Brilio.net - Kasus perseteruan antara Nikita Mirzani dan putrinya, Laura Meizani atau Lolly, kembali menarik perhatian publik. Pada Kamis (19/9), Nikita menjemput paksa Lolly di sebuah apartemen di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan. Aksi ini berlangsung dengan pendampingan polisi serta beberapa orang dari pihak Nikita.
Dalam penjemputan tersebut, Lolly tampak berontak dan menolak dijemput paksa oleh sang ibu. Bahkan, meski sudah dibantu oleh petugas, Lolly tetap histeris dan tidak ingin mengikuti Nikita. Perseteruan mereka yang sebelumnya memanas di media sosial pun semakin memuncak dengan kejadian ini.
BACA JUGA :
Contoh surat dakwaan perkara pidana, pahami pengertian dan proses pembuatannya
Nikita Mirzani juga didampingi oleh kuasa hukumnya, Fahmi Bachmid, dalam proses ini. Fahmi menuturkan, tindakan yang dilakukan Nikita telah sesuai prosedur hukum, khususnya terkait dengan perlindungan terhadap korban kekerasan. Lolly disebut sebagai korban dalam kasus yang sedang ditangani oleh Polres Metro Jakarta Selatan.
Lalu bagaimana prosedur penjemputan menurut KUHP? Berikut rangkuman brilio.net dari berbagai sumber, Kamis (19/9).
Hukum yang mengatur hak orang tua terhadap anak.
BACA JUGA :
Sebut tersangka hanya ada 9, Polda Jawa Barat hapus 2 DPO pembunuhan Vina setelah menangkap Pegi
foto: freepik.com
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP), hak asuh anak diatur secara tegas. Orang tua memiliki tanggung jawab atas anak mereka hingga anak tersebut mencapai usia dewasa. Artinya, tindakan yang dilakukan oleh Nikita Mirzani untuk membawa Lolly, meskipun dilakukan tanpa persetujuan dari Lolly, secara hukum bisa dianggap sah.
Anak di bawah umur, dalam hal ini Lolly, masih berada dalam perlindungan dan pengasuhan orang tuanya, sehingga keputusan-keputusan penting terkait anak tersebut masih dipegang oleh orang tua, termasuk urusan kesehatan dan keselamatan.
Namun, penting untuk memahami bahwa hak pengasuhan bukan berarti orang tua bisa bertindak sewenang-wenang. Jika terdapat indikasi bahwa seorang anak mengalami perlakuan yang merugikan fisik atau mental, atau terjadi konflik antara anak dan orang tua, pihak lain dapat melakukan intervensi.
Dalam hal ini, jika seorang anak merasa terancam atau dirugikan, perlindungan anak diatur oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam beberapa kasus, intervensi aparat kepolisian atau lembaga terkait bisa terjadi untuk melindungi hak-hak anak.
Prosedur penjemputan anak menurut KUHP.
foto: freepik.com/tirachardz
Secara hukum, tindakan penjemputan anak oleh orang tua yang sah, seperti yang dilakukan oleh Nikita Mirzani, tidak memerlukan persetujuan dari anak jika anak tersebut masih di bawah umur. Prosedur ini umumnya dilindungi oleh Pasal 330 KUHP, yang menyatakan bahwa anak di bawah umur masih berada di bawah kekuasaan orang tua atau wali. Artinya, selama tidak ada keputusan pengadilan yang mencabut hak pengasuhan orang tua, tindakan Nikita ini dianggap sebagai tindakan orang tua yang sah.
Akan tetapi, dalam situasi seperti ini, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan. Pertama, tindakan ini harus dilakukan dengan itikad baik, dalam artian untuk kebaikan anak, bukan sebagai bentuk balas dendam atau kepentingan pribadi. Kedua, tindakan ini harus sesuai dengan prosedur hukum, seperti melibatkan aparat yang berwenang apabila diperlukan, untuk menghindari konflik atau pertikaian fisik yang lebih besar.
Dalam kasus Nikita dan Lolly, aparat kepolisian turut mendampingi proses penjemputan. Ini dilakukan agar tindakan penjemputan berjalan lancar tanpa adanya kekerasan fisik atau tindakan yang melanggar hukum. Dalam situasi seperti ini, pendampingan dari pihak berwenang juga menjadi penting untuk memastikan bahwa hak-hak kedua belah pihak, baik orang tua maupun anak, terlindungi.
Visum dan tugas penyidik.
Dalam penanganan kasus kekerasan, visum et repertum menjadi bagian penting dari pembuktian di pengadilan. Visum ini dilakukan oleh dokter untuk melihat ada atau tidaknya luka fisik yang ditimbulkan akibat kekerasan.
Visum tidak bisa dilakukan sembarangan, melainkan harus berdasarkan permintaan dari penyidik yang menangani kasus. Hal ini diatur dalam Pasal 133 KUHAP yang menyatakan bahwa penyidik berhak meminta visum dari dokter untuk kepentingan pembuktian. Dalam situasi ini, tugas penyidik adalah memastikan bahwa semua bukti, termasuk hasil visum, bisa menjadi alat bukti yang sah di pengadilan.
Fahmi Bachmid menyebut bahwa keputusan terkait visum Lolly sepenuhnya berada di tangan penyidik. Penyidik memiliki kewenangan penuh untuk memutuskan apakah visum diperlukan atau tidak. Oleh karena itu, meski kuasa hukum Nikita mendampingi, proses ini tetap mengikuti jalur hukum yang berlaku di Indonesia.
Penanganan kasus pengasuhan yang rumit.
foto: freepik.com/jcomp
Sering kali, konflik keluarga yang melibatkan anak menjadi rumit dan penuh emosi. Oleh karena itu, dalam situasi yang lebih ekstrem, misalnya jika anak menolak untuk ikut dengan orang tuanya seperti yang terjadi pada Lolly, aparat berwenang bisa menjadi mediator. Lembaga seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) atau pengadilan anak juga bisa terlibat jika situasi semakin memanas dan membutuhkan mediasi formal.
Selain itu, jika dugaan terkait aborsi yang dilontarkan oleh Nikita terhadap putrinya terbukti, ini akan menambah dimensi baru dalam kasus ini. Di Indonesia, aborsi tanpa alasan medis yang sah merupakan tindakan yang dilarang dan bisa berujung pada hukuman pidana, baik bagi pelaku maupun pihak yang terlibat. Oleh sebab itu, langkah Nikita untuk membawa Lolly ke rumah sakit untuk visum bisa dipandang sebagai upaya untuk mengungkap kebenaran terkait dugaan ini.
Namun, perlu diingat bahwa proses hukum tidak boleh dijadikan ajang balas dendam atau untuk mempermalukan pihak tertentu. Semua pihak harus mengikuti aturan yang berlaku dan mengedepankan kepentingan terbaik untuk anak, baik dari sisi kesehatan fisik maupun mentalnya.