Brilio.net - Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menggelar rapat panitia kerja (panja) terkait revisi Undang-Undang (RUU) Pilkada. Rapat ini diadakan hanya sehari setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai Pilkada diumumkan. Keputusan tersebut memungkinkan partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD untuk tetap mengusung calon dalam Pilkada, sebuah perubahan signifikan dalam aturan yang ada.
Langkah cepat DPR melalui Baleg ini menimbulkan banyak pertanyaan, salah satunya adalah apakah DPR berusaha mengakali atau bahkan menganulir putusan MK? Mengingat putusan MK bersifat final dan mengikat, banyak pakar hukum yang angkat bicara mengenai kemungkinan ini.
BACA JUGA :
Kakistokrasi adalah pemerintah yang bobrok, kenali istilahnya dalam memahami situasi politik Indonesia
Simak informasinya dihimpun brilio.net dari berbagai sumber pada Rabu (21/8).
Bisakah putusan MK dianulir oleh DPR?
foto: Unsplash.com
BACA JUGA :
Ramai peringatan darurat berlambang Garuda biru di media sosial, ini maknanya
Pakar hukum tata negara dari Universitas Padjadjaran, Susi Dwi Harijanti, menjelaskan bahwa putusan MK tidak dapat dianulir atau diubah melalui revisi undang-undang yang telah dibatalkan MK. Menurut Susi, putusan MK bersifat final dan harus dipatuhi oleh semua pihak, termasuk DPR, Presiden, hingga Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal ini sesuai dengan amanat UUD 1945 yang menjelaskan bahwa putusan MK adalah hukum yang harus diikuti.
Lebih lanjut, Susi menegaskan bahwa upaya DPR yang mendadak menggelar rapat untuk membahas revisi UU Pilkada dapat dikategorikan sebagai tindakan yang menyalahi hukum demi kepentingan politik. Tindakan semacam ini, menurut Susi, menunjukkan adanya kepentingan tertentu yang mencoba untuk mengabaikan prinsip negara hukum yang seharusnya dipegang teguh oleh setiap komponen bangsa.
Sementara itu, Abdul Fickar Hadjar, pakar hukum dari Universitas Trisakti, memberikan pandangan serupa. Menurutnya, putusan MK tidak bisa dianulir, terutama jika bertentangan dengan undang-undang. Dia menyatakan bahwa tindakan yang bertentangan dengan putusan MK tidak sah dan bisa dibatalkan oleh pengadilan.
Dalam wawancara dengan Merdeka.com, Fickar menegaskan bahwa setiap keputusan yang bertentangan dengan MK sama artinya dengan melanggar hukum dan tidak memiliki kekuatan yang sah di mata hukum.
foto: Unsplash.com
"Enggak bisa (dianulir) jika bertentangan dengan putusan MK, sama dengan bertentangan dengan UU. Maka perbuatannya tidak sah dan dapat dibatalkan pengadilan," kata Abdul Fickar dikutip brilio.net dari Merdeka, Rabu (21/8).
Senada dengan Fickar, Ujang Komarudin, pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, menambahkan bahwa putusan MK sudah final dan mengikat, sehingga tidak bisa diganggu gugat, diakali, atau disiasati oleh pihak manapun, termasuk DPR. Menurut Ujang, rapat Baleg yang digelar setelah putusan MK kemungkinan besar lebih ditujukan untuk membahas pasal-pasal lain yang lebih strategis dalam menyongsong Pilkada ke depan, bukan untuk mengubah putusan MK yang sudah final.
"Kalau saya melihatnya bukan untuk menyiasati atau mengakali putusan MK, karena putusan MK itu sudah final dan mengikat, tidak bisa diganggu gugat, tidak bisa dibolak-balik, tidak bisa diakali, tidak bisa disiasati. Mungkin ya rapat Baleg itu akan merevisi hal-hal, pasal-pasal lain, poin-poin lain yang lebih strategis untuk menatap Pilkada ke depan," ujar Ujang.
Menurut Ujang, jika DPR mencoba untuk membatalkan atau merevisi putusan MK, hal itu bisa disebut sebagai kanibalisme hukum, sesuatu yang tidak dikenal dalam konstruksi hukum di Indonesia. Negara hukum, seperti yang dianut Indonesia, mengharuskan semua pihak untuk mematuhi putusan MK tanpa kecuali. Oleh karena itu, setiap upaya untuk menganulir putusan MK dianggap sebagai tindakan yang melawan prinsip-prinsip dasar negara hukum.
foto: Unsplash.com
"Dan tidak dikenal dalam konstruksi hukum Indonesia, kalau kita mengangut negara hukum, maka putusan MK itu final dan mengikat yang harus dipatuhi semua komponen bangsa termasuk DPR dan Pemerintah," tegasnya.
Keputusan DPR melalui rapat Baleg ini memicu perdebatan yang cukup sengit di kalangan praktisi hukum dan politik. Meskipun sebagian besar fraksi di DPR, kecuali PDI-P, menganggap putusan MK dan Mahkamah Agung (MA) sebagai dua opsi yang sama-sama bisa diadopsi, pandangan dari para pakar hukum menegaskan bahwa putusan MK harus dihormati dan dilaksanakan tanpa pengecualian.
Apapun langkah yang diambil oleh DPR, perlu diingat bahwa dalam negara hukum, putusan MK adalah akhir dari segala perdebatan hukum yang ada, dan seharusnya tidak ada celah untuk membatalkannya melalui proses politik atau legislasi.
Dengan demikian, meskipun DPR memiliki kekuasaan legislatif yang cukup besar, putusan MK tetap berada di puncak hierarki hukum Indonesia. Setiap usaha untuk menganulir atau mengubah putusan MK melalui revisi undang-undang hanya akan berujung pada konflik hukum yang pada akhirnya merugikan prinsip negara hukum yang kita junjung bersama.