Brilio.net - Media sosial (medsos) membuat masyarakat bisa berbagi sebuah cerita dalam sekejab. hanya tinggal satu ketuk di smartphone, warganet bisa membagikan cerita untuk dinikmati oleh orang lain. Oleh karena itu, sebuah kejadian di tempat terpencil di benua Eropa bisa terdengar langsung di Indonesia tanpa halangan waktu.
Tapi tak semuanya manis, media sosial juga mempunyai sisi jeleknya. Dengan banyaknya berita yang belum tentu benar, warganet terpapar oleh banyaknya versi dari kejadian tersebut. Walhasil, banyak warganet yang menelan mentah-mentah berita tersebut. Hal ini bisa menyebabkan perubahan opini yang besar dan tak terkendali. Oleh karena itu, Indonesia menemui tantangan bagaimana bisa mengedepankan etika bermedia sosial agar terhindar dari berita palsu atau hoax.
BACA JUGA :
Pasang surut hubungan militer AS-Indonesia, mesra di era Soeharto
foto 1: Pixabay
Travis Mckinney, seorang warga menceritakan pengalamnnya ketika insiden penembakan di Las Vegas. Dilansir dari NYtimes, media sosial Travis penuh dengan banyaknya teori konspirasi dan berita-berita setengah matang. Rumor politik juga banyak berkembang, ada yang mengatakan penembakan ini didalangi oleh antifa (organisasi anti fasis), anti presiden Trump, dan lain-lain.
BACA JUGA :
Kenapa hantu yang sering ada di film Indonesia kebanyakan wanita?
"Rumor dan isu yang berkeliaran di media sosial ada lebih dari 300-400 postingan saat itu," kata Travis. Pria berusia 52 tahun ini akhirnya memilih untuk mendengarkan radio polisi lokal Las Vegas dengan aplikasi di smartphonenya. "Saya langsung online dan mencari apa yang benar untuk menangani isu dan rumor ini," ujarnya.
Collen Seifert, seorang dosen di universitas Michigan, AS mengatakan bahwa orang salah mengartikan media sosial. "Orang terlalu lunak pada Facebook. Orang menganggap Facebook sebagai kurator berita. Tapi sejatinya, media sosial punya motif sendiri. Dengan banyaknya berita yang beredar, media sosial memastikan bahwa kamu tetap mengunjungi media sosial tersebut," ujarnya dilansir dari NYtimes.
foto: Merdeka
Hal ini diperparah oleh kelompok seperti Saracen yang berniat total untuk menyebarkan berita hoax. Dengan banyaknya berita yang beredar, warganet akan terpapar oleh bermacam-macan berita yang tidak jelas asalnya. Hal ini akan menyebabkan berita bohong bisa menjadi 'kebenaran' karena banyaknya berita yang mendukung.
Sebuah penelitian oleh Lada A. Adamic dan tim mengungkap bagaimana ideologi politik bisa berdampak pada jenis berita yang tampil di media sosial terutama Facebook. Peneliti dari universitas Michigan, AS ini mengatakan bahwa Facebook semakin menambah panas perdebatan politik di AS.
Modusnya adalah penggunaan algoritma berita yang disesuaikan oleh profil dari akun Facebook. Penelitian tahun 2015 itu mengambil sampel lebih dari 10 juta pengguna di AS yang melampirkan pandangan politiknya di profilnya. Hasil penelitian mengatakan bahwa berita yang ditampilkan dalam akun tersebut lebih mengarah terhadap berita yang mendukut pandangan politik tersebut. Berita yang berseberangan paparannya lebih diperkecil.
foto: Pixabay
Walhasil, warganet di AS hanya mendapat paparan berita yang sesuai dengan pandangan politik mereka tanpa berita pembanding. Jurnal yang diterbitkan di Science ini mengatakan warganet tersebut jadi lebih percaya berita tersebut walaupun pada akhirnya berita itu fiksi atau hoax.
Hal ini bisa diperparah dengan tidak adanya bukti langsung yang bisa jadi pegangan warganet. Berita fiksi atau hoax bisa menjadi kenyataan bagi mereka. "Jika saya tidak mempunyai pemindai polisi dan mendapatkan beritanya langsung, saya mungkin akan terjerumus di berita fiksi tersebut," ujar Travis.