Brilio.net -Aksi unjuk rasa mengawal Putusan Mahkamah Konstitusi diserukan oleh sejumlah tokoh, influencer dan BEM Seluruh Indonesia. Gerakan ini diawali dengan seruan-seruan melalui media sosial dengan tagar #KawalPutusanMK. Bukan tanpa sebab, publik menyoroti perkara ini lantaran selang sehari setelah MK menetapkan putusan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui Badan Legislasi (Baleg) langsung menggodok RUU Pilkada untuk segera disahkan. Langkah serta-merta badan legislatif ini dinilai sejumlah influencer, tokoh, dan kelompok mahasiswa sebagai upaya untuk menganulir Putusan MK yang bersifat final.
Sebelumnya, Selasa (20/8), Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan putusan untuk dua gugatan terkait Pilkada yang diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora. Gugatan dengan nomor perkara 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024 tersebut berkaitan dengan syarat pencalonan kepala daerah di Pilkada 2024. Putusan 60 menyatakan partai atau gabungan partai bisa mencalonkan kepala daerah meski tak punya kursi di DPRD. Sementara, putusan 70 menegaskan perhitungan syarat usia minimal calon kepala daerah dilakukan sejak penetapan pasangan calon oleh KPU, bukan saat calon terpilih dilantik.
BACA JUGA :
Warga geruduk gedung DPR imbas aturan pilkada, ini jadwal lengkap aksi massa #KawalPutusanMK
foto: Liputan6/Putu Merta
Masifnya gerakan di media sosial dilanjutkan dengan aksi massa turun ke jalan pada Kamis (22/8). Mahasiswa dari berbagai kampus mulai dari UI, Universitas Trisakti, hingga para guru besar, aktivis 98 maupun selebriti tak luput mendukung gerakan ini. Massa yang berdatangan sebagai bentuk perjuangan demokrasi tersebut akhirnya berkumpul di Gedung DPR, Senayan, Jakarta. Massa lain di berbagai daerah juga menyerbu kantor DPRD setempat. Mereka menyuarakan penolakan pengesahan RUU Pilkada yang terkesan terburu-buru dan syarat akan kepentingan. Sebelumnya, Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna juga keras menyebut Badan Legislasi DPR melakukan pembangkangan konstitusi dengan mengabaikan putusan MK.
BACA JUGA :
Momen demonstran dan polisi nongkrong bareng usai unjuk rasa ini tuai atensi, ternyata satu geng SMA
Berkumpulnya massa unjuk rasa di Gedung DPR RI seolah mengingatkan masyarakat pada sejarah perjuangan demokrasi 1998. Peristiwa ini merupakan tonggak reformasi dan puncak ketidakpuasan rakyat terhadap Orde Baru yang di pimpin Presiden Soeharto. Seperti apa kisahnya? Brilio.net telah menghimpun dari berbagai sumber, Jumat (23/8), sejarah perjuangan 1998 yang menjadi simbol lahirnya demokrasi di negeri ini.
Sejarah perjuangan demonstrasi Mei 1998 di Indonesia.
foto: Mereka.com/ Nur Habibie
Latar belakang peristiwa 1998.
Krisis yang memuncak pada Mei 1998 merupakan hasil dari serangkaian masalah ekonomi, politik, dan sosial yang berkepanjangan. Setelah lebih dari 30 tahun pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, situasi di Indonesia semakin memburuk sejak krisis ekonomi Asia 1997-1998 yang merupakan pemicu utama ketidakstabilan di Indonesia. Nilai tukar rupiah merosot tajam, menyebabkan inflasi tinggi hingga melumpuhkan daya beli masyarakat.
Kenaikan harga sembako dan bahan bakar membuat masyarakat kelimpungan memenuhi kebutuhan mereka. Sementara itu, praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) masif terjadi di kalangan petinggi negeri. Sektor perbankan juga mengalami tekanan berat, dengan banyak bank yang mengalami krisis likuiditas. Pelanggaran hak asasi manusia yang meluas di bawah rezim Soeharto menambah ketidakpuasan publik. Serta, ketidakmampuan pemerintah untuk menangani krisis secara efektif membuat kemarahan rakyat semakin memuncak.
Alhasil, di tengah krisis ekonomi dan ketidakstabilan politik, Pemerintahan Orde Baru yang dikenal dengan kontrol ketatnya terhadap politik dan media, mulai menghadapi tekanan besar dari kelompok oposisi, mahasiswa, serta masyarakat sipil.
Protes mahasiswa dan aksi unjuk rasa.
Gerakan mahasiswa memainkan peran sentral dalam demonstrasi Mei 1998. Pada awal Mei, aksi unjuk rasa besar-besaran digelar di berbagai kota, terutama di Jakarta. Mahasiswa menuntut reformasi politik, pengunduran diri Presiden Soeharto, hingga perubahan sistem pemerintahan. Aksi demonstrasi ini juga diwarnai dengan bentrokan dengan aparat keamanan, yang membuat keadaan tak terkendali.
Puncak kerusuhan terjadi pada 12-13 Mei 1998, ketika demonstrasi di Jakarta berubah menjadi kekacauan. Bentrokan antara massa demonstran dan aparat keamanan terjadi semakin intens. Dalam waktu singkat, kerusuhan menyebar ke berbagai kawasan di kota, disertai dengan pembakaran, penjarahan, maupun kekerasan. Banyak laporan yang menunjukkan terjadinya kekerasan terhadap etnis Tionghoa, termasuk pembakaran rumah, toko, serta serangan fisik.
Peristiwa Mei 1998 ini juga diperkeruh dengan pengerahan pasukan militer dalam penanganan kerusuhan. Bentrok fisik pun tak terelakkan hingga memakan korban. Tak sedikit aktivis yang mengalami luka-luka, kehilangan nyawa hingga dikabarkan mengalami penculikan. Perjuangan ini berbuah mundurnya Presiden Soeharto dari tampuk kepemimpinan pada 21 Mei 1998.
Soeharto mengundurkan diri setelah mendapat tekanan yang sangat besar baik dari dalam negeri maupun komunitas internasional. Pengunduran diri Soeharto menandai akhir dari pemerintahan Orde Baru dan membuka jalan bagi era reformasi di Indonesia.
Reformasi.
Setelah jatuhnya Soeharto, Indonesia memasuki periode reformasi yang ditandai dengan perubahan signifikan dalam sistem politik maupun pemerintahan. Reformasi mencakup desentralisasi kekuasaan, kebebasan pers, pembentukan demokrasi multipartai, pemilihan umum yang demokratis, hingga upaya untuk memberantas korupsi serta meningkatkan transparansi.
Perubahan sosial juga terlihat dari pola pikir masyarakat, kesadaran terhadap hak asasi manusia dan kebebasan berpendapat yang tak terhalang lagi. Marsyarakatpun bisa berpartisipasi aktif dalam politik dan melakukan kritik terhadap pemerintah serta bebas menyuarakan aspirasi. Meski diwarnai dengan peristiwa kelam yang merenggut nyawa, namun peristiwa 1998 menjadi tonggak perubahan yang buahnya bisa dirasakan hingga generasi mendatang.