Brilio.net - Bagi sebagian pasangan, kehadiran buah hati jadi anugerah yang diidamkan dalam keluarga. Nggak heran bila setiap pasangan melakukan berbagai cara untuk memperoleh momongan. Namun di balik kehamilan terdapat berbagai risiko yang dihadapi baik pada ibu maupun janin. Salah satunya kelainan kromosom pada bayi, yang merupakan kondisi di mana adanya perubahan dalam struktur atau jumlah kromosom bayi.
Nah, kromosom yakni struktur di dalam sel yang membawa informasi genetik. Biasanya, manusia memiliki 23 pasang kromosom, totalnya 46. Kelainan kromosom dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan maupun perkembangan pada bayi, termasuk cacat fisik, keterlambatan perkembangan, hingga masalah kesehatan lainnya seperti down syndrom. Tingkat keparahan dan gejalanya bervariasi tergantung pada jenis kelainan kromosom.
BACA JUGA :
Vincent Verhaag akui beri seluruh penghasilannya untuk Jessica Iskandar, pilih dijatah uang bulanan
Kelainan kromosom pada bayi memang jarang terjadi sehingga banyak yang luput dari perhatian. Padahal, beberapa orang berisiko alami kondisi ini. Terutama bagi wanita yang hamil di usia 35 tahun ke atas, kerap terkena paparan zat berbahaya, punya kebiasaan merokok, minum alkohol ataupun penggunaan obat-obatan terlarang. Oleh karena itu, ibu hamil wajib melakukan pemeriksaan kehamilan secara rutin agar mendeteksinya sejak dini.
Nah untuk mencegah adanya risiko kelainan kromosom pada bayi yang mungkin terjadi, Jessica Iskandar mengambil langkah berani untuk mengikuti program bayi tabung dengan teknologi PGT-A (Preimplantation Genetic Testic for Aneuploidies) di Morula IVF Surabaya. Program ini dilakukannya untuk memastikan janin atau embrio yang dikandungnya terhindar dari risiko kelainan kromosom.
Lantas bagaimana cara mencegah kelainan kromosom pada bayi ini? Yuk simak ulasan lengkapnya, dilansir brilio.net dari berbagai sumber, Rabu (18/9).
BACA JUGA :
Canggih berkonsep smart home, ini 9 potret kamar vila Jessica Iskandar mewah pakai sistem AI
Cara mencegah kelainan kromosom pada bayi
foto: freepik.com
Mencegah kelainan kromosom pada bayi menjadi langkah penting dalam perencanaan kehamilan maupun perawatan prenatal. Kelainan kromosom dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan dan perkembangan, seperti sindrom down, sindrom turner, atau sindrom klinefelter. Meskipun beberapa faktor penyebabnya mungkin tidak dapat dihindari, ada beberapa cara yang dapat membantu mengurangi risiko kelainan kromosom, meliputi:
1. Pemeriksaan genetik pra-konsepsi.
Sebelum memulai kehamilan, pasangan disarankan untuk menjalani tes genetik untuk menilai risiko kelainan kromosom. Pemeriksaan ini termasuk analisis riwayat kesehatan keluarga dan tes darah untuk mendeteksi kemungkinan adanya pembawa mutasi genetik yang dapat diwariskan.
Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG), konseling genetik dan tes ini dapat membantu pasangan memahami risiko serta membuat keputusan yang lebih terinformasi mengenai perencanaan keluarga.
2. Menjaga kesehatan ibu.
Menjaga kesehatan ibu sebelum dan selama kehamilan adalah kunci dalam mengurangi risiko kelainan kromosom. Memastikan berat badan yang sehat, mengelola kondisi medis seperti diabetes atau hipertensi, serta menghindari konsumsi alkohol maupun rokok dapat berkontribusi pada kehamilan yang lebih sehat. Sebuah studi dalam Journal of Maternal-Fetal & Neonatal Medicine menunjukkan bahwa gaya hidup sehat maupun manajemen kondisi kesehatan dapat mempengaruhi hasil kehamilan secara signifikan.
3. Konsultasi dengan dokter dan pemantauan selama kehamilan.
Pemantauan rutin maupun skrining selama kehamilan sangat penting untuk mendeteksi kelainan kromosom lebih awal. Tes prenatal seperti tes darah dan USG dapat memberikan informasi mengenai risiko kelainan kromosom pada bayi.
Penelitian dalam The New England Journal of Medicine menggarisbawahi pentingnya skrining awal, seperti tes NIPT (Non-Invasive Prenatal Testing) serta amniosentesis, untuk mendeteksi kelainan kromosom, sehingga intervensi dapat dilakukan jika diperlukan.
4. Menunda kehamilan pada usia ideal.
Usia ibu berpengaruh pada risiko kelainan kromosom, dengan risiko meningkat seiring bertambahnya usia, terutama setelah usia 35 tahun. Jika memungkinkan, menunda kehamilan hingga usia yang lebih muda dapat membantu mengurangi risiko.
Studi yang dipublikasikan dalam Fertility and Sterility menunjukkan bahwa wanita yang hamil di bawah usia 35 tahun memiliki risiko lebih rendah untuk kelainan kromosom dibandingkan dengan wanita yang hamil di usia lebih tua.
5. Pola makan sehat dan suplemen.
Mengonsumsi makanan bergizi sekaligus suplemen yang tepat dapat mendukung kesehatan kromosom dan perkembangan janin. Asam folat, misalnya, penting dalam mencegah cacat tabung saraf maupun dapat memiliki efek positif pada kesehatan kromosom. Penelitian dalam American Journal of Clinical Nutrition mengonfirmasi bahwa asam folat yang cukup sebelum serta selama kehamilan dapat mengurangi risiko kelainan kromosom tertentu.
6. Menghindari paparan lingkungan berbahaya.
Paparan terhadap bahan kimia berbahaya, radiasi, atau infeksi selama kehamilan dapat meningkatkan risiko kelainan kromosom. Menghindari paparan terhadap lingkungan yang berpotensi berbahaya lalu mengikuti pedoman keselamatan dapat membantu mengurangi risiko. Penelitian dari Environmental Health Perspectives menunjukkan bahwa mengurangi paparan terhadap bahan kimia dan radiasi dapat mengurangi risiko kelainan kromosom.
7. Menjaga kesehatan reproduksi.
Mengelola kesehatan reproduksi dengan perawatan yang baik maupun pemantauan medis dapat membantu dalam mencegah kelainan kromosom. Ini termasuk pengobatan infeksi reproduksi sekaligus manajemen kondisi medis yang dapat memengaruhi kesehatan kromosom. Penelitian yang diterbitkan dalam Reproductive Medicine Review menyoroti pentingnya perawatan kesehatan reproduksi untuk kesehatan bayi.
Penyebab kelainan kromosom pada bayi
foto: freepik.com
1. Kesalahan saat pembelahan sel.
Kelainan kromosom pada bayi sering kali terjadi karena kesalahan selama proses pembelahan sel, baik saat pembentukan sel telur atau sperma (meiosis) maupun setelah pembuahan (mitosis). Ketika proses ini tidak berjalan sempurna, kromosom bisa hilang, bertambah, bahkan mengalami duplikasi.
Salah satu contohnya adalah sindrom down, yang disebabkan oleh trisomi 21, yaitu penambahan satu salinan kromosom ke-21. Menurut penelitian yang dipublikasikan dalam Nature Genetics, kesalahan pembelahan sel ini merupakan salah satu penyebab paling umum dari kelainan kromosom pada bayi.
2. Faktor usia ibu.
Usia ibu yang lebih tua, terutama di atas 35 tahun, juga merupakan faktor risiko signifikan yang dapat meningkatkan peluang terjadinya kelainan kromosom. Hal ini disebabkan karena sel telur wanita sudah ada sejak lahir, dan seiring bertambahnya usia, kualitas sel telur dapat menurun.
Akibatnya, risiko terjadinya kesalahan pembelahan sel saat pembentukan sel telur juga meningkat. Studi dari American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) menunjukkan bahwa wanita di atas usia 35 tahun memiliki risiko lebih tinggi untuk melahirkan bayi dengan kelainan kromosom, seperti sindrom Down dan trisomi lainnya.
3. Paparan lingkungan berbahaya.
Paparan terhadap lingkungan yang berbahaya, seperti bahan kimia, radiasi, atau polutan tertentu selama masa kehamilan, dapat meningkatkan risiko kelainan kromosom. Bahan kimia yang ada dalam pestisida, polusi udara, atau produk rumah tangga tertentu dapat mengganggu proses normal pembelahan sel dan perkembangan kromosom pada janin.
Sebuah studi dalam Environmental Health Perspectives menemukan hubungan antara paparan bahan kimia tertentu dengan peningkatan risiko kelainan kromosom pada bayi, terutama jika paparan tersebut terjadi selama trimester pertama kehamilan.
4. Riwayat keluarga dengan kelainan genetik.
Faktor genetik juga memainkan peran penting dalam kelainan kromosom. Jika salah satu atau kedua orang tua membawa kelainan kromosom yang tidak tampak secara langsung pada mereka (pembawa), ada kemungkinan bayi yang mereka lahirkan mengalami kelainan kromosom.
Kelainan kromosom dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, terutama jika terdapat riwayat keluarga dengan masalah genetik. Menurut National Human Genome Research Institute, beberapa bentuk kelainan kromosom, seperti translokasi kromosom, dapat diturunkan, dan ini meningkatkan risiko kelainan pada bayi.
4. Infeksi selama kehamilan.
Infeksi tertentu yang dialami ibu selama kehamilan, seperti infeksi virus rubella atau toxoplasmosis, dapat meningkatkan risiko kelainan kromosom pada janin. Infeksi ini dapat menyebabkan kerusakan pada materi genetik selama tahap awal perkembangan janin, sehingga mengganggu pembelahan sel dan mengakibatkan kelainan kromosom. Penelitian yang diterbitkan dalam The Lancet Infectious Diseases menunjukkan bahwa infeksi virus pada masa awal kehamilan berkorelasi dengan peningkatan risiko kelainan kromosom atau cacat lahir lainnya.
5. Penggunaan obat-obatan terlarang dan alkohol.
Penggunaan obat-obatan terlarang atau konsumsi alkohol selama kehamilan memiliki dampak signifikan terhadap perkembangan janin, termasuk meningkatkan risiko kelainan kromosom. Alkohol, misalnya, dapat menyebabkan sindrom alkohol pada janin (fetal alcohol syndrome), yang tidak hanya mempengaruhi perkembangan fisik tetapi juga bisa mengganggu stabilitas kromosom pada bayi.
6. Kelainan pada sperma atau sel telur.
Kelainan kromosom tidak hanya dipengaruhi oleh usia ibu, tetapi juga oleh kualitas sperma atau sel telur. Jika salah satu gamet (sperma/sel telur) membawa jumlah kromosom yang tidak normal, bayi yang dihasilkan dapat mengalami kelainan kromosom.
Kelainan ini bisa disebabkan oleh mutasi spontan pada sperma atau sel telur, terutama jika ada faktor lingkungan atau riwayat medis tertentu yang memengaruhi kesehatan reproduksi. Penelitian dari Fertility and Sterility mengungkapkan bahwa kualitas sperma yang buruk juga dapat menyebabkan kelainan kromosom, meskipun lebih jarang dibandingkan dengan faktor yang berasal dari sel telur.
7. Mutasi spontan selama perkembangan janin.
Pada beberapa kasus, kelainan kromosom terjadi akibat mutasi spontan selama tahap awal perkembangan janin, yang tidak terkait dengan riwayat keluarga atau paparan lingkungan. Mutasi ini bisa terjadi secara acak saat janin berkembang, dan meskipun langka, mereka dapat menyebabkan kelainan seperti sindrom Edwards (trisomi 18) maupun sindrom Patau (trisomi 13).
Menurut The New England Journal of Medicine, mutasi genetik spontan ini dapat terjadi tanpa adanya faktor risiko yang jelas, tetapi tetap merupakan penyebab utama kelainan kromosom pada sejumlah kasus.
Cara deteksi kelainan kromosom pada bayi
foto: freepik.com
Deteksi kelainan kromosom pada bayi dapat dilakukan melalui berbagai metode pemeriksaan prenatal yang dirancang untuk mengidentifikasi risiko adanya kelainan kromosom sebelum atau selama kehamilan.
1. Skrining risiko awal.
Skrining risiko awal dilakukan untuk menilai kemungkinan adanya kelainan kromosom pada bayi. Metode ini biasanya melibatkan tes darah dan USG. Skrining ini tidak memberikan diagnosis definitif, tetapi dapat menunjukkan apakah ada peningkatan risiko kelainan kromosom.
- Tes darah awal (first-trimester screening): Mengukur kadar hormon dan protein tertentu dalam darah ibu untuk menilai risiko kelainan kromosom seperti sindrom down. Tes ini sering dilakukan bersamaan dengan USG untuk mengukur ketebalan lipatan leher janin.
- Tes darah gabungan (quad screen): Dilakukan pada trimester kedua untuk mengukur kadar empat biomarker dalam darah ibu, yang dapat mengindikasikan risiko kelainan kromosom.
Penelitian yang diterbitkan dalam American Journal of Obstetrics and Gynecology menunjukkan bahwa skrining ini dapat membantu mengidentifikasi risiko tinggi sekaligus memungkinkan pemantauan lebih lanjut.
2. Tes non-invasif.
Tes non-invasif yakni metode yang tidak melibatkan pengambilan sampel dari rahim dan dapat dilakukan lebih awal dalam kehamilan.
- Tes DNA prenatal non-invasif (NIPT): Menggunakan sampel darah ibu untuk menganalisis DNA janin yang bebas dari sel-sel plasenta. Tes ini sangat akurat dalam mendeteksi risiko kelainan kromosom seperti trisomi 21 (sindrom Down), trisomi 18, dan trisomi 13.
3. Tes invasif.
Tes invasif dilakukan jika hasil skrining risiko menunjukkan kemungkinan adanya kelainan kromosom atau jika ada indikasi medis lain. Tes ini melibatkan pengambilan sampel dari dalam rahim.
- Amniosentesis:
Mengambil sampel cairan amniotik yang mengandung sel-sel janin untuk dianalisis. Tes ini dilakukan pada trimester kedua dan dapat mengidentifikasi sebagian besar kelainan kromosom dengan akurasi tinggi. Menurut National Institute of Child Health and Human Development (NICHD), amniosentesis memiliki risiko kecil tetapi dapat memberikan hasil yang sangat akurat.
- Biopsi vili korionik (CVS)
Mengambil sampel jaringan dari plasenta untuk dianalisis. Dilakukan pada trimester pertama, tes ini dapat mendeteksi kelainan kromosom lebih awal daripada amniosentesis. Penelitian dalam Journal of Maternal-Fetal & Neonatal Medicine menunjukkan bahwa CVS efektif dalam mendeteksi kelainan kromosom dengan akurasi yang tinggi.
4. USG terpadu.
USG terpadu yaitu metode pemantauan visual untuk mendeteksi adanya indikasi kelainan kromosom.
- USG trimester pertama: Mengukur ketebalan lipatan leher janin untuk menilai risiko kelainan kromosom.
- USG trimester kedua (USG anatomi): Memeriksa struktur dan perkembangan janin untuk mendeteksi tanda-tanda fisik yang mungkin terkait dengan kelainan kromosom.
Menurut Radiology journal, USG dapat membantu dalam mendeteksi kelainan kromosom dengan melihat tanda-tanda fisik tertentu pada janin.