Brilio.net - Masalah plagiarisme yang melibatkan dosen sejarah UGM, Sri Margana, masih jadi sorotan. Terlebih lagi, Peter Carey, sejarawan yang karyanya diduga dijiplak dalam buku Sri Margana, mengaku tidak mendapat respons apapun dari pihak Universitas Gadjah Mada (UGM).
"Tidak, tidak ada korespondensi atau kontak apapun," kata Peter Carey kepada Brilio.net melalui pesan singkat.
BACA JUGA :
Drama kasus plagiat tim dosen sejarah UGM VS Peter Carey, ketika kampus sulit mengakui plagiarisme
Kalimat singkat ini menjadi tanggapan Carey terhadap laporan tim ad hoc UGM yang mengklaim tidak ada plagiarisme dalam karya Sri Margana.
Masalah ini berawal dari dua buku yang diterbitkan oleh UGM: Madiun: Sejarah Politik dan Transformasi Kepemerintahan dari Abad XIV ke Abad XXI dan Raden Rangga Prawiradirdja III Bupati Madiun 1796-1810: Sebuah Biografi Politik. Kedua buku ini dianggap mencuri sebagian besar isi dari buku Kuasa Ramalan milik Peter Carey yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).
BACA JUGA :
Tak ada permintaan maaf UGM dalam pembuktian kasus plagiat, tuntutan Peter Carey tak dipenuhi
foto: Facebook/ Peter Carey
Meski pihak UGM terus membantah adanya pelanggaran hak cipta, mereka justru menyetujui permintaan KPG untuk menarik dan memusnahkan dua edisi pertama buku Madiun dan edisi pertama biografi Rangga. Hal inilah yang memicu pertanyaan besar dari Peter Carey, jika memang tak ada plagiarisme, mengapa UGM setuju dengan permintaan KPG?
"UGM terus mempertahankan narasi bahwa tidak ada pelanggaran hak cipta atau plagiarisme yang terjadimeskipun mereka menyetujui permintaan KPG agar dua edisi pertama buku Madiun dan edisi pertama biografi Rangga dimusnahkan. Jika tidak ada plagiarisme yang terjadi, mengapa mereka setuju dengan permintaan KPG ini?" kata Peter Carey kepada Brilio.net.
Menurut Peter, jika UGM benar-benar serius menangani isu ini, seharusnya mereka mengakui adanya pelanggaran hak cipta dan meminta maaf dalam proses mediasi yang berlangsung pada Februari 2020 lalu. Menurutnya, ketidaksesuaian antara klaim UGM dan fakta yang ada hanya menambah kebingungan dan merusak citra universitas.
"Jika seperti yang diklaim UGM, buku-buku yang dimaksud adalah "dummy" dan bukan untuk sirkulasi umum, mengapa buku Madiun tercetak dua kali (September 2017 dan Juni 2018) dan diluncurkan secara resmi di Madiun pada 14 November 2017 seperti yang dilaporkan oleh Surabaya TribunNews pada tanggal yang sama?" ungkap Peter Carey kepada Brilio.net.
Ketidakcocokan antara klaim UGM dan fakta yang ada menimbulkan keraguan dan kebingungan mengenai status asli dari buku tersebut, yang seharusnya bisa dijelaskan dengan lebih transparan untuk menghindari persepsi negatif terhadap institusi yang terlibat.
"Mengapa buku-buku tersebut juga tersedia untuk dibeli secara online hingga Februari 2020, saat masalah plagiarisme pertama kali diangkat oleh KPG? Fakta bahwa UGM baru melakukan revisi setelah masalah plagiarisme muncul tidak menambah kepercayaan pada kejujuran atau itikad baik mereka," tandas Peter Carey pada Brilio.net.
Di sisi lain, tim ad hoc UGM yang melakukan investigasi mengenai kasus ini akhirnya mengeluarkan pernyataan resmi yang membantah tuduhan plagiarisme. Dalam rilis pers yang diterima oleh Brilio.net, tim ad hoc UGM menyatakan bahwa pengutipan dalam kedua buku tersebut sudah mencantumkan sumber secara lengkap sesuai dengan kaidah ilmiah, sehingga tidak ada pelanggaran hak cipta.
"Pengutipan ini sudah mencantumkan sumber secara lengkap sesuai kaidah ilmiah, sehingga tuduhan plagiasi dinilai tidak terbukti," tulis tim ad hoc dalam rilis pers mereka.
Meskipun tuduhan plagiarisme dibantah, tim ad hoc juga menemukan adanya potensi pelanggaran etik terkait dengan kepatutan dalam pengutipan. Meski kutipan yang digunakan sudah mencantumkan sumber dengan tepat, panjangnya kutipan yang diambil dari karya Peter Carey dianggap terlampau banyak, sehingga berpotensi melanggar etika akademik.
"Pengaturan rinci soal ini belum ada di Permendikbud yang berlaku saat buku diterbitkan, sehingga penggunaan kutipan panjang dianggap masih sesuai dengan regulasi yang ada pada waktu itu," ujar mereka dalam keterangan pers.
Jadi, meski tidak ada plagiarisme, masalah etika akademik terkait panjangnya kutipan tetap dianggap menjadi persoalan yang perlu diperhatikan. Jelas ini mengundang pertanyaan lebih lanjut mengenai bagaimana standar pengutipan yang berlaku di Indonesia. Apakah memang ada celah yang bisa dimanfaatkan oleh penulis atau penerbit untuk melanggar etika tanpa melanggar aturan hukum yang berlaku?
Brilio.net mengonfirmasi kepada Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Setiadi, terkait hasil temuan tim ad hoc apakah sudah diteruskan kepada Peter Carey. Namun, Setiadi melalui pesan singkat tidak merespons pertanyaan tersebut.
"Sikap resmi kami adalah seperti apa yang dijelaskan dalam press release. terima kasih," tulis Setiadi melalui pesan singkat kepada Brilio.net.