1. Home
  2. »
  3. Politik
22 Juli 2017 09:50

Bagaimana anak muda kini memandang politik, apolitis atau antusias?

"Kini anak muda dapat berteriak revolusi sambil tiduran membawa gawainya masing-masing." Kurnia Putri Utomo

Brilio.net - Dunia perpolitikan di Indonesia baru-baru ini digemparkan oleh aksi Tsamara Amany, mahasiswi Universitas Paramadina, yang mengkritik Fakhri Hamzah, wakil ketua DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Aksi Tsamara Amany menjadi viral di media sosial, menjadi perbincangan sehari-hari karena dianggap baru dan berani dengan kenyataan bahwa usianya masih sangat muda yakni 21 tahun.

Dengan diawali aksi Tsamara Amany, maka membuka pertanyaan, bagaimana sih sebenarnya pandangan anak muda di Indonesia mengenai perpolitikan di Indonesia? Apakah anak muda di Indonesia secara keseluruhan diwakili oleh sosok Tsamara yang antusias mengikuti bahkan terjun ke politik? Ataukah kenyataannya justru sebaliknya yaitu sebagian besar dari mereka masih apatis terhadap politik.

Brilio.net menemui beberapa anak muda untuk bertanya pendapat mereka tentang politik. Apakah mereka apatis atau antusias. Tentu ini bukan survei dan belum bisa menjadi gambaran sesungguhnya apa sebenarnya yang ada dalam benak anak muda di Indonesia. Tetapi setidaknya sedikit menjadi gambaran bagaimana mereka memandang politik.


Devananta Rifqi Rafiq (21), Mahasiswa Jurusuan Politik Pemerintahan UGM ( Universitas Gadjah Mada)

BACA JUGA :
Makin sering hewan memangsa manusia, apa yang sebenarnya terjadi?


"Politisi kita saat ini cenderung memikirkan kepentingan pribadi, kurang merepresentasikan kepentingan masyarakat. Kita sebagai anak muda jika ingin langsung mengubah hal yang makro (besar) mungkin agak susah dan dampaknya tidak terlalu signifikan. Maka mulai saja dari hal kecil seperti diskusi dan bergerak di komunitas kita masing-masing.

Ita Roikhatul Jannah, Mahasiswi Hukum UI (Universitas Indonesia)

"Awalnya saya memandang beberapa politisi kita bersih dan pro-rakyat, namun lama-kelamaan sepak terjangnya mengecewakan. Di media sosial beberapa pemerhati isu terbagi kelompok pro atau kontra pada isu tersebut. Maka kita sebagai anak muda sebaiknya tidak menjadi kompor seperti melontarkan komentar pedas pada sikap pro atau kontra itu tanpa riset mendalam.

Aji Pranowo Yekti (17) siswa SMAN Satui Kalimantan Selatan.

BACA JUGA :
Fenomena ustaz seleb, dari pasang tarif sampai soal ceramah pesta seks

"Politisi kita memperumit pemerintahan. Banyak juga yang tidak menepati janjinya. Sebagai anak muda, yang bisa saya sumbangkan untuk dunia politik sebagai contoh, memberikan kritikan dan masukan kepada akun media sosial pemerintah. Yah, media sosial kan memang sedang gencar-gencarnya.

Luthfi Irawan (21), Mahasiswa Aeronotika dan Astronotika ITB (Institut Teknologi Bandung).

"Di pemerintahan mungkin banyak politisi-politisi yang baik, namun banyak juga yang buruk dengan tidak menggunakan wewenangnya secara tepat. Saya sebagai anak yang mendalami bidang teknologi cukup sedih karena beberapa karya teman-teman di bidang teknologi kurang mendapat apresiasi dari politisi kita. Sebagai contoh mobil listrik karya Ricky Elson yang tidak ditindaklanjuti pemerintah. Saya memang tidak aktif ikut demo, tapi saya bergerak di bidang pemberdayaan sehingga ketika pemerintah melihat hasil pemberdayaan saya, maka saat itu suara saya akan di dengar.

Faiz Abdullah Wafi, Mahasiswa Filsafat UGM (Universitas Gadjah Mada)

"Politisi kita banyak yang baik dan mungkin banyak yang buruk. Apabila politisi yang buruk sering vokal di media, maka hal ini kurang baik karena anak muda akan beranggapan bahwa politisi selalu buruk. Anggapan itu tentu tidak menguntungkan untuk politisi yang ternyata baik sehingga ia ikut terlabeli buruk. Mengenai kinerja politisi saya pribadi jujur cukup kecewa, karena menurut Jurnal Akademik yang saya baca kini DPR kurang memenuhi target dalam membahas undang-undang. Nah kita sebagai anak muda baiknya ikut bereaksi terhadap isu politik baik melalui kehadirian fisik atau melalui tulisan dan opini. Lalu setidaknya kita, khususnya apalagi mahasiswa, secara mandiri memberikan pendidikan politik kepada orang sekitar atau keluarga.

Ternyata pendapat kawan-kawan lintas bidang ini sangat beragam.

Brilio.net menemui Joko Susilo (24), mewakili YouSure UGM (Youth Study Centre Universitas Gadjah Mada) tentang pendapat anak muda yang beragam tentang situasi politik di Indonesia. Dia menyatakan bahwa anak muda sekarang terbagi dalam dua golongan dalam memandang politik. Golongan pertama yakni golongan yang antusias dengan perpolitikan. Golongan ini tercermin dari anak muda yang aktif dalam partai politik atau gerakan mahasiswa, aktif melakukan aksi, atau aktif menyuarakan opininya. Golongan yang kedua yakni mereka yang memilih apolitis.

"Mereka yang menjadi apolitis ini dikarenakan dua faktor, pertama karena benar-benar tidak peduli dan kedua justru karena terlalu tahu banyak mengenai seluk beluk perpolitikan," jelas Joko.

Ketidakpedulian anak muda tentang politik dapat dipahami dari tren yang terjadi saat ini. Tren anak muda saat ini adalah pada aktualisasi diri mengenai bakat dan minat. Lebih ke self interest daripada public interest," jelas Joko. Terjadinya tren tersebut dapat dipahami karena sistem yang ada di lingkungan anak muda.

Yani (23), Project Officer YouSure, menambahkan bahwa jam kerja, target uang, dan gaya hidup membuat anak muda lebih mementingkan urusan pribadi daripada memilih peduli dengan politik.

Apakah semua anak muda selalu begitu? Ternyata berbeda generasi beda pula jenis anak mudanya.

Apa yang terjadi saat ini sungguh berbeda dibandingkan masa sebelum reformasi. Dari segi kehadiran, anak muda sebelum reformasi lebih aktif melakukan aksi demonstrasi dan hadir dalam diskusi publik menanggapi kebijakan. Sedangkan setelah reformasi, kehadiran anak muda cenderung semu. Hal ini dipengaruhi dengan perkembangan media sosial yang memfasilitasi anak muda untuk melontarkan komentar kebijakan di dunia maya, tidak hadir secara tatap muka dalam diskusi kebijakan.

"Kini anak muda dapat berteriak revolusi sambil tiduran membawa gawainya masing-masing, jelas Joko.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa media sosial berperan penting dalam sarana berpolitik. Jurnal terbitan Yousure dengan judul Youth and Digital Activism in Urbanized Yogyakarta, Indonesia, menjelaskan bahwa penggunaan media sosial dalam partisipasi politik anak muda dikarenakan ketidakpercayaan terhadap partai politik yang seharusnya menjadi konektor aspirasi rakyat dan pemerintah. Selain itu, media sosial semakin digandrungi karena anak muda era sekarang cenderung kurang tertarik bergabung dalam struktur hierarki pemerintahan. Anak muda lebih suka aktif dalam struktur horizontal seperti aktif di dunia maya dan media sosial.

Keaktifan anak muda di dunia maya dan kepedulian mereka terhadap isu politik memiliki segi positif dan negatif. Segi positifnya ialah anak muda lebih terbuka pemikirannya. Selain itu beberapa aksi melalui dunia maya menuai keberhasilan seperti suksesnya petisi online dalam menggalang suara atau kepedulian pada beberapa isu.

Segi negatif partisipasi politik anak muda melalui dunia maya yakni kecenderungan sikap reaksioner. Ketika muncul sebuah isu politik di media, anak muda sekarang cenderung melontarkan berbagai komentar di Twitter, Line dan media sosial lainnya dengan sesuka hati tanpa melakukan riset atau kajian dulu. Selain itu komentar anak muda pun kurang detail dengan fakta dibatasi oleh jumlah karakter kata di media sosial. Sikap reaksioner tidak hanya terwujud pada dalam dunia maya. Pada dunia nyata beberapa anak muda secara reaksioner melakukan aksi dan meneriakkan opini terhadap isu publik.

"Reaksi anak muda dengan berteriak di aksi demo sebenarnya baik karena sudah peduli, namun sayangnya aksi tersebut kadang tidak ada keberlanjutannya. Reaksioner yang seperti ini cukup disayangkan," tambah Joko.

Namun demikian, ada pandangan bahwa walau berbeda, sebaiknya anak muda punya satu suara optimisme untuk kesejahteraan bangsa dan negara. Hal ini penting karena anak muda era sekarang ialah potensi sumber daya manusia yang akan berlaga di kursi panas politik ke depannya. Hal ini dapat dipahami melalui fenomena bonus demografi.

"Indonesia diprediksi akan mengalami bonus demografi di tahun 2020-2035 dimana saat itu kursi penting di perpolitikan atau bidang lainnya akan dipegang oleh mayoritas anak muda" jelas Yani.

Jumlah penduduk usia muda menurut data BPS tahun 2014 yakni sebanyak 61,8 juta, yakni sekitar 24,5 persen dari total penduduk di Indonesia. Bonus demografi ini bisa menjadi modal menguatkan optimisme anak muda untuk dapat berlaga di kontes politik dengan performa yang lebih baik dari generasi sebelumnya.

Yani menyatakan untuk menyambut bonus demografi ini maka perlu mempersiapkan anak muda yang berkualitas sehingga siap memegang tempat-tempat penting. Beberapa cara untuk meningkatkan kualitas anak muda antara lain harus banyak baca sehingga terbekali dengan materi atau paham politik yang tepat dan berdasar. Anak muda jaman sekarang harus lebih cerdas dalam mengolah isu, baiknya sebuah isu dipahami melalui riset dan kajian yang berdasar.

"Marilah kita anak muda lebih mendahulukan esensi daripada eksistensi" jelas Yani. Bagaimana pendapat kamu?

SHARE NOW
EXPLORE BRILIO!
RELATED
MOST POPULAR
Today Tags