Brilio.net - Pelataran tengah Benteng Fort Rotterdam di Kota Makassar dipenuhi ratusan anak muda pada pukul, 21.20 WITA, Kamis (4/5). Mereka khusuk duduk di atas rumput. Diam membisu. Hening di tengah kegelapan. Sesaat terdengar gesekan cello mengalun.
Tiba-tiba muncul sesosok perempuan berbalut kerudung dari belakang panggung. Ia membawa lentera. Jalannya terhuyung perlahan. Lalu duduk di sebuah kursi.
BACA JUGA :
4 Keajaiban saat tsunami Aceh, dari Martunis hingga masjid tetap kokoh
Aku merasa terasing, jauh dari tanah kelahiranku. Meskipun aku buta tapi aku tahu langit di luar jendela itu bukanlah langit yang selalu kurindukan. Oh Nanggroe...Nanggroe...Nanggroe, ucap si perempuan dengan logat Aceh yang kental.
Perempuan itu terus berkisah tentang kepedihannya di perasingan. Dia dibuang jauh dari tanah kelahirannya, Nanggroe Aceh Darussalam. Begitulah penampilan Sha Ine Febriyanti saat membawakan monolog Cut Nyak Dhien.
BACA JUGA :
Kisah tak terlupakan dari tsunami Aceh 2004
Monolog yang dipentaskan selama kurang lebih 45 menit itu digelar di tengah acara Makassar International Writers Festival (MIWF) 2018. Monolog ditutup tepuk tangan penonton. Oh iya, ini bukan pertama kali Ine mempertunjukkan sosok Cut Nyak Dhien dalam monolog.
Pertama kali monolog ini dibawakan Ine di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta pada 2014 silam. Setelah itu dibawa berkeliling ke beberapa kota di Indonesia pada 2015. Tahun ke-109 kepergian Cut Nyak Dhien, monolog ini dipentaskan kembali pada 16 November 2017 di Bentara Budaya, Jakarta dan Kuala Lumpur pada 7 Februari 2018.
Pentas monolog yang didukung Bakti Budaya Djarum Foundation ini bakal digelar di 10 kota. Dimulai sejak 27 April 2018 di Gianyar, Bali. Makassar menjadi kota kedua. Setelah itu pertunjukkan akan dilanjutkan ke Solo, Surabaya, Kudus, Tasikmalaya, Bandung, Medan, Padang dan berakhir di Padang Panjang pada September 2018.
Saat dipentaskan di benteng Fort Rotterdam, tata panggung disertai permainan cahaya yang pas membuat suasana terasa nyata. Ini pertama kalinya Ine membawakan monolog Cut Nyak Dhien di luar ruang.
Alunan cello dan karakter Ine yang menyatu dengan sosok Singa Betina dari Bumi Rencong itu makin menghanyutkan penonton. Mereka seakan dibawa ke kehidupan nyata Cut Nyak Dhien yang penuh kepedihan hingga akhir hayatnya.
Saya sengaja menampilkan sisi rumpang seorang Cut Nyak Dhien. Ia seorang perempuan juga punya sisi yang lemah. Selama ini ia dikenal sebagai sosok perempuan perkasa. Sebagai perempuan ternyata ia menyembunyikan kepedihan ketika ditinggal suami, berpisah dari tanah kelahiran yang dicintai. Itu yang saya angkat, ujar Ine yang sekaligus menjadi sutradara dan penulis naskah.
Dikisahkan kehidupan Cut Nyak Dhien yang menikah dengan Teuku Ibrahim Lamnga saat berusia 12 tahun. Meski awalnya tak mengenal cinta, tapi ia menjalankan perannya sebagai seorang isteri. Ada rasa khawatir setiap ia mengantar kepergian suaminya ke medan perang. Luka sangat dalam ia rasakan ketika Teuku Ibrahim gugur.
Sepeninggal suaminya, Cut Nyak Dhien dilamar sejumlah bangsawan. Namun ia selalu menolak. Hanya Teuku Umar yang akhirnya diterima sebagai suami keduanya kendati usia Teuku Umar masih lebih muda dan sudah punya istri lain.
Cut Nyak Dhien mau diperistri Teuku Umar dengan syarat, boleh ikut bertempur demi membalas dendam kematian suami pertamanya. Nahas, Teuku Umar pun akhirnya mati syahid dalam pertempuran. Kabar duka ini membuat hatinya hancur untuk kedua kalinya.
Sepeninggal Umar, Cut Nyak Dhien meneruskan jejak dan semangat juang suaminya. Ia bergerilya melawan para khape (kafir). Dalam luka ia tetap berjuang dengan sisa pasukannya hingga kesehatannya memburuk. Matanya mulai rabun.
Ia kemudian dikhianati orang kepercayaannya sendiri Pang Laot Ali dan ditangkap Belanda pada 4 November 1905 di sebuah pedalaman hutan Meulaboh. Akhirnya dibuang ke Sumedang. Pengkhianat busuk. Lebih baik kasihani aku dengan menikam daku mati, seru Ine dalam monolognya.
Dalam monolog ini Ine sengaja mengisahkan sisi lain kehidupan Cut Nyak Dhien yang dikenal perkasa. Ine menyajikan sisi seorang perempuan sekaligus isteri dari sosok Cut Nyak Dien. Cerita monolog ini pun mengambil setting kehidupan Cut Nyak Dhien saat diasingkan di hutan Sumedang, Jawa Barat hingga tutup usia pada 6 November 1908.
Penampilan Ine benar-benar bikin merinding penonton.