Brilio.net - Pada September 2024, Indonesia kembali mencatatkan deflasi dalam Indeks Harga Konsumen (IHK). Deflasi yang berlangsung selama lima bulan berturut-turut ini menjadi catatan terburuk sejak 1999. Kondisi ini muncul menjelang akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo, yang akan berakhir pada Oktober 2024. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan deflasi bulanan sebesar 0,12% pada September, lebih dalam dibandingkan deflasi Agustus 2024 yang tercatat hanya 0,03%.
Penurunan harga yang berkelanjutan sudah mulai terlihat sejak Mei 2024, dengan angka deflasi 0,03%. Pada bulan berikutnya, deflasi mencapai 0,08% dan terus meningkat pada Juli sebesar 0,18%. Selama lima bulan terakhir, Indonesia mengalami penurunan harga yang mengkhawatirkan, yang berdampak langsung pada perekonomian. Plt Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, menyampaikan bahwa IHK turun dari 106,06 pada Agustus menjadi 105,93 pada September 2024.
BACA JUGA :
Penuh perhitungan dalam urusan mengeluarkan uang, 5 zodiak ini dikenal pandai berhemat
Kondisi deflasi yang berkepanjangan ini memicu kekhawatiran di kalangan ekonom serta masyarakat. Nggak heran bila banyak yang khawatir bahwa situasi ini akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Deflasi sering kali dikaitkan dengan turunnya permintaan barang dan jasa, yang pada akhirnya dapat mengganggu stabilitas ekonomi nasional.
Lantas demikian ada pula yang bertanya-tanya tentang apa itu deflasi hingga dampaknya bagi Indonesia? Nah, supaya makin pahami berikut ini brilio.net sadur dari berbagai sumber, Rabu (2/10).
Apa itu deflasi?
BACA JUGA :
5 Aplikasi keuangan gratis yang wajib dimiliki mahasiswa untuk hemat biaya kuliah
Deflasi merupakan fenomena ekonomi yang ditandai dengan penurunan umum dan berkelanjutan dalam tingkat harga barang maupun jasa di suatu negara. Deflasi menjadi kebalikan dari inflasi, dimana harga-harga barang serta jasa justru mengalami kenaikan. Dalam situasi deflasi, nilai mata uang meningkat karena harga barang dan jasa menurun, yang memungkinkan konsumen membeli lebih banyak dengan jumlah uang yang sama.
Meskipun pada awalnya terdengar menguntungkan bagi konsumen, deflasi justru memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap perekonomian, terutama jika berlangsung dalam jangka panjang. Penyebab utama deflasi biasanya berasal dari turunnya permintaan barang dan jasa secara keseluruhan. Ketika konsumen menahan diri untuk tidak berbelanja atau mengurangi pengeluaran, permintaan terhadap produk menurun, yang memaksa produsen menurunkan harga agar tetap kompetitif di pasar.
Beberapa faktor utama yang dapat menyebabkan deflasi antara lain:
a) Penurunan permintaan agregat: Ketika konsumsi dan investasi menurun, perusahaan mungkin menurunkan harga untuk menarik pembeli.
b) Kebijakan moneter yang ketat: Bank sentral yang mengetatkan pasokan uang dapat menyebabkan deflasi.
c) Peningkatan produktivitas: Inovasi teknologi dapat menurunkan biaya produksi dan harga barang.
d) Penurunan harga aset: Jatuhnya harga aset seperti properti dapat menyebabkan efek kekayaan negatif dan menurunkan konsumsi.
e) Ekspektasi deflasi: Jika masyarakat mengharapkan harga akan turun di masa depan, mereka mungkin menunda pembelian, yang pada gilirannya dapat menyebabkan deflasi.
Namun, ketika deflasi terus berlanjut, produsen dapat mengalami penurunan pendapatan, yang menyebabkan pengurangan produksi sekaligus pemutusan hubungan kerja. Penurunan tingkat harga ini sering kali dikaitkan dengan resesi ekonomi, di mana pertumbuhan ekonomi melambat serta tingkat pengangguran meningkat.
Menurut penelitian dari International Monetary Fund (IMF), deflasi memiliki dampak yang lebih serius daripada inflasi. Dalam situasi deflasi, konsumen cenderung menunda pembelian karena mereka mengharapkan harga akan semakin turun. Akibatnya, permintaan terus menurun, lalu siklus deflasi semakin memperburuk kondisi ekonomi.
Alhasil, deflasi dapat membuat perusahaan kesulitan membayar utang, terutama jika suku bunga tetap tinggi atau stabil, karena nilai uang yang diperoleh dari penjualan barang dan jasa semakin rendah. Hal ini juga dapat memengaruhi sektor perbankan, yang akan melihat peningkatan jumlah kredit macet ketika perusahaan tidak mampu membayar pinjaman mereka.
Selain itu, penelitian oleh European Central Bank (ECB) menunjukkan bahwa deflasi sering kali dikaitkan dengan periode stagnasi ekonomi yang panjang. Jepang, misalnya, mengalami periode deflasi yang dikenal sebagai "Dekade Hilang" pada 1990-an, dimana harga-harga stagnan atau turun selama bertahun-tahun, sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi yang menyebabkan meningkatnya pengangguran. Meskipun pemerintah maupun bank sentral sering kali mencoba menangani deflasi melalui kebijakan moneter ekspansif, seperti menurunkan suku bunga maupun meningkatkan jumlah uang beredar, hal ini tidak selalu efektif jika deflasi sudah berakar dalam.
Di Indonesia, deflasi juga menimbulkan kekhawatiran karena dampaknya terhadap konsumsi domestik. Seperti yang tercermin dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2024, penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) selama lima bulan berturut-turut menunjukkan lemahnya permintaan di pasar. Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, akan ada risiko terhadap stabilitas ekonomi yang lebih luas. Beberapa sektor, terutama industri manufaktur dan ritel, dapat mengalami tekanan besar yang berujung pada pengurangan tenaga kerja, sehingga pada akhirnya memperburuk tingkat pengangguran di negara tersebut.
Untuk mengatasi deflasi, banyak ahli merekomendasikan kebijakan fiskal yang lebih agresif, seperti meningkatkan pengeluaran pemerintah atau memberikan insentif kepada konsumen untuk mendorong konsumsi. Studi dari Harvard Business Review menyatakan bahwa kebijakan-kebijakan tersebut terbukti efektif dalam beberapa kasus, seperti pada krisis keuangan global 2008, di mana banyak negara menggunakan kebijakan fiskal dan moneter untuk mencegah spiral deflasi. Kebijakan semacam ini penting untuk menjaga daya beli konsumen sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Dampak deflasi bagi Indonesia.
1. Penurunan tingkat konsumsi masyarakat
Deflasi dapat menyebabkan penurunan tingkat konsumsi masyarakat Indonesia. Ketika harga-harga barang dan jasa turun secara berkelanjutan, konsumen cenderung menunda pembelian dengan harapan harga akan turun lebih rendah di masa depan. Hal ini dapat menciptakan siklus deflasi yang merugikan, di mana penurunan permintaan menyebabkan perusahaan menurunkan harga lebih lanjut, yang pada akhirnya mendorong konsumen untuk menunda pembelian lebih lama lagi.
Menurut studi yang dilakukan oleh Bank Indonesia pada 2020, konsumsi rumah tangga menyumbang sekitar 57% dari PDB Indonesia. Oleh karena itu, penurunan konsumsi akibat deflasi dapat memiliki dampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Penelitian yang dipublikasikan dalam Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan Bank Indonesia menunjukkan bahwa elastisitas permintaan terhadap harga untuk beberapa barang konsumsi di Indonesia cukup tinggi. Ini berarti bahwa perubahan harga dapat memiliki dampak besar pada pola konsumsi masyarakat Indonesia.
2. Peningkatan beban utang riil
Deflasi dapat meningkatkan beban utang riil bagi pemerintah, perusahaan, hingga rumah tangga di Indonesia. Ketika harga-harga turun, nilai riil utang yang harus dibayar meningkat, sementara pendapatan nominal cenderung stagnan atau bahkan menurun.
Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia, rasio utang pemerintah terhadap PDB Indonesia pada 2021 mencapai sekitar 41%. Dalam situasi deflasi, beban pembayaran utang ini bisa menjadi lebih berat, yang dapat membatasi kemampuan pemerintah untuk melakukan stimulus fiskal.
Studi yang dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menunjukkan bahwa rasio kredit bermasalah (NPL) di Indonesia cenderung meningkat selama periode deflasi atau pertumbuhan ekonomi yang lemah. Hal ini mengindikasikan bahwa deflasi dapat meningkatkan risiko gagal bayar di sektor perbankan Indonesia.
3. Penurunan keuntungan perusahaan dan investasi
Selanjutnya, deflasi dapat menyebabkan penurunan keuntungan perusahaan di Indonesia. Ketika harga jual produk turun sementara biaya produksi tidak turun secepat itu, margin keuntungan perusahaan akan tertekan. Hal ini dapat mendorong perusahaan untuk mengurangi produksi, menunda investasi, atau bahkan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), investasi atau pembentukan modal tetap bruto menyumbang sekitar 32% dari PDB Indonesia. Penurunan investasi akibat deflasi dapat memiliki dampak jangka panjang pada kapasitas produksi serta daya saing ekonomi Indonesia.
Penelitian yang dipublikasikan dalam Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia menunjukkan bahwa tingkat investasi di Indonesia sangat sensitif terhadap ekspektasi pertumbuhan ekonomi serta stabilitas harga. Deflasi dapat memperburuk sentimen investasi sekaligus menghambat aliran modal ke Indonesia.
4. Peningkatan angka pengangguran
Sebagai akibat dari penurunan keuntungan dan investasi, deflasi dapat menyebabkan peningkatan pengangguran di Indonesia. Perusahaan mungkin terpaksa mengurangi tenaga kerja untuk mempertahankan profitabilitas dalam menghadapi penurunan pendapatan.
Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa sektor-sektor padat karya seperti manufaktur, ritel, maupun konstruksi menyerap sebagian besar tenaga kerja di Indonesia. Sektor-sektor ini juga cenderung paling rentan terhadap dampak deflasi.
Studi yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengestimasi bahwa setiap penurunan 1% pertumbuhan PDB dapat menyebabkan peningkatan tingkat pengangguran sebesar 0,3-0,5%. Dalam konteks deflasi yang berkelanjutan, dampak pada pengangguran bisa lebih parah.
5. Penurunan pendapatan pajak pemerintah
Deflasi dapat menyebabkan penurunan pendapatan pajak pemerintah Indonesia. Ketika aktivitas ekonomi melambat lalu pendapatan perusahaan serta individu menurun, basis pajak juga akan menyusut. Hal ini dapat membatasi kemampuan pemerintah untuk melakukan intervensi fiskal guna menstimulasi ekonomi.
Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, penerimaan pajak menyumbang sekitar 80% dari total pendapatan negara Indonesia. Penurunan signifikan dalam penerimaan pajak akibat deflasi dapat memaksa pemerintah untuk memotong pengeluaran atau bahkan meningkatkan utang, yang keduanya dapat memperburuk situasi ekonomi.
Penelitian yang dipublikasikan dalam Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan Bank Indonesia menunjukkan bahwa elastisitas penerimaan pajak terhadap pertumbuhan PDB di Indonesia adalah sekitar 1,2. Ini berarti bahwa setiap penurunan 1% dalam PDB dapat menyebabkan penurunan penerimaan pajak sebesar 1,2%.
6. Tantangan bagi kebijakan moneter
Deflasi dapat menciptakan tantangan signifikan bagi kebijakan moneter Bank Indonesia. Ketika terjadi deflasi, efektivitas kebijakan moneter konvensional seperti penurunan suku bunga mungkin terbatas, terutama jika suku bunga sudah mendekati nol (zero lower bound).
Bank Indonesia, dalam Laporan Perekonomian Indonesia, menyoroti pentingnya menjaga ekspektasi inflasi tetap terjangkar untuk mencegah spiral deflasi. Namun, dalam situasi deflasi yang berkelanjutan, ini bisa menjadi tugas yang sangat menantang.
Studi yang dilakukan oleh tim ekonom Bank Indonesia menunjukkan bahwa transmisi kebijakan moneter di Indonesia cenderung kurang efektif selama periode deflasi atau inflasi sangat rendah. Hal ini dapat membatasi kemampuan Bank Indonesia untuk merangsang pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan moneter konvensional.
7. Dampak pada daya saing ekspor
Meskipun deflasi dapat meningkatkan daya saing ekspor Indonesia dalam jangka pendek karena harga barang-barang Indonesia menjadi lebih murah di pasar internasional, dampak jangka panjangnya bisa merugikan. Deflasi yang berkelanjutan dapat menandakan kelemahan fundamental ekonomi, yang dapat mengurangi kepercayaan investor asing sekaligus menghambat aliran modal masuk.
Data dari Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa ekspor menyumbang sekitar 20% dari PDB Indonesia. Oleh karena itu, dampak deflasi pada sektor ekspor dapat memiliki implikasi signifikan bagi perekonomian secara keseluruhan.
Penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of Asian Economics menemukan bahwa deflasi dapat menyebabkan apresiasi nilai tukar riil, yang pada gilirannya dapat mengurangi daya saing ekspor Indonesia dalam jangka panjang.
Kesimpulannya, deflasi dapat memiliki dampak yang luas maupun mendalam pada perekonomian Indonesia. Dari penurunan konsumsi dan investasi hingga peningkatan pengangguran maupun tantangan kebijakan moneter, deflasi menciptakan serangkaian masalah yang saling terkait yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi serta kesejahteraan.
Oleh karena itu, penting bagi pembuat kebijakan di Indonesia untuk memantau tanda-tanda deflasi secara ketat yang kemudian mengambil tindakan proaktif untuk mencegah atau mengatasi dampaknya. Hal ini mungkin melibatkan kombinasi kebijakan moneter dan fiskal yang tepat, serta reformasi struktural untuk meningkatkan produktivitas maupun daya saing ekonomi Indonesia dalam jangka panjang.