Brilio.net - "Pelajari alam, cintai alam, berdekatanlah dengan alam karena alam tidak akan pernah mengecewakanmu." Kata-kata mutiara ini seakan menggambarkan sosok Purwo Harsono. Ia merupakan sosok yang menginisiasi destinasi wisata Mangunan. Pria kelahiran 1 Maret 1967 ini juga ketua Koperasi Noto Wono yang menaungi sejumlah objek wisata di Kapanewon Dlingo.
Bagi yang pernah berlibur ke Yogyakarta khususnya wilayah Bantul, pasti tak asing dengan Hutan Pinus Mangunan di Kalurahan Mangunan, Kapanewon Dlingo, Bantul, DI Yogyakarta. Hutan Pinus Mangunan menjadi salah satu tujuan utama wisata alam di Yogyakarta. Letaknya 22 km dari pusat Kota Yogyakarta. Setiap musim liburan, ratusan hingga ribuan orang datang untuk menikmati keindahan panorama dan sejuknya hutan ini.
BACA JUGA :
Camping di Potrobyan River Camp, menikmati sunrise di tepi Sungai Opak
Semakin tersohor seperti saat ini tentu tak lepas dari jerih payah Purwo Harsono. Berkat dia, Bantul lantai dua ini makin maju dan warganya makin makmur.
Sekitar jam 10 pagi, panas Mangunan begitu terik. Sembari duduk santai di bangunan berbahan dasar kayu, kepada brilio.net Purwo Harsono berkisah awal mula ia merintis kawasan wisata Hutan Pinus Mangunan.
BACA JUGA :
Pesona Negeri Kahyangan, penghubung desa yang kini jadi spot Instagramable di lereng Merbabu
Akhir tahun 2014 merupakan awal mula Purwo Harsono berkecimpung mengembangkan kawasan Hutan Pinus Mangunan. Kala itu dirinya masih bekerja sebagai karyawan swasta di bidang penagihan. Bahkan ia juga tengah berada di puncak kariernya. Bertepatan dengan momen itu Purwo diminta mewakili masyarakat untuk menyampaikan usulan pengembangan wisata.
"Pas 2014 itu saya diminta Kepala Balai untuk mewakili masyarakat kelompok tani pengelola hutan berbicara tentang pariwisata," kata Ipung panggilan akrab Purwo Harsono saat ditemui tim brilio.net, Senin (30/10).
Tak lama, Ngarso Dalem datang ke Mangunan. Ipung menyampaikan gagasan-gagasan yang dimilikinya. Terinspirasi dari makam raja di Imogiri yang segmented untuk wisata religi, ia mengusulkan untuk mengembangkan wisata daya dukung di sekeliling Imogiri. Yakni dengan menawarkan wisata panorama di timur Imogiri.
Kemudian ada kesejukan hutan ini kalau dikolaborasi menjadi sebuah daya tarik. Jadi pengembangan terintegrasi pada makam raja yang juga saya sampaikan ke Ngarso Dalem. Itu juga bisa istimewa dari tempat ini, tutur Ipung.
Seakan gayung bersambut, orang nomor satu di DIY ini pun mendukung pengembangan kawasan hutan pinus. Saat itu dikatakan Ipung, dirinya tak mengerti apa-apa lantaran bukan pelaku wisata maupun praktisi pariwisata. Ipung, memeras keringat dan otak mengawali pengembagan kawawan hutan. Di tahun yang sama ia juga memutuskan keluar dari pekerjaan dan fokus merintis konsep pengembangan alam.
Sebagai permulaan terbentuklah Desa Wisata Kaki Langit. Dengan memegang tekad tak boleh minta dan tak mau dikasih, awal merintis Purwo bersama masyarakat memanfaatkan sumber daya yang ada. Dengan kegigihan dan optimisnya, dalam kurun 3 tahun Ipung menunjukkan hasil yang cemerlang.
"Nah, setelah lepas tiga tahun, kita sudah bisa menunjukkan pada pemerintah kepada Ngarso Dalem. Ini masalah kami tiga tahun sudah mampu melakukan seperti ini. Sehingga saat mulai ramai, saya mengajukan perbaikan jalan rusak, (Ngarso Dalem) langsung menggelontorkan dana besar untuk konsepsi, ujarnya.
Pengembangan desa wisata itu terbilang sukses, pasalnya pada tahun 2015-2021 mendapatkan enam penghargaan nasional. Dimana tahun 2021 menerima Anugerah Desa Wisata Indonesia dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Dengan berkembangnya Desa Wisata Kaki Langit, di wilayah Mangunan mulai muncul Wana Wisata Budaya Mataram. Yang terdiri dari Hutan Pinus, Pinus Asri, Pinus Pengger, Seribu Batu, Puncak Becici, Lintang Sewu, Nata Damar dan banyak lainnya. Obyek-obyek wisata ini menawarkan pengalaman indah di hutan pinus dan perbukitan dengan pemandangan yang menarik bagi pengunjung.
"Nah itu diawal kita mengembangkan jasa lingkungan wisata alam yang dikerjasamakan dengan konsep kerjasamanya itu kerja sama kemitraan pemberdayaan masyarakat. Sifatnya wajib memberdayakan masyarakat. Jadi oleh Ngarso Dalem didukung, diperkenankan, kata Ipung.
Sebelum menjadi destinasi wisata, pada awalnya Hutan Pinus Mangunan adalah hutan produksi minyak kayu putih. Kemudian seiring perkembangannya, lahan seluas 570,73 Ha tersebut ditanami berbagai pepohonan seperti sonokeling, merkusi, akasia, dan mahoni. Namun, tahun 1985 beberapa bagian hutan produksi diubah menjadi tanaman pinus yang dikelola oleh Kesatuan Pengelola Hutan (KPH).
Melalui Koperasi Noto Wono, Ipung juga terus berupaya memberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya memelihara dan memaksimalkan fungsi hutan untuk kepentingan sosial. Ia juga memberi ruang kepada taruna wisata untuk terlibat dalam aktivitas pengembangan alam secara langsung. Dari sinilah sektor ekonomi masyarakat terangkat dan berdampak baik pada kesejahteraan warga.
"Setelah adanya wana wisata, banyak wisatawan dan orang-orang berpikir peluang. Bahkan setelah adanya ini, jadi ada lebih dari 412 usaha, ujarnya.
Karena kiprahnya ini ia dianugerahi penghargaan Kalpataru 2021 dalam kategori perintis lingkungan. Torehan yang diraih Purwo Harsono tersebut merupakan penghargaan tertinggi di bidang lingkungan hidup dan kehutanan.
Dari segi fungsi sosial dan ekonomi pemberdayaan masyarakat, hal tersebut juga diraih dengan cemerlang. Koperasi Noto Wono yang dikelola Ipung dan masyarakat mencatat, jika dalam kurun waktu tahun 2017-2019, rata-rata wisatawan yang berkunjung ke kawasan tersebut mencapai 2,4 juta orang per tahunnya.
Tak heran, jika pemasukan desa yang diperoleh dari potensi tersebut juga tidaklah sedikit. Berdasarkan penuturan Ipung, pendapatan dari aktivitas wisata di Mangunan dibagi dengan skema dimana 25 persennya disetorkan ke Pemda DIY, 70 persen untuk pemberdayaan masyarakat, dan 5 persen untuk Koperasi Noto Wono.
Berdasarkan kondisi yang dilihat secara langsung, Hutan Pinus Mangunan merupakan destinasi wisata yang terpelihara dengan baik. Fasilitas terlihat begitu memadai, dari tempat sampah, tempat cuci tangan, tempat duduk, musala, toilet, bahkan kantin juga ada, sehingga memudahkan para pengunjung. Dari segi penjagaan lingkungan, hampir tak ada sampah sisa wisatawan. Tak heran jika tempat ini jadi jujugan para pengunjung yang ingin rehat sejenak dari rutinitas.