Dahulu mi lethek memiliki nama mi singkong karena bahan baku yang digunakan memang berasal dari singkong. Namun, karena dahulu warna mi ini kecokelatan, banyak warga lokal yang menyebut mi ini lethek. Lethek sendiri dalam bahasa Jawa memiliki arti dekil atau kusam. Meski saat ini warna mi sudah lebih putih, warga lokal tetap mengenal mi ini dengan sebutan mi Lethek Cap Garuda.
BACA JUGA :
Kipo, makanan khas Yogyakarta yang disukai sejak zaman Sultan Agung hingga kaum milenial
foto: Shifa Aulia
Sejak awal didirikan sampai dengan adanya kemajuan teknologi di Indonesia, pabrik ini tetap mempertahankan proses produksi mi dengan cara tradisional. Dalam proses produksinya semua pekerjaan dilakukan dengan tenaga manusia.
Tenaga tambahan yang ada di pabrik ini hanyalah mesin pres dan alat penggiling adonan silinder yang biasa ditarik oleh tenaga sapi. "Pengadonan dengan mesin itu sebenernya tidak ditemukan. Kalau pakai mesin itu tepungnya mateng, karena kalau pakai mesin itu gesekan antara besi dan besi itu menimbulkan panas. Sedangkan, ini pakai tepung tapioka, itu rentan terhadap panas. Kalau panas dia kering, kalau kering sudah tidak bisa," jelasnya.
BACA JUGA :
Jadah manten, camilan Kotagede favorit Sri Sultan Hamengkubuwono VII
Sapi yang digunakan untuk penggeraknya juga haruslah sapi khusus dan bukan asal jenis sapi saja. Sapi yang digunakan adalah sapi Jawa atau sapi Benggala yang memiliki ciri khas fisik yang sesuai kriteria.
"Sapi Jawa atau Benggolo sapi putih itu memiliki ciri dari kakinya, kukunya, punggungnya, pantatnya, dan wajahnya itu memiliki ciri. Kalau sapi yang tidak memiliki ciri itu biasanya malas kerjanya," ujar Ferry.
Dalam satu kali produksi biasanya pabrik ini memproduksi kurang lebih 1 ton mi lethek. Proses distribusi mi lethek ini masih di sekitar Bantul. Sedangkan pesanan luar kota tetap dilayani melalui aplikasi WhatsApp.
Reporter: mg/Mas Noviani