Brilio.net - Setelah kesepakatan Taliban dan Amerika Serikat tercapai pada akhir Februari 2020, tentara AS ditarik secara perlahan pada Maret 2020 dan baru terealisasi pada September 2020. Setelah kesepakatan tersebut, Taliban bernegosiasi dengan pemerintah pusat Afghanistan mulai 12 September 2020 dan terakhir pada April 2021. Negosiasi tersebut cukup memuaskan bagi Taliban.
Pada Agustus 2021, Taliban berhasil merebut kota-kota penting di Afghanistan, termasuk Kabul yang menjadi jantung perdagangan di negara gurun pasir tersebut. Jatuhnya Kabul ke tangan Taliban disambut negatif oleh banyak orang, terutama oleh penduduk Afghanistan yang pernah hidup di bawah kekuasaan Taliban.
BACA JUGA :
7 Buku soal financial planning, petunjuk bagi pemula kelola keuangan
Salah satu kelompok yang menghadapi kenyataan pahit saat Taliban berkuasa adalah perempuan. Perempuan mesti hidup secara anonim dengan burqa yang melapisi seluruh tubuhnya tanpa terkecuali wajah mereka. Perempuan hanya bisa melihat dari celah kecil burqa yang dikenakannya.
Salah satu cara memahami konflik di Afghanistan saat ini dengan referensi yang menceritakan bagaimana kehidupan di negara tersebut. Walaupun kelompok Taliban menyatakan diri sebagai kelompok Taliban yang berbeda, tetapi banyak orang skeptis dengan pernyataan tersebut. Apalagi bagi mereka yang pernah hidup berdampingan dengan ketakutan selama bertahun-tahun di negara berselimut perang itu.
Dirangkum brilio.net dari berbagai sumber Kamis (19/8), berikut 5 buku kisahkan konflik Afghanistan, kecamuk perang dan ketakutan yang diakibatkan oleh Taliban.
BACA JUGA :
Tak hanya jago melawak, 9 komika Indonesia ini punya karya buku
1. Selimut Debu, Agustinus Wibowo.
foto: goodreads.com
Selimut Debu merupakan tulisan perjalanan yang ditulis oleh Agustinus Wibowo saat mengelilingi Afghanistan. Dalam catatan ini, Agustinus menampilkan sejarah Afghanistan yang dideru oleh perang berkepanjangan. Mulai dari invasi Uni Soviet, perang Mujahidin hingga pendudukan Taliban pada awal abad milenium. Ketakutan dan teror menjadi pemandangan biasa dan bahkan kematian hanya menjadi jeda atas sebuah peristiwa sehari-hari. Orang-orang seperti mati rasa dan tak ada lagi arti tangis air mata karena kehilangan. Hampir setiap jengkal tanah Afghanistan adalah tempat bom bersemayam.
Walaupun penuh dengan teror dan ketakutan, orang Afghanistan adalah bangsa yang ramah dengan pendatang. Hari pertama akan dianggap tamu, di hari kedua dan selanjutnya akan dianggap saudara, begitu prinsip hidup yang dipegang teguh oleh sebagian besar bangsa Afgan dan dirasakan oleh Agustinus saat menjadi musafir di negeri ini. Selain itu, Agustinus juga merekam beragam suku yang ada di Afghanistan.
Bangsa Afgan terdiri setidaknya dari 3 etnik besar: Tajik, Hazara, dan Pashtun. Walaupun sama-sama bangsa Afgan, saling curiga begitu kental dan di antara saling melempar stigma walau hidupnya sama-sama tidak beruntung karena imbas perang. Pashtun menjadi suku terbesar dan beraliran sunni yang ketat. Oleh karena itu, Taliban merupakan bagian yang sama dengan suku ini dan menerapkan hukum Islam saat pertama kali pendudukan. Hal ini kemudian membuat perempuan di sebagian besar wilayah Afghanistan memakai burqa yang hanya menyisakan jaring-jaring di mata perempuan. Perempuan hadir sebagai anonim dan tidak boleh ditemui selain mahram atau suaminya.
Buku ini menjadi buku pengantar yang baik untuk memahami bagaimana konflik di Afghanistan bermula.
2. Saudagar Buku dari Kabul, Asne Seierstad.
foto: goodreads.com
Buku ini merupakan investigasi panjang yang dilakukan oleh Asne Seierstad pada keluarga Sultan saudagar buku yang menetap di Kabul. Saat Afghanistan dikuasai Soviet, Sultan masih berjualan buku. Beragam buku ia jual, terutama yang berasal dari Soviet tentang komunisme dan sebagainya. Saat negara tersebut dikuasai Mujahidin, Sultan masih bisa menjual buku, tetapi hanya buku-buku selain buku komunisme, tentu saja. Saat negara tersebut dikuasai Taliban, Sultan semakin hati-hati. Sebab, tidak hanya buku dari Soviet yang dilarang, melainkan juga buku-buku yang bergambar binatang, manusia dan makhluk yang bernyawa akan menjadi target pemusnahan buku. Selain itu, buku yang memuat gambar perempuan pun mesti dibakar. Tidak hanya itu, semua perempuan Afghanistan mesti menggunakan burkak, kain penutup wajah dan kepala yang hanya dilengkapi dengan jaring-jaring kecil dengan penglihatan minim.
Walaupun pikirannya tercerahkan dengan buku-buku yang dijual di tokonya, Sultan Khan tak lantas menerapkannya pada kehidupan keluarganya. Ia masih seperti kebanyakan orang Afghanistan yang patriarkal dan segala keputusannya adalah titah yang tak boleh dibantah. Sultan adalah penentu keputusan apa pun dalam keluarga tersebut, bahkan keputusan atas ibunya sendiri. Banyak kisah pilu yang ditampilkan dalam buku ini, salah satunya adalah kisah seorang kerabat Sultan yang dibunuh oleh keluarga sendiri karena menemui seseorang yang dicintainya. Seseorang yang hanya ditemuinya di sebuah pasar yang ramai dan mereka tidak melakukan apa-apa. Namun, dalam kultur Afghanistan, hal tersebut merupakan aib perempuan sekaligus menjadi aib keluarga. Buku ini kerap menguras emosi dengan kisah keluarga yang memprihatinkan. Walaupun begitu, buku ini memberikan gambaran dunia "dapur" perempuan yang kerap tidak tertulis oleh penulis laki-laki. Sebab, dalam tradisi di Afghanistan, dunia perempuan adalah dunia yang tidak boleh ditembus oleh laki-laki asing dari luar keluarga. Oleh karenanya, buku ini membuka ruang agar dunia dapur perempuan Afghanistan terlihat dunia luar.
3. Wajah Terlarang, Latifa.
foto: Instagram/@kataloghumaniorapark
Wajah Terlarang atau yang berjudul asli My Forbidden Face merupakan sebuah memoar perempuan penyintas perang di Afghanistan. Latifa menceritakan pengalamannya saat Taliban menduduki Afghanistan dan menyebar ketakutan. Latifa merekam semua peristiwa yang dialaminya, sebelum dan sesudah Taliban berkuasa.
Sebelum Taliban berkuasa, kepungan roket yang berterbangan di atas rumah pemukiman merupakan hal biasa. Selain itu, datang ke pertunjukkan musik dan menari-nari bukan hal dilarang bagi siapa saja, termasuk perempuan. Latifa juga masih bisa melanjutkan studinya dan temannya, Soraya masih bekerja sebagai maskapai dan Chalika sebagai Jurnalis. Namun, saat 1996 Taliban mulai berkuasa, semua daerah yang diduduki oleh Taliban diatur berdasarkan hukum Islam. Hal ini kemudian membuat semua hal yang berkaitan dengan perempuan diatur dengan begitu ketat. Perempuan dilarang bekerja di sektor publik dan perempuan wajib mengenakan burqa ketika keluar rumah. Semua hal yang sebelumnya biasa dilakukan oleh para perempuan seperti bekerja di luar rumah, menjadi hal mengerikan ketika Taliban berkuasa. Bahkan, jika hal tersebut dilanggar, nyawa para perempuan tersebut yang jadi taruhannya. Oleh karena itu, ketika Taliban kembali berkuasa beberapa hari lalu, para perempuan kembali mengalami ketakutan yang sama saat Taliban pertama kali menduduki Afghanistan.
4. The Kite Runner, Khaled Hosseini.
foto: goodreads.com
The Kite Runner merupakan novel-memoar yang ditulis oleh Khaled Hosseini, penulis berkebangsaan Afghanistan dan kemudian pindah kewarganegaraan Amerika Serikat. Novel yang pernah diangkat ke layar lebar pada tahun 2007 ini, mengisahkan Amir, anak laki-laki dari distrik Wazir Akbar Khan di Kabul, dan sahabatnya Hassan, putra seorang pelayan hazara di rumahnya. Novel ini mengisahkan segala konflik dan kecamuk perang dari kacamata anak-anak yang sedang bermain dan bertikai.
Novel ini juga menggambarkan bagaimana pemerintahan monarki di Afghanistan runtuh dan invasi Uni Soviet masuk, penduduk yang mulai pindah ke negara tetangga, sampai munculnya Afghanistan. Selain itu, hubungan ayah-anak dalam novel ini begitu jelas menggambarkan segala soal perang di Afghanistan.
5. Afghanistan: A Military History from Alexander the Great to the War Against the Taliban, Stephen Tanner
foto: goodreads.com
Afghanistan: A Military History from Alexander the Great to the War Against the Taliban barangkali menjadi buku nonfiksi yang cukup lengkap menggambarkan sejarah panjang Afghanistan. Dalam buku ini, Afghanistan digambarkan sebagai daerah terlarang selama lebih 2.500 tahun. Afghanistan berfungsi sebagai persimpangan penting dan menjadi bentrokan bagi banyak peradaban. Mulai Yunani, Arab, Mongol, Tartar, dan, dalam waktu yang lebih baru, Inggris, Rusia, hingga Amerika.
Selain itu, buku ini juga menggambarkan bagaimana munculnya Taliban pada tahun 1996 dan pada awal tahun 2000 menjadi kelompok teror di Afghanistan yang dominan. Saat Afghanistan dikuasai Taliban, semua aturan hukum Islam konservatif berlaku hampir di seluruh daerah yang diduduki Taliban. Hal yang paling mencolok adalah para perempuan tidak boleh bekerja di luar rumah dan ketika perlu ke luar rumah mesti menggunakan burqa yang menutupi seluruh wajah dan badan para perempuan.