1. Home
  2. »
  3. Sosok
20 Agustus 2024 17:45

Sempat ditentang karena tak laku, kisah Ridho Al Rahman pionir warmindo sajikan menu khas Kalimantan

Ridho menceritakan bagaimana hobi bisa jadi sumber penghasilan yang menjanjikan~ Ferra Listianti

Semilir angin berhembus pelan ketika Brilio.net mengunjungi sebuah warmindo di cabang Seturan, tepatnya di seberang kampus UPN Yogyakarta. Saat masuk ke dalam warmindo dengan bangunan bernuansa merah hitam, terasa suasana yang berbeda dengan kebanyakan warmindo di sekitar kampus. Pada dindingnya, tampak hiasan juga berbagai foto yang perlihatkan indahnya seni dan budaya Kalimantan Selatan. Mulai dari rumah adat hingga berbagai satwa yang tinggal di sana.

Warung ini juga punya menu andalan berupa Soto Banjar dan nasi kuning yang khas. Saya lalu memesan soto Banjar, dan semangkuk sup buah dengan harga mulai dari Rp 13 ribu. Semua pesanan itu langsung dicatat oleh pelayan yang tampak seragam kenakan kaus merah dengan tulisan Burjo Burneo. Tak menunggu waktu lama, mereka dengan sigap langsung membuatkan pesanan saya dengan cepat.

BACA JUGA :
Usaha EO bangkrut rugi Rp 80 juta, pengusaha muda ini bangkit lewat bisnis fashion skala internasional


Setelah dihidangkan, porsinya lumayan untuk mengisi perut yang seharian kosong. Tak terlalu banyak juga tak terlalu sedikit. Rasa gurih dari kaldu dan bumbu yang menyatu begitu terasa saat menikmati soto Banjar. Ditambah, rasa segar saat mencicipi sup buah dengan beraneka ragam buah-buahan. Cocok di lidah saya karena tak terlalu manis.

Setelah semua menu yang saya pesan tandas, saya langsung diajak menuju kantor yang letaknya di lantai dua. Saya disambut oleh Ridho Al Rahman, pemilik warmindo yang tengah berkutat dengan layar laptopnya. Pria yang pernah menempuh studi S2 manajemen di UII (Universitas Islam Indonesia) ini menyebut sudah membuka lapak warmindo sejak 2013 silam. Setelah sebelumnya, ia membuka usaha jasa tour and travel.

BACA JUGA :
9 Potret terbaru Salma Achzaabi Paskibraka pembawa baki HUT RI ke-74, wujudkan ambisi jadi siswa AAU

© brilio.net

"Jadi dulu awalnya saya buka burjo tahun 2013, itu pengin menciptakan sebuah usaha yang tidak ada kaitannya dengan teknologi karena punya bisnis itu di jasa tour and travel," kata Ridho dengan tersenyum, seperti dilansir brilio.net pada Selasa (20/8).

Mengingat bisnis jasa tour and travel-nya mandek, Ridho pun mencurahkan waktunya untuk merintis warung burjo atau warmindo. Bisnis ini awalnya ia kelola bersama tiga temannya yang lain. Hingga kini akhirnya, ia sudah mempekerjakan 150 karyawan di beberapa cabang.

© brilio.net

"Dulu dimulai dari 3 orang. Saya juga ikut. Berkembang, nambah nambah sekarang ya karyawan hampir 150," tambahnya.

Awal membangun bisnis warung burjo atau warmindo disebutkan Ridho karena kegemarannya nongkrong. Waktu itu, ia bahkan sering menghabiskan waktunya bersama teman-teman untuk sekedar nongkrong di warung atau kafe. Kebiasan itulah yang membuatnya tertarik untuk membangun usaha kuliner warung burjo atau warmindo.

"Passion saya nongkrong, senang, ngopi, ngobrol sama teman-teman jamming, musikan, terus nobar," katanya.

Pionir warung burjo modern

Ridho mengaku jika ia menjadi pionir yang membuat warmindo dengan konsep modern. Konsep tersebut ditandai dengan adanya hiburan dan fasilitas yang biasa diberikan ala kafe, seperti live musik dan wifi gratis. Bahkan, kadang Warmindo Burneo juga menyelenggarakan acara nonton bareng pertandingan sepak bola.

"Makanya saya buat membuat sebuah konsep burjo yang berbeda dengan burjo-burjo yang lain, kalau sama mungkin kita tidak pernah akan dilirik dan tidak pernah jadi pemimpin pasar sampai saat ini," ujar Ridho.

Gerombolan anak muda datang silih berganti memasuki Warung Burjo Burneo. Saat itu, suasananya cukup ramai. Ada pengunjung yang sibuk menyantap makanan, ada pula yang asyik mengobrol. Kebisingan obrolan pun terdengar dengan iringan alunan musik lagu-lagu terkini, baik dari musisi dalam maupun luar negeri.

© brilio.net

Malam itu tak ada musisi yang tampil. Namun, iringan lagu yang keluar dari pengeras suara rasanya sudah cukup menambah meriah atmosfer warung yang ramai pembeli itu.

Konsep ala kafe yang dihadirkan oleh warmindo Burneo pun juga diperlihatkan dari dekorasi warung. Berbeda dari warmindo lain, tampak ada tanaman gantung yang dan tulisan 'Burjo Burneo' dengan dihiasi lampu warna-warni di salah satu dindingnya. Tentunya juga dengan ukiran-ukiran khas Kalimantan yang sejalan dengan menu yang disajikan.

"Saya nih bukan bukan orang seni tapi lebih apa yang menciptakan sebuah pembeda sebuah image pasti ya dari depan aja dengan ukiran-ukiran," ujarnya.

Sempat buka tutup warung.

Tapi demikian, Ridho menjelaskan jika warung yang sudah ia rintis selama 11 tahun ini tak langsung ramai begitu saja. Ada momen yang membuatnya hampir menyerah ketika usahanya sepi pengunjung. Bahkan, ia sempat buka tutup lantaran tak bisa bersaing dengan warung burjo yang sudah lebih dulu buka.

Berjalannya waktu, ia mengubah konsep dan nama untuk warung burjo miliknya. Ia pun mengubah nama ‘Burneo’, setelah sebelumnya pada awal-awal buka ia tak terlalu memikirkan masalah nama untuk warung burjonya. Nama tersebut dipilihnya bukan sembarangan, tetapi menunjukkan identitas asalnya.

© brilio.net

"Sebelum buka di sini kan tiga kali buka tutup terus buka di Jakal. Tutup lagi, buka lagi di lokasi yang sama. Ketiga tutup lagi. Jadi pas buka disini kalau itu kan berganti nama menjadi Burjo Burneo. Baru darisitulah mungkin nama juga terpengaruh," ujar Ridho, mantan mahasiswa perantau di DIY.

Tak seperti pemilik warmindo kebanyakan yang merupakan perantau asal Kuningan, Ridho justru jadi salah satu pengusaha asal Balikpapan. Hal inilah yang membuat Ridho mengeksplorasi beragam menu-menu makanan di warmindo atau warung burjo miliknya. Tentu, mie instan tetap dipertahankan karena peminatnya masih banyak.

Kemudian, ia tambahkan beberapa menu khas Kalimantan yang jarang di temui di tempat lain. Selain untuk membedakan, menu ini jadi pelipur kerinduannya akan masakan kampung halaman.

"Nah kalau Borneo itu sebenarnya nama lain dari pulau Kalimantan. Memang saya berasal dari Kalimantan dan itu juga menjadi strategi dari positioning brand ya," ungkapnya.

© brilio.net

Dapat pertentangan.

Kini, bisnis warung burjo yang dikelolahnya berjalan cukup baik, meski ada beberapa cabang yang terpaksa tutup sejak pandemi Covid-19. Saat ini, sudah ada 16 cabang yang dikelola dengan sistem frenchise. Ia pun menargetkan jumlah Warung Burjo Burneo akan bertambah dengan mengekspansi ke daerah lain, salah satunya Malang, Jawa Timur. Tempat ini dipilih karena banyak mahasiswa perantauan.

"Cabang kita 16. Ada beberapa kita membuat sponsor kerjasama dalam bentuk pemintaan untuk mempercepat sebuah perkembangan atau scale up," terangnya.

Meski begitu, diakui Ridho tak mudah membangun bisnis warung burjo ditengah persaingannya yang cukup ketat. Mengubah konsep ala kafe dengan memperluas bangunan pun tak serta merta diterima oleh masyarakat. Banyak pertentangan yang ia alami, tak lain karena dinilai terlalu mewah.

"Awalnya ya memang banyak mendapatkan pertentangan seperti ini terlalu mewah," papar Ridho menjelaskan.

Ridho menambahkan, jika pada awalnya warung burjo miliknya tak buka 24 jam. Saat itu, ia hanya buka sampai jam 9 malam. Tetapi, peminat burjo khususnya para mahasiswa justru semakin berdatangan di malam hari. Pria yang sempat mengenyam pendidikan S1 di Universitas Pembangunan Nasional ‘Veteran’ Yogyakarta ini akhirnya memutuskan untuk membuka hingga 24 jam dengan sistem karyawan shifting.

"Dulu masih meraba-raba, masih pengin tahu sistemnya seperti apa. Jadi dulu bukanya jam 9 sampai 12 malam," ungkapnya lebih lanjut.

Saya juga sempat berbincang dengan salah satu pelanggan yang cukup sering bertandang ke Warmindo Burneo. Rai (27), mengatakan sudah lebih dari 5 kali langganan ke warmindo milik Ridho. Tempat ini jadi andalannya untuk makan malam dan mengerjakan tugas.

© brilio.net

"Banyak, lebih dari 5 kali kayaknya kak. Sebenarnya kadang ke burjo lain juga, tapi burjo Burneo termasuk paling sering karena lokasinya kan di jalan raya, apalagi yang di Seturan sama Jalan Kaliurang. Jadi, kalau pulang malam nggak takut begal," tandasnya.

Sebagai perantau asal Kalimantan, Rai mengakui jika sulit menemukan tempat makan yang sesuai dengan lidahnya. Warmindo Burneo menjadi solusi jika ia merindukan kampung halamannya dengan menikmati semangkuk soto Banjar dengan harga pas di kantong. Selain itu, menu andalan yang jadi favorit dan sering dipesannya adalah sup buah.

"Minuman favorit sup buah karena segar dan nggak nemu di tempat lain," paparnya.

Tak pekerjakan orang dari Kuningan

Berbeda dengan tempat lain, Warmindo Burneo tidak secara khusus mempekerjakan orang-orang yang berasal dari Kuningan, Jawa Barat. Seluruh calon pekerja harus mengikuti proses perekrutan resmi. Selain itu, para pekerja juga harus mengikuti pelatihan rutin untuk menjaga kualitas masakan dan pelayanan.

"Setiap karyawan ada training. Ada sesi motivasi gitu sama mas Ridho. Setiap minggu dua kali. Pertama bahas evaluasi seminggu sebelum, kemudian membahas program satu minggu yang akan jalan, kemudian disitu ada namanya motivasi," terang salah satu karyawan yang sudah bekerja selama 6 bulan di Burjo Burneo.

Selain itu, Ridho juga membuat seragam khusus untuk para karyawannya. Seragam tersebut diungkapkan sebagai identitas warmindo miliknya yang berbeda dengan tempat lain. Juga agar para pelanggan lebih mengenali karyawan di warungnya.

"Ya itu seragam, jadi kan menciptakan sebuah brand identity yang menarik dibandingkan warung-warung burjo lain," pungkasnya.

SHARE NOW
EXPLORE BRILIO!
RELATED
MOST POPULAR
Today Tags