Brilio.net - Di Indonesia, penyelesaian kasus hukum seringkali menimbulkan tanda tanya besar, terutama ketika muncul dugaan adanya upaya penyelesaian dengan uang tebusan. Baru-baru ini, kasus yang melibatkan seorang guru honorer, Supriyani, di Baito, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, mendapat sorotan publik.
Supriyani dituduh melakukan penganiayaan terhadap muridnya, sebuah tuduhan yang disangkalnya. Namun, hal yang lebih mengejutkan adalah kabar bahwa ia dimintai uang tebusan sebesar Rp50 juta agar kasus tersebut bisa diselesaikan tanpa proses hukum lebih lanjut. Sayangnya, Supriyani menolak permintaan tersebut karena mengaku tidak memiliki uang dan merasa tak pernah melakukan penganiayaan yang dituduhkan.
BACA JUGA :
Mengenal hak eksepsi dalam persidangan, pahami pengertian, dan praktiknya
foto: X/@RA_Channell
Kisah Supriyani ini menjadi perhatian banyak pihak karena menggambarkan bagaimana kekuatan finansial kadang dianggap sebagai jalan pintas untuk mengatasi persoalan hukum. Publik mempertanyakan, apakah hukum di Indonesia memang bisa selesai dengan uang tebusan? Apakah ada dasar hukum yang mengizinkan penyelesaian kasus secara damai dengan imbalan uang? Ataukah, justru praktik seperti ini termasuk tindakan ilegal yang melanggar etika hukum dan keadilan?
BACA JUGA :
Sering ditumpangi guru Supriyani, kaca mobil camat Baito diduga ditembak orang tidak dikenal
Fenomena "uang tebusan" dalam kasus hukum di Indonesia ini memang bukan hal baru, namun tetap menjadi topik sensitif. Dirangkum brilio.net dari berbagai usmber, Rabu (30/10), artikel ini akan mengupas lebih lanjut apakah sistem hukum kita memberikan celah untuk menyelesaikan kasus dengan uang tebusan atau jika hal tersebut sepenuhnya bertentangan dengan hukum yang berlaku. Kita akan melihat dari perspektif aturan yang mengatur penyelesaian perkara, serta contoh-contoh kasus serupa untuk memahami fenomena ini dengan lebih baik.
Penjelasan tentang penyelesaian kasus hukum dengan Uang Tebusan.
foto: freepik.com
Secara umum, sistem hukum di Indonesia tidak mengatur uang tebusan sebagai cara untuk menyelesaikan suatu perkara hukum. Kasus pidana atau perdata biasanya diselesaikan melalui pengadilan atau lembaga yang memiliki wewenang.
Namun, ada konsep yang dikenal sebagai restorative justice (keadilan restoratif) dalam hukum Indonesia yang memungkinkan beberapa kasus tertentu diselesaikan melalui mediasi atau jalan damai, terutama dalam kasus pidana ringan.
Namun, mediasi ini berbeda dengan uang tebusan yang disinyalir terjadi dalam kasus Supriyani. Restorative justice memberikan ruang bagi para pihak untuk berdamai secara sah tanpa ada tuntutan balik, tetapi hal ini masih membutuhkan persetujuan dari pihak kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
Menurut Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu kasus bisa diselesaikan secara damai.
Salah satunya adalah tidak adanya unsur kekerasan dan tindak pidana tersebut harus tergolong ringan serta disepakati oleh kedua belah pihak. Dalam hal ini, uang bukanlah satu-satunya komponen dalam penyelesaian; yang lebih utama adalah kesepakatan damai yang tidak mencederai rasa keadilan. Jika tidak ada kesepakatan dan hanya mengandalkan uang, maka hal itu tidak dianggap sah dan bisa dianggap sebagai pelanggaran hukum.
foto: freepik.com
Namun, dalam praktiknya, seringkali ditemukan pihak-pihak yang menawarkan penyelesaian kasus dengan imbalan uang tanpa melalui prosedur resmi. Praktik ini sebenarnya tidak diizinkan dan melanggar ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.
Hukum pidana Indonesia tegas melarang segala bentuk suap atau gratifikasi yang diberikan kepada penegak hukum, baik itu polisi, jaksa, atau hakim, demi menghentikan proses hukum atau mendapatkan putusan yang menguntungkan.
Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pemberian hadiah atau janji kepada aparat hukum dalam penanganan kasus pidana dianggap sebagai tindak pidana suap.
Selain itu, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pedoman Penerapan Restorative Justice juga menegaskan bahwa dalam beberapa kasus ringan, penanganan bisa diselesaikan melalui pendekatan restoratif tanpa harus berujung di pengadilan.
Namun, ini harus dilakukan secara transparan dan berdasarkan persetujuan semua pihak. Artinya, jalan damai dengan uang tebusan tanpa prosedur yang jelas dan resmi tetap tidak dapat dibenarkan.