Brilio.net - Buku cetak memiliki daya tarik tersendiri yang membuatnya sulit tergantikan oleh e-book, meskipun era digital menawarkan kemudahan akses terhadap buku elektronik. Bagi banyak pecinta buku, sensasi memegang fisik buku, aroma khas halaman kertas, dan pengalaman membalik lembar demi lembar menjadi bagian penting dari kenikmatan membaca.
Menurut survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021, meskipun tingkat literasi digital semakin meningkat, 56% masyarakat Indonesia masih lebih memilih membaca buku cetak dibandingkan e-book. Data ini menunjukkan bahwa pengalaman sensoris dan emosional dari buku kertas tetap menjadi alasan utama banyak orang lebih menyukainya.
BACA JUGA :
Pria ini meramalkan masa depan manusia akan bergantung pada buku dan perpustakaan, begini alasannya
foto: Instagram/@jogjabookfair
Selain itu, beberapa penggila buku juga mengakui bahwa membaca buku kertas membuat mereka lebih fokus dan terhubung dengan isi cerita. Dalam studi yang dipublikasikan oleh University of Stavanger, ditemukan bahwa pembaca buku cetak cenderung memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap narasi dibandingkan dengan pembaca e-book.
BACA JUGA :
Dilemanya calon guru, sudah sarjana pendidikan tapi ‘dipaksa’ kuliah lagi demi syarat administrasi
Pengalaman interaktif dengan buku cetak ini juga diakui oleh beberapa penggila buku yang brilio.net temui berikut ini, mereka menyebutkan beberapa alasan kenapa buku kertas lebih menarik ketimbang e-book. Nah, untuk tahu lebih lengkap, yuk simak 6 alasan kenapa buku cetak tak bisa digantikan oleh e-book.
1. Buku cetak nggak bikin mata capek saat membaca
Kukuh Basuki, mengaku kalau buku cetak nyaman dibaca ketimbang e-book. Pria yang bekerja sebagai penulis ini mengaku gemar membaca buku sejak kelas 6 SD. Menurutnya, membaca buku cetak tidak membuat capek saat membacanya. Berbeda dengan e-book yang memancarkan sinar layar mata cenderung kelelahan.
Selain itu, membaca buku cetak juga membuatnya mudah dalam memberi tanda di halaman berapa dirinya berhasil membaca.
"Tidak capek mata dalam membaca, mudah ditandai sampai halaman berapa, merasa ada pencapaian ketika sudah beberapa lembar membacanya," kata Kukuh pada brilio.net, Kamis (10/10).
Intensitas manusia menggunakan gawai digital membuat Suci memilih untuk membaca buku dalam format cetak ketimbang e-book. Senada dengan Kukuh, Suci yang punya kegemaran meminjam buku di Perpustakaan Nasional ini berpendapat membaca buku cetak akan mengurangi intensitas matanya dalam memandang layar digital.
"Seharian udah pusing lihat layar, hp, laptop pas kerja, pas baca buku aku pilih yang cetak, biar nggak tambah capek nih mata," katanya saat dihubungi brilio.net, Kamis (10/10).
2. Tak perlu alat elektronik untuk menikmati isi buku
Alasan kedua yang disampaikan Kukuh, ketimbang e-book, buku cetak lebih praktis untuk dinikmati. Alasannya simpel, kata Kukuh, buku cetak tak perlu memerlukan alat bantuan untuk bisa membuka dan menikmati isinya. Berbeda dengan e-book yang biasanya berbentuk file PDF, yang harus dibuka menggunakan gawai macam handphone, laptop, atau perangkat pembaca e-book lainnya.
"Karena nggak perlu pakai alat elektronik untuk membukanya," kata Kukuh.
3. Jadi properti fisik yang bisa dipajang
Sementara itu, Sunardi, Jurnalis sekaligus kolektor buku merasa kalau buku cetak lebih menarik dimiliki. Alasannya, selain sebagai barang bacaan, buku cetak bisa dijadikan properti dan hiasan yang dipajang di rumah. Bahkan, ketika koleksi buku cetak yang dimiliki semakin banyak, si pemilik buku bisa membuat perpustakaan pribadinya sendiri di rumah.
"Koleksi buku kertas lebih oke pas dipamerin daripada e-book. Perasaan punya barang yg bentuknya fisik lebih menyenangkan, itu juga bisa dijual lagi kalo harganya naik. Buku kertas tetap lebih enak dimiliki. Paling tidak, jika saya bikin perpustakaan pribadi, terlihat wujudnya," kata Sunardi yang mengaku mencintai buku sejak kuliah di Yogyakarta.
foto: Instagram/@jogjabookfair
4. Buku cetak punya ritual untuk mendapatkannya
Alasan lebih memilih buku cetak ketimbang e-book juga diutarakan Gilang Andretti. Dirinya mengaku seorang penggila buku bekas ini merasa kalau buku cetak lebih punya ritualnya sendiri untuk mendapatkannya.
"Proses untuk mendapatkan buku bekas sudah bisa jadi cerita tersendiri. Mana yang harus makan sehari 2 kali selama beberapa hari, utang teman, nyicil ke penjual, gadai buku atau tukar tambah buku. Ada perasaan harus segera membeli buku itu. Apalagi kalau kondisinya langka dan mulus (nggak ada lipatan di sampul, bahkan ujung-ujung sampul yang masih "tajem")," katanya saat pada brilio.net, Kamis (10/10).
Serupa dengan Gilang, Reyhan Madjid juga punya ritual tersendiri dalam mendapatkan buku cetak. Ia mengaku suka dengan wangi kertas buku yang kerap ia hirup sebelum dibaca.
"Buku cetak ada bau buku barunya kalo pertama beli, itu asoy. Nggak mungkin kan antum ngendus-ngendus layar hp?," katanya berkelakar saat ditanya brilio.net, Kamis (10/10).
5. Buku cetak punya nilai estetika ketimbang e-book
Ken Risky, seorang desainer grafis punya pandangan menarik soal mengapa buku cetak lebih layak dikoleksi ketimbang e-book. Tak cuma tulisan, menurut Ken buku cetak juga menghadirkan karya sampul, ilustrasi, yang bentuknya bisa tiga dimensi.
"(Kalau aku) lebih bisa mengapresiasi sampul-sampul buku yang menarik. Beberapa desain sampul buku memainkan ruang di sampul depan, belakang, dan punggung buku secara berkesinambungan. Saat buku disuguhkan dalam bentuk digital, fitur main-main itu jadi hilang," kata Ken pada Brilio.net, Kamis (10/10).
Selain itu, Ken melihat buku cetak memiliki nilai estetika yang jauh lebih tinggi daripada e-book. Kata Ken, di dalam buku cetak terdapat begitu banyak proses karya yang dihasilkan.
"Membeli buku kertas terasa lebih 'ada' yang dibeli. Mungkin karena di dunia seni grafis, membeli buku-buku art, buku foto, dsb adalah membeli art itu sendiri (bagaimana buku dijilid, gambar/foto ditata dalam satu halaman, penataan urutan halaman, dll). Seni itu memang ditawarkan dalam bentuk buku yang dicetak. Mungkin sedikit berbeda dengan membeli buku sastra/teks di mana hal besar yang dibeli adalah gagasan/ide penulis. Kebiasaan menyukai buku art membuat saya punya kecenderungan lebih suka buku teks yang dicetak," lanjut Ken.
foto: Radio Buku
6. Ketimbang e-book, buku cetak lebih punya nilai yang membanggakan
Hal menarik lainnya dari buku cetak adalah kebanggaan saat memilikinya. Ketimbang e-book yang hanya berbentuk dokumen digital, buku cetak berbentuk tumpukan kertas yang dijilid dengan cover ini punya perasaan bahagia tersendiri.
Reyhan menerangkan, buku cetak baginya menyimpan sejarah otentik yang tak tergantikan.
"Buku cetak ini punya cult-nya sendiri yang tercipta dari sejarah panjang dunia percetakan. Misalkan, ada orang yang suka judul buku A tapi cetakan pertamanya. Karena kertasnya jadul, fontnya classic, covernya retro, atau lebih epic lagi kalau di halaman pertamanya ada tanda tangan pemilik sebelumnya. Apalagi pemilik sebelumnya orang terkenal. Bayangin kamu punya buku Di Bawah Bendera Revolusi terus ada ttd; "M. Hatta 1960" kan keren!" ujar Reyhan.
Hal yang sama juga dirasakan Kukuh Basuki. Tak cuma isi buku yang bisa ia nikmati, buku cetak juga bisa menyimpan berbagai kenangan dan cerita di balik buku tersebut.
"Koleksi fisik juga bisa dipajang di kamar dan untuk backdrop foto. Bentuk fisik juga punya kesan dan kenangan yang lebih mendalam tentang kapan belinya dan cerita-cetita lain di belakangnya," tandas Kukuh, Kamis (10/10).