang ia cintai. Dalam kasus ini ialah klub sepak bola. Chauvinisme akan berujung pada perilaku vandalisme seperti perusakan, pengeroyokan, intimidasi, yang bahkan berujung pada kehilangan nyawa.


Foto: Riko Andrian, suporter korban meninggal/istimewa


Perilaku vandalisme sangat mungkin dilakukan oleh suporter karena mereka merasa aman melakukan kekerasan dalam kelompok besar. Saptaatmaja (2010) menjelaskan, bahwa ketika seseorang berada dalam kerumunan maka identitas personalnya berganti dengan komunalisme. Kondisi ini memungkinkan kekerasan kolektif gampang meledak dikarenakan hilangnya rasa takut suporter untuk melakukan pelanggaran secara bersama-sama.

Selain faktor seseorang menjadi bagian dari kelompok besar suporter, keadaan dalam diri suporter juga mempengaruhi sikap dan perilaku yang berujung kekerasan. Seperti yang kita pahami, mayoritas suporter sepak bola di Indonesia ialah kalangan menengah ke bawah. Kekerasan dan pengeroyokan merupakan salah satu sarana mereka untuk meluapkan isi hati.

Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Psikolog Klinis Universitas Indonesia, Lia Sutisna Latif (2010), yang menyatakan bahwa kesulitan melampiaskan amarah ialah salah satu alasan terjadinya kekerasan antar suporter sepak bola.

Lalu sampai kapan dunia sepak bola Indonesia dibayang-bayangi dengan kekerasan suporternya? Padahal nilai utama dalam sepak bola ialah sportivitas.

Menanggapi fenomena ini, maka ada baiknya semua suporter mulai memahami sikap sportmanship. Simanjuntak (2010) menjelaskan apa saja sifat sportmanship. Pertama, jadilah smart loser. Penting untuk menjadi pecundang yang cemerlang. Kedua, memahami perbedaan antara kemenangan dan sukses. Ketiga, menghargai orang lain. Keempat mampu bekerja sama dengan siapapun. Kelima memiliki integritas tinggi. Keenam memiliki kepercayaan diri dan terakhir bersedia memberi kembali untuk lingkungannya.

Selain itu dari pemerintah, penting untuk menyediakan aparat keamanan yang siap siaga menjaga proses pertandingan dari awal hingga akhir. Sanksi yang tegas sangat perlu untuk menimbulkan efek jera.

SHARE NOW
EXPLORE BRILIO!
RELATED
MOST POPULAR
Today Tags