1. Home
  2. »
  3. Ragam
14 Agustus 2024 16:25

Pahami istilah revenge porn & dampak bagi korban, serta jerat hukum bagi pelaku penyebaran video syur

Dari segi psikologis, korban sering mengalami trauma. Muhamad Ikhlas Alfaridzi
sumber HL: freepik.com

Brilio.net -

Di era digital yang semakin maju, fenomena revenge porn atau pornografi balas dendam menjadi ancaman serius bagi generasi muda. Kasus-kasus penyebaran konten intim tanpa izin semakin marak terjadi, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda yang aktif di media sosial. Kemudahan akses internet dan penggunaan smartphone yang meluas membuat penyebaran konten privat menjadi sangat cepat dan sulit dikendalikan.

BACA JUGA :
Beredar video panas mirip Nagita Slavina, ini komentar Gisel


Salah satu kasus yang belakangan ini menjadi sorotan publik adalah penyebaran video syur yang diduga melibatkan Audrey Davis, putri dari musisi terkenal David Bayu. Kasus ini memicu perdebatan luas di media sosial dan mengguncang masyarakat Indonesia. Peristiwa ini menjadi pengingat keras akan bahaya revenge porn dan dampaknya terhadap korban.

Maraknya kasus revenge porn di Indonesia mencerminkan kurangnya kesadaran akan privasi digital dan etika bermedia sosial. Menurut laporan dari Komnas Perempuan, terjadi peningkatan signifikan kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) termasuk revenge porn, dari 940 kasus di tahun 2020 menjadi 1.348 kasus di tahun 2021. Angka ini diperkirakan hanya sebagian kecil dari kasus yang sebenarnya terjadi, mengingat banyak korban yang enggan melapor karena rasa malu atau takut.

Untuk memahami fenomena ini lebih dalam, mari kita telaah definisi revenge porn secara lebih rinci. Kamu perlu tahu banyak nih, agar bisa mengantisipasi jika suatu saat ada orang terdekatmu yang mengalaminya. Dihimpun brilio.net dari berbagai sumber pada Selasa (13/8), berikut ulasan lengkapnya.

BACA JUGA :
Viral video tak senonoh di TransJakarta, bikin geger

Pengertian istilah revenge porn

foto: freepik.com

Revenge porn, atau dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai "pornografi balas dendam", merujuk pada tindakan menyebarluaskan gambar atau video yang memuat konten seksual eksplisit tanpa persetujuan dari orang yang terlibat di dalamnya. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh aktivis anti-revenge porn, Charlotte Laws, pada tahun 2012.

Meskipun istilah ini mengandung kata "revenge" atau balas dendam, motif di balik penyebaran konten tersebut tidak selalu didasari oleh keinginan untuk membalas dendam. Dalam banyak kasus, pelaku mungkin menyebarkan konten tersebut untuk mendapatkan keuntungan finansial, meningkatkan status sosial, atau bahkan hanya untuk lelucon. Namun, terlepas dari motifnya, tindakan ini tetap ilegal dan sangat merugikan korban.

Penting untuk dicatat bahwa revenge porn bukan hanya tentang menyebarkan video atau foto eksplisit. Istilah ini juga mencakup tindakan mengancam akan menyebarkan konten tersebut, yang sering digunakan sebagai alat untuk memeras atau mengontrol korban. Dalam konteks hukum Indonesia, tindakan ini dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan berbasis gender online (KBGO).

Dampak revenge porn bagi korban

Dampak revenge porn terhadap korban sangatlah berat dan multidimensi. Pertama, dari segi psikologis, korban sering mengalami trauma mendalam yang dapat mengakibatkan depresi, kecemasan, dan dalam kasus ekstrem, keinginan untuk bunuh diri. Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Cyber Civil Rights Initiative, 51% korban revenge porn melaporkan memiliki pikiran untuk bunuh diri.

Kedua, revenge porn dapat berdampak signifikan terhadap kehidupan sosial korban. Banyak korban mengalami isolasi sosial, baik karena rasa malu maupun karena stigma dari masyarakat. Mereka mungkin kehilangan teman, mengalami pelecehan online, atau bahkan menjadi target cyberbullying. Hal ini dapat mengakibatkan korban menarik diri dari interaksi sosial dan mengalami kesulitan dalam membangun hubungan baru.

Ketiga, dampak revenge porn juga merambah ke aspek profesional korban. Banyak korban mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan atau kehilangan pekerjaan mereka saat ini karena konten yang tersebar. Dalam era di mana perusahaan sering melakukan penelusuran online terhadap calon karyawan, keberadaan konten semacam ini dapat sangat merugikan prospek karir korban.

Keempat, revenge porn juga dapat mengakibatkan masalah kesehatan fisik pada korban. Stres berkepanjangan yang dialami korban dapat memicu berbagai masalah kesehatan seperti gangguan tidur, sakit kepala kronis, hingga penurunan sistem kekebalan tubuh. Menurut sebuah penelitian, 63% korban revenge porn melaporkan mengalami masalah kesehatan fisik sebagai akibat dari trauma yang mereka alami.

Kelima, dampak finansial juga tidak bisa diabaikan. Korban mungkin harus mengeluarkan biaya untuk konseling psikologis, biaya hukum jika memutuskan untuk menempuh jalur hukum, atau bahkan biaya untuk pindah tempat tinggal jika merasa tidak aman di lingkungan mereka saat ini. Belum lagi potensi kerugian finansial akibat kehilangan pekerjaan atau kesulitan mendapatkan pekerjaan baru.

Jerat hukum dan ancaman pidana bagi pelaku revenge porn

foto: freepik.com

Mengingat dampak yang begitu serius, penting bagi kita untuk memahami jerat hukum dan sanksi yang dapat dikenakan kepada pelaku penyebaran video syur atau revenge porn di Indonesia. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi landasan utama dalam penindakan kasus revenge porn.

Pasal 27 ayat (1) UU ITE menyatakan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan dapat dikenakan sanksi pidana. Sanksi yang diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE adalah pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Selain UU ITE, pelaku juga dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi melarang pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang secara eksplisit memuat persenggamaan dan ketelanjangan.

Sanksi pidana yang diatur dalam UU ini bahkan lebih berat, yaitu pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Dalam kasus yang melibatkan korban di bawah umur, pelaku dapat dikenakan pasal berlapis dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Sanksi yang diatur dalam undang-undang ini bahkan lebih berat lagi, dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara.

Meskipun kerangka hukum untuk menindak pelaku revenge porn sudah ada, penegakan hukum masih menghadapi berbagai tantangan. Sifat digital dari kejahatan ini membuat proses pengumpulan bukti dan pelacakan pelaku menjadi lebih kompleks. Selain itu, masih ada stigma sosial yang membuat banyak korban enggan melaporkan kasus mereka. Oleh karena itu, diperlukan upaya komprehensif yang melibatkan penegak hukum, pembuat kebijakan, platform media sosial, dan masyarakat umum untuk mencegah dan menangani kasus revenge porn secara efektif.



SHARE NOW
EXPLORE BRILIO!
RELATED
MOST POPULAR
Today Tags