Brilio.net - Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang dijuluki jembatan ke dunia kerja malah sering berakhir seperti peta usangmenyesatkan. Di tengah perubahan zaman, data menunjukkan lulusan SMK malah menjadi penyumbang terbesar angka pengangguran. Jelas ini sebuah ironi yang menyakitkan.
Ketidaksesuaian atau mismatch antara kurikulum SMK dan kebutuhan industri menjadi akar persoalan. Kurikulum yang bak kaset lama, tak sinkron dengan teknologi modern. Hanya melahirkan tenaga kerja yang tertinggal zaman. Bayangkan seorang koki belajar resep tanpa bahan masakan, itulah gambaran lulusan SMK yang dibekali teori tanpa pengalaman.
BACA JUGA :
Anggaran kesejahteraan guru naik Rp 16,7 triliun per tahun 2025, begini skema alokasinya
Bukan hanya kurikulum, kurangnya kolaborasi antara sekolah dan industri seperti membangun rumah tanpa peta arsitektur. Magang sering kali formalitas belaka, alih-alih menjadi ruang belajar keterampilan. Dunia industri berubah cepat, namun SMK tertatih-tatih mengejar.
Lulusan SMK penyumbang pengangguran terbesar di Indonesia
Angka pengangguran Indonesia per Agustus 2024 menurut Badan Pusat Statistik (BPS) menyentuh angka 7,74 juta. Dari jumlah itu, lulusan SMK kembali mencetak rekor sebagai penyumbang pengangguran terbesar dengan tingkat pengangguran terbuka (TPT) mencapai 9,01 persen.
Menurut informasi yang didapat Brilio.net, Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS, Ali Said, membuka fakta menarik. Dalam sebuah diskusi santai di Kantor Kemendikbudristek Jakarta pada Jumat (29/11), Ali mengungkapkan tiga jurusan SMK yang dominan menyumbang angka pengangguran tertinggi.
BACA JUGA :
Data BPS: Waktu tunggu lulusan SMK dapat panggilan kerja rata-rata lebih dari 1 bulan
Menurut Ali, juaranya adalah Teknik Otomotif. Posisi kedua, Teknik Komputer dan Informatika, dan ketiga, Teknik Mesin.
"Saya sampaikan juga bahwa ternyata ada yang pertama adalah Teknik Otomotif, yang kedua Teknik Komputer dan Informatika, yang ketiga Teknik Mesin," ujarnya.
Bukan tanpa alasan, jurusan-jurusan ini memang favorit para pelajar. Tapi ada ironi di sini. Ternyata tingginya minat tidak berbanding lurus dengan peluang kerja.
Ali juga menggarisbawahi masalah persaingan. Saat pelamar kerja bertarung memperebutkan posisi yang sama, lulusan perguruan tinggi sering kali diunggulkan.
"Bersaing dengan (tenaga kerja) dari perguruan tinggi di jurusan itu, yang mungkin lebih matang ya. Itu penyumbang pengangguran terbesar di SMK," ungkapnya.
Selain itu, Ali menyoroti isu mendasar. Banyak lulusan SMK tidak langsung tersalurkan ke dunia usaha atau industri. Ini seolah menggarisbawahi fakta bahwa ada jarak lebar antara pelajaran di sekolah dan kebutuhan nyata industri.
"Kalau apa yang diambil jurusan SMK tidak langsung disalurkan. Nah itu yang jadi tantangan," tambahnya.
Pernyataan ini diperkuat penelitian dalam Journal Innovation in Education berjudul Missmatch Industri Dan SMK. Penelitian ini menyoroti adanya missmatch alias ketidakcocokan antara pembelajaran di SMK dan kebutuhan industri.
Studi ini menemukan tiga masalah utama. Pertama, kurikulum SMK yang tertinggal dari kemajuan industri. Kedua, minimnya wawasan dunia kerja pada siswa. Ketiga, keterampilan praktis yang belum optimal.
foto: Pixabay.com
Kurangnya kolaborasi antara SMK dengan industri kerja
Menurut Journal Innovation in Education berjudul Missmatch Industri Dan SMK, salah satu penyebab utama dari ketimpangan ini adalah ketidaksesuaian antara kurikulum yang diterapkan di SMK dengan kebutuhan industri yang terus berkembang. Dunia industri berkembang begitu pesat, dengan kemajuan teknologi dan perubahan kebutuhan pasar yang terjadi hampir setiap saat.
Namun, kurikulum di banyak SMK sering kali masih menggunakan model yang kuno dan tidak responsif terhadap perubahan ini. SMK yang seharusnya menjadi lembaga yang mengedepankan keterampilan praktis, malah ketinggalan dalam hal mengajarkan teknologi terbaru yang dibutuhkan oleh industri. Ini menjadikan lulusan SMK tidak siap menghadapi tuntutan dunia kerja yang semakin dinamis.
Misalnya, saat industri sedang bergelut dengan kecerdasan buatan (AI), otomatisasi, dan digitalisasi, beberapa SMK masih mengajarkan keterampilan yang sudah tidak relevan lagi dengan kebutuhan pasar. Lulusan SMK yang tidak dibekali dengan pengetahuan terkini mengenai perkembangan teknologi, perangkat lunak, atau alat industri terbaru, tentu akan kesulitan dalam mencari pekerjaan yang sesuai dengan kompetensi mereka. Mereka seperti dibekali kendaraan tanpa mesin, hanya mampu berjalan perlahan tanpa daya saing.
Selain masalah kurikulum, kurangnya kolaborasi antara dunia pendidikan, khususnya SMK, dan dunia industri juga menjadi masalah besar. Untuk menciptakan lulusan yang siap kerja, diperlukan keterlibatan aktif dari industri dalam penyusunan kurikulum dan pelaksanaan program pendidikan di SMK.
Dikutip Brilio.net dari jurnal tersebut, Tanpa adanya kerjasama yang erat antara sekolah dan perusahaan, kurikulum yang diajarkan di SMK tidak akan relevan dengan kebutuhan industri. Banyak perusahaan yang mengeluh karena kesulitan menemukan tenaga kerja yang sesuai dengan kualifikasi yang mereka butuhkan, meskipun sebenarnya lulusan SMK memiliki keterampilan praktis yang bisa mereka manfaatkan.
Sayangnya, tidak semua SMK mampu menjalin kemitraan yang kuat dengan dunia industri. Banyak sekolah yang lebih fokus pada teori dan kurang memberikan pengalaman praktis yang dibutuhkan di lapangan. Misalnya, meskipun siswa SMK diharapkan sudah memiliki keterampilan teknis, kenyataannya banyak yang tidak memperoleh cukup pengalaman di industri atau bahkan tidak melakukan magang yang berarti.
Program magang di banyak SMK sering kali hanya menjadi rutinitas tanpa memberikan pengalaman yang berharga bagi siswa. Akibatnya, lulusan SMK merasa tidak siap untuk terjun ke dunia kerja dan harus memulai semuanya dari awal, padahal mereka seharusnya sudah dilatih dengan keterampilan yang relevan.
Selain masalah internal di dalam dunia pendidikan, persepsi masyarakat terhadap lulusan SMK juga memainkan peran penting dalam ketimpangan ini. Dalam banyak kasus, lulusan SMK masih dianggap "kecil" dibandingkan dengan lulusan perguruan tinggi.
Masyarakat sering kali menganggap bahwa lulusan perguruan tinggi memiliki potensi lebih besar untuk sukses di dunia kerja. Padahal, lulusan SMK sebenarnya memiliki keterampilan praktis yang sangat dibutuhkan oleh industri, tetapi sering kali tidak dihargai sesuai dengan kemampuan mereka.
Pernyataan ini diperburuk dengan fakta bahwa beberapa perusahaan lebih memilih untuk merekrut lulusan perguruan tinggi. Meskipun keterampilan praktis yang mereka butuhkan lebih sesuai dengan keterampilan yang dimiliki oleh lulusan SMK.
Sementara itu, banyak lulusan SMK yang akhirnya memilih untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi meskipun mereka sudah dibekali keterampilan yang seharusnya langsung bisa diterapkan di dunia kerja.
Fenomena ini menciptakan ketimpangan di pasar kerja, di mana lulusan SMK tidak mendapat tempat yang seharusnya mereka miliki, sementara lulusan perguruan tinggi sering kali tidak memiliki keterampilan praktis yang dibutuhkan oleh perusahaan.