Brilio.net - Kebutuhan akan pemerataan pendidikan berkualitas di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di daerah-daerah terpencil, masih menjadi tantangan besar. Salah satu faktor kunci adalah distribusi guru yang tidak merata. Di banyak daerah, terutama daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T), terdapat kekurangan guru yang signifikan.
Namun, di sisi lain, beberapa wilayah perkotaan memiliki jumlah guru yang berlebih. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan distribusi tenaga pendidik yang mempengaruhi kesempatan belajar anak-anak di daerah 3T.
BACA JUGA :
Daripada gonta-ganti kurikulum, anggota DPR ini minta Abdul Mu’ti fokus sejahterakan guru lebih dulu
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti menyoroti hal ini dan mengusulkan beberapa langkah untuk mengatasi permasalahan tersebut. Menurut Mu'ti, pemerataan distribusi guru membutuhkan upaya bersama dari berbagai pihak serta peninjauan beberapa regulasi yang relevan.
Dia menegaskan pentingnya memastikan anak-anak di seluruh wilayah Indonesia mendapatkan kesempatan yang sama dalam mengakses pendidikan berkualitas melalui penyebaran guru yang lebih merata.
BACA JUGA :
Dihapus Nadiem Makarim, sistem ranking siswa di sekolah bakal diterapkan kembali oleh Abdul Mu’ti?
foto: Instagram/@abe_mukti
Abdul Mu'ti menyadari bahwa kebijakan yang terkait dengan distribusi guru masih menghadapi berbagai kendala, terutama dalam hal regulasi. Ia menyebutkan bahwa permasalahan ini melibatkan regulasi penempatan guru, khususnya yang berkaitan dengan guru berstatus Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Pemerintah telah membuat beberapa kebijakan terkait, namun implementasi di lapangan masih terhambat oleh regulasi yang saling bersinggungan. Misalnya, Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Undang-Undang Otonomi Daerah terkadang memiliki ketentuan yang kurang sinkron, sehingga menyulitkan proses penempatan guru sesuai kebutuhan daerah.
Abdul Mu'ti juga menyampaikan bahwa ada perdebatan mengenai undang-undang mana yang seharusnya menjadi rujukan utama untuk menata distribusi guru di Indonesia. Pada satu sisi, UU ASN memberikan kerangka kerja bagi pegawai pemerintah, termasuk guru. Di sisi lain, UU Sistem Pendidikan Nasional juga berperan dalam menentukan standar dan kebutuhan pendidikan. Ketidakselarasan ini membuat distribusi guru tidak dapat dilakukan secara optimal.
Mendikdasmen menyadari bahwa tantangan distribusi guru tidak hanya soal jumlah, tetapi juga keinginan guru untuk mengabdi di daerah terpencil. Menurutnya, hal ini berkaitan erat dengan kesejahteraan guru dan fasilitas pendukung yang disediakan. Jika kesejahteraan dan fasilitas yang memadai bisa dijamin, diharapkan semakin banyak guru yang bersedia ditempatkan di daerah 3T. Dalam hal ini, pemerintah pusat dan daerah perlu saling mendukung untuk memastikan kesejahteraan guru dan akses ke fasilitas yang layak bagi mereka yang ditempatkan di daerah terpencil.
bbfoto: Instagram/@abe_mukti
Sementara itu, anggota Komisi X DPR, Ratih Megasari Singkarru, menekankan bahwa masalah distribusi guru di daerah-daerah terpencil harus menjadi prioritas. Ia menyatakan bahwa persoalan distribusi tidak sekadar soal jumlah guru, tetapi juga mencakup aspek kesejahteraan yang dirasakan guru ketika ditempatkan di daerah-daerah tersebut.
Menurut Ratih, banyak guru merasa enggan untuk ditempatkan di daerah terpencil karena fasilitas dan tunjangan yang diberikan tidak sebanding dengan pengorbanan yang mereka lakukan. Ia menambahkan bahwa dalam kondisi ini, guru tidak hanya membutuhkan dukungan finansial, tetapi juga dukungan infrastruktur dan layanan sosial yang layak.
Ratih berharap agar pemerintah dapat menyiapkan skema insentif khusus bagi guru yang bersedia mengabdi di daerah terpencil. Dengan insentif yang tepat, lebih banyak guru diharapkan akan termotivasi untuk mengajar di daerah yang sebelumnya enggan mereka tempati. Selain itu, ia juga menekankan perlunya perbaikan fasilitas di daerah 3T untuk meningkatkan kualitas hidup guru yang ditempatkan di sana. Jika guru merasa sejahtera dan didukung, maka penempatan di daerah-daerah tersebut dapat berlangsung dengan lebih efektif.
Untuk jangka panjang, Abdul Mu'ti mengusulkan strategi yang mencakup tidak hanya perubahan kebijakan, tetapi juga peningkatan kesejahteraan guru secara menyeluruh. Selain memprioritaskan distribusi guru PPPK, pemerintah juga perlu mempertimbangkan sistem zonasi pendidikan yang lebih efisien. Zonasi yang lebih fleksibel memungkinkan pemerintah untuk menempatkan guru di daerah yang benar-benar membutuhkan tanpa terbentur batasan administratif.
Pendekatan lain yang diusulkan adalah program pelatihan dan peningkatan kualitas guru secara terarah. Guru yang ditempatkan di daerah terpencil akan mendapatkan pelatihan yang disesuaikan dengan kebutuhan lokal, termasuk kemampuan mengajar di daerah dengan fasilitas terbatas. Pelatihan ini diharapkan dapat meningkatkan kompetensi guru dalam menghadapi tantangan yang ada di daerah terpencil, sekaligus meningkatkan kualitas pendidikan di daerah tersebut.