Brilio.net - Salah satu yang menjadi iming-iming bagi penulis adalah mendapatkan royalti. Gaji untuk penulis itu tertera di MoU. Besarannya bisa 10% atau bahkan lebih, berbeda masing-masing penerbit. Setelah naskah dikirimkan, seorang penulis mesti menunggu kabar diterima atau tidaknya naskahnya. Jika sesuai dengan kriteria penerbit, tulisannya akan dikontrak selama sekian tahun. Dalam rentang waktu tersebut, penulis dilarang menerbitkan tulisan itu di tempat lain. Lalu biasanya setiap enam bulan akan mendapat royalti. Penulis tinggal menunggu uang masuk saja, penerbitlah yang harus melakukan penghitungan.
Edi Mulyono, pendiri salah satu penerbitan berbasis di Yogyakarta berbagi rahasia penghitungan royalti. Angka-angka ini adalah seperti yang diterapkan di penerbitannya. Sifatnya sebagai gambaran bagi para calon penulis. Karena bisa jadi angka-angka ini berbeda di penerbit lain. Penting dibaca bagi para penulis muda nih. Berikut ini pemaparannya, sepeti dirilis dari facebook pribadinya.
BACA JUGA :
Megahnya toko buku ini, dijamin bikin kamu betah baca dan ogah pulang
Ketika buku sudah didistribusikan ke toko-toko buku, maka penghitungan royaltinya sebagai berikut.
1. Misalkan sesuai MoU besaran royalti adalah 10%. Harga bukunya Rp 50.000. Dicetak sebanyak 2.500 eks. Maka hak penulis adalah Rp 5.000 x 2.500 eks = 12.500.000. Itu jika terjual semua.
2. Beberapa penerbit membayar royalti setiap bulan Januari dan Agustus selama maksimal 6 kali (3 tahun), apabila buku tersebut tidak mengalami cetak ulang. Jika laris, maka akan dicetak ulang sebanyak dua kali (1 tahun), dan seterusnya.
BACA JUGA :
Krisis moral, toko kejujuran sedang marak di China
3. Ketika buku diretur oleh toko atau distributor, maka oleh penerbit dijual di sembarang lapak non reguler (di luar toko buku): bisa online, event, roadshow, proyek, dan sebagainya. Di lapak-lapak ini, harga buku didiskon dengan cukup signifikan. Rata-rata sebutlah 50%.
4. Misalnya buku sudah terjual di lapak reguler (toko buku) sebanyak 1.500 eks (royalti sudah dibayarkan), berarti ada sisa stok 1.000 eks yang harus dijual di lapak non reguler dengan diskon 50%.
5. Penerbit akan mendapatkan uang riil sebesar Rp 25.000/buku. Biaya produksi misalnya sebesar Rp 12.500. Ada lagi biaya operasional melapak sebesar 20% dari harga buku (Rp 25.000), berarti Rp 5.000/eks. Maka net uang yang akan diterima penerbit adalah Rp 7.500/buku.
6. Maka tak masuk akal bagi penerbit jika harus memberikan royalti utuh ke penulis sebesar (Rp 5.000). Penerbit tak mungkin hidup dengan margin hanya sebesar Rp 2.500/eks.
7. Maka royalti tidak lagi 10% dari harga bruto buku (Rp 50.000), tapi dari harga jual buku di lapak-lapak murah tersebut, yakni Rp 2.500/buku. Ini akan sama-sama menguntungkan bagi kedua belah pihak.
8. Penulis berhak berpegang teguh pada MoU untuk mendapatkan royalti 10% dari harga bruto buku (Rp 50.000). Tapi, itu bukan relasi yang fair dan produktif bagi kedua belah pihak. Apa-apa yang tidak fair atau produktif pasti tak akan berkelanjutan.
9. Jika buku dipajang di toko buku selama 6 bulan atau maksimal satu tahun (jika tidak bestseller), maka mulai tahun kedua penerbit menomboki royalti buku itu meski sebenarnya secara riil sudah dijual di lapak-lapak non reguler. Penerbit memilih merugi demi menghadapi penulis yang kukuh pada MoU.
10. Ada kalanya, beberapa buku justru bagus penjualannya di lapak-lapak non reguler. Buku-buku tersebut sejatinya masih sangat bisa dicetak ulang, diperdagangkan, dan artinya penulis masih bisa mendapat royalti dari buku tersebut.