Brilio.net - Komisi I DPR mengadakan rapat dengar pendapat dengan Dewan Pengawas (Dewas) TVRI terkait. Dari beberapa poin penjabaran alasan Dewas memecat Helmy Yahya sebagai Direktur Utama TVRI, salah satunya adalah tayangan Liga Inggris yang dinilai Dewas berpotensi gagal bayar dan tidak sesuai jatidiri bangsa Indonesia.
Seperti diketahui Helmy Yahya dipecat sebagai Direktur Utama TVRI merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 13 Tahun 2005 tentang LPP TVRI. Berdasarkan PP tersebut, kata Ketua Dewas TVRI Arif Hidayat Thamrin, Dewas memiliki hak untuk mengangkat dan memberhentikan Dewan Direksi.
BACA JUGA :
7 Gaya Fifin MasterChef masak di dapur, natural khas emak-emak
"Dewas punya kewenangan. Sudah dilalui dengan sesuai peraturan," kata Arif dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (21/1/2020).
Dalam rapat dengar pendapat itu, Dewan Pengawas menjabarkan beberapa poin terkait alasan pemecatan Helmy Yahya. Berikut brilio.net lansir dari Liputan6.com tentang deretan alasan Dewan Pengawas memecat sosok yang dulu kerap wira-wiri sebagai presenter acara olahraga di TV ini.
BACA JUGA :
Pesbukers berhenti tayang, ini penjelasan KPI
1. Siaran Liga Inggris berpotensi gagal bayar.
foto: Instagram/@tvrinasional
Anggota Dewas TVRI Pamungkas Trishadiatmoko menyampaikan bahwa, Helmy Yahya tidak memberikan kelengkapan berkas penayangan Liga Inggris seperti surat jawaban terkait program asing berbiaya besar.
Moko menyatakan bahwa Liga Inggris merupakan salah satu program berbiaya besar yang bisa memicu TVRI gagal bayar atau menimbulkan utang pada 2020. Ia menyebut potensi gagal bayar tersebut bisa seperti kasus PT Jiwasraya.
"Saya akan mencoba mensummary-kan kenapa Liga Inggris itu bisa menjadi salah satu pemicu gagal bayar ataupun munculnya utang yang seperti Jiwasraya. Sehingga kami akan paparkan urutannya," katanya.
Moko memaparkan total kontrak tayangan Liga Inggris selama 3 musim adalah 9 juta dolar AS atau setara Rp 126 miliar di luar pajak. Ada potensi lain pada 2020, TVRI kewajiban bayar hutang Liga Inggris.
"Sehingga kewajiban bayar, ini bukan gagal bayar. Karena tidak dianggarkan (2020), potensi (gagal bayar) senilai Rp 69 miliar ini belum termasuk pajak," jelasnya.
2. Siaran Liga Inggris tak sesuai dengan jati diri bangsa.
Ketua Dewas, Arief Hidayat Thamrin menyebut TVRI harus menayangkan program yang sesuai jati diri bangsa Indonesia. Menurutnya tupoksi TVRI sesuai visi-misi TVRI adalah TV publik, bukan swasta. Jadi yang paling utama adalah edukasi, jati diri, media pemersatu bangsa, prioritas programnya juga seperti itu. Realisasinya sekarang kita nonton Liga Inggris.
"Tupoksi TVRI sesuai visi-misi TVRI adalah TV publik, kami bukan swasta, jadi yang paling utama adalah edukasi, jati diri, media pemersatu bangsa, prioritas programnya juga seperti itu. Realisasinya sekarang kita nonton Liga Inggris," kata Ketua Dewas Arief Hidayat di Kompleks DPR Senayan, Selasa (21/1/2020).
3. TVRI di bawah Helmy Yahya hanya mengejar rating.
foto: Instagram/@helmyyahya
Ketua Dewas, Arief Hidayat Thamrin menilai TVRI kini seolah menjadi televisi swasta yang mengejar rating. Menurutnya eolah-olah Direksi mengejar rating dan share seperti TV swasta.
" Kita ada APBN harus bayar keluar negeri dalam bentuk hal ini BWF, Discovery, dan Liga Inggris, artinya uang rupiah kita APBN dibelanjakan keluar yang Presiden menyatakan dibatasi dan ini terjadi," terang dia.
4. Tayangan yang tidak sesuai dengan visi misi TVRI sebagai TV publik.
Hal lain yang menjadi pertimbangan Dewas adalah siaran yang tak sesuai dengan visi misi TVRI sebagai televisi publik. Arief Hidayat Thamrin mencontohkan saat banjir awal Januari lalu, TVRI justru sempat menayangkan program Discovery Chanel.
"Sempat ketika ada banjir, kami sedang menayangkan Discovery Channel, ini kami dapat protes dari publik, 'Kok banjir-banjir, Dicovery Channel-nya tayang terus, nggak peduli banjir'. Ini sangat miris, kami sudah tegur, ternyata direksi melanjutkan," ucapnya.