Brilio.net - Dalam beberapa tahun terakhir, sistem pendidikan Indonesia mengalami perubahan besar dengan penerapan Kurikulum Merdeka. Kurikulum ini menawarkan konsep pendidikan yang lebih fleksibel, mengedepankan minat dan potensi siswa tanpa batasan yang terlalu ketat. Namun, di balik visi yang terlihat menjanjikan, muncul sejumlah polemik yang menimbulkan pro dan kontra di kalangan pendidik, orang tua, hingga siswa sendiri. Polemik tersebut melibatkan beberapa aspek penting, seperti penghapusan Ujian Nasional (UN), penghapusan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa, penerapan sistem zonasi, standar kenaikan kelas yang baru, serta kesiapan teknologi di banyak sekolah yang masih menjadi tantangan besar.
Langkah penghapusan Ujian Nasional dan jurusan akademis bertujuan memberikan kebebasan bagi siswa untuk lebih mengeksplorasi minat mereka tanpa terbatas pada nilai ujian akhir atau aliran khusus. Namun, tanpa adanya acuan UN dan pemisahan jurusan, bagaimana sekolah menentukan standar kompetensi yang merata bagi semua siswa? Banyak pihak mempertanyakan, apakah sistem baru ini benar-benar akan menciptakan pendidikan yang adil atau justru membuka peluang ketimpangan di kalangan siswa.
BACA JUGA :
Survei: Kemampuan Matematika siswa Indonesia duduki peringkat 69 dunia, masuk kategori terendah
Selain itu, sistem zonasi yang digagas untuk mengurangi kesenjangan antar sekolah juga menghadapi berbagai kendala. Bagi sebagian orang tua, sistem zonasi dianggap menghambat akses anak-anak mereka ke sekolah-sekolah favorit. Belum lagi, standar kenaikan kelas yang lebih berbasis penilaian rapor dibandingkan ujian membuat banyak orang tua bertanya-tanya tentang konsistensi dan akuntabilitas proses penilaian siswa. Tidak ketinggalan, kesiapan teknologi sebagai pendukung utama dalam Kurikulum Merdeka juga menjadi sorotan, terutama di daerah terpencil yang masih memiliki keterbatasan akses internet dan perangkat.
foto: freepik.com
BACA JUGA :
Masa kecil anak TK akan terenggut jika belajar Matematika, bagaimana sebaiknya sikap orang tua?
Berikut beberapa poin yang menjadi sorotan utama dalam polemik Kurikulum Merdeka, seperti dihimpun brilio.net pada Jumat (25/10).
1. Penghapusan Ujian Nasional (UN)
Penghapusan UN bertujuan mengurangi tekanan pada siswa yang sering kali lebih berfokus pada nilai ujian akhir daripada proses pembelajaran. Namun, tanpa UN, evaluasi kompetensi siswa di tingkat nasional menjadi kurang terukur, sehingga banyak yang mempertanyakan tolak ukur yang akan digunakan untuk menilai kemampuan siswa secara merata.
2. Penghapusan Jurusan IPA, IPS, dan Bahasa
Dengan menghilangkan jurusan di SMA, siswa diharapkan lebih bebas dalam memilih mata pelajaran sesuai minat mereka. Meski terdengar ideal, banyak pihak khawatir jika tanpa jurusan khusus, siswa akan kebingungan memilih karier atau jurusan perguruan tinggi di masa depan.
3. Sistem Zonasi Sekolah
Sistem zonasi bertujuan untuk memeratakan kualitas pendidikan. Sayangnya, implementasi sistem ini sering menimbulkan ketidakpuasan karena terbatasnya akses ke sekolah yang dianggap lebih berkualitas.
foto: freepik.com
4. Standar Kenaikan Kelas dan Nilai Rapor
Dengan kurikulum ini, standar kenaikan kelas menjadi lebih fleksibel dan berbasis penilaian guru. Tantangan muncul ketika standar penilaian rapor menjadi sangat subjektif, sehingga memunculkan kekhawatiran akan ketidakkonsistenan di berbagai sekolah.
5. Ketidaksiapan Teknologi Pendukung
Untuk mendukung Kurikulum Merdeka, teknologi sangat dibutuhkan, mulai dari perangkat hingga akses internet. Namun, tidak semua sekolah di Indonesia siap dengan infrastruktur ini, khususnya di daerah terpencil yang akses teknologinya masih terbatas.
Sebagai tambahan, survei dari Kemendikbud pada 2023 menunjukkan bahwa 40% sekolah di daerah tertinggal masih kekurangan fasilitas pendukung untuk menjalankan Kurikulum Merdeka. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun konsep merdeka belajar ini menjanjikan, persiapan yang matang sangat dibutuhkan agar implementasinya benar-benar efektif dan tidak menimbulkan masalah baru.