Brilio.net - Sistem pendidikan formal di Indonesia selama ini cenderung menekankan pada hafalan dan penguasaan materi teoritis. Dalam berbagai ujian dan tes, kemampuan mengingat informasi sering kali menjadi indikator keberhasilan siswa. Namun, pendekatan ini semakin dipertanyakan di era dewasa ini. Apalagi saat ini Indonesia telah berganti kurikulum berkali-kali. Apakah sekadar menghafal pelajaran benar-benar mempersiapkan siswa untuk menghadapi tantangan di dunia nyata?
Banyak pakar pendidikan kini mengusulkan agar sistem pendidikan lebih menekankan pengalaman langsung sebagai cara terbaik untuk memahami dan mengaplikasikan pengetahuan. Dengan melibatkan siswa dalam proses belajar melalui pengalaman nyata, hasil yang diperoleh jauh lebih signifikan dibandingkan dengan sekadar mengingat informasi tanpa pemahaman mendalam.
BACA JUGA :
Curhat mentor perusahaan heran lihat anak SMK administrasi perkantoran tak bisa berhitung, bikin miris
Salah satu akademisi yang juga mengusulkan sistem pendidikan berbasis pengalaman adalah Direktur Akademi Inovasi Indonesia, Wikan Sakarinto, Ph.D. Melalui seminar Green Economy-Green Job: Tantangan Dan Solusi Untuk Indonesia yang diikuti brilio.net pada Jumat (4/10), Wikan memaparkan usulannya terkait cara mendidik yang terbaik.
Ia menggagas istilah teaching factory yang menekankan pada praktik riil para pembelajar untuk menghadapi tantangan di dunia kerja. Metode ini menekankan pada keterampilan pelajar untuk menghasilkan produk riil dan proses belajar berdasarkan tantangan nyata bak di dunia kerja.
BACA JUGA :
Kenapa membaca buku cetak lebih berkesan dibanding e-book? Ternyata begini alasannya
Foto: brilio.net/istimewa
Model pembelajaran ini berarti menerapkan pembelajaran yang menitik beratkan pada softskill, kemampuan berkomunikasi, problem solving dan lain sebagainya. Pasalnya, jika hanya dipelajari melalui pembelajaran dalam kelas, pendidikan softskill dan karakter tanpa praktik langsung hanya omong kosong baginya.
Softskill dan karakter itu tidak bisa diajarkan di kelas. Meng-create soft skills, kemampuan komunikasi, kemampuan berkreasi, problem solving, menurut saya itu cuma omon-omon kalau diajarkan di kelas, dan tidak dihadapkan pada tantangan nyata, ungkap Wikan.
Menurut Wikan, sistem pendidikan di Indonesia selama ini umumnya menjadikan dosen dan mata kuliah sebagai center point. Artinya ilmu terpusat pada pembelajaran yang terjadi di kelas. Padahal, menurutnya, cara terbaik untuk memasukkan ilmu adalah dengan aplikasi langsung. Pelajar seharusnya belajar dengan cara mengalami langsung dan menghubungkannya dengan teori yang dipelajari.
Mendidik itu sesimpel The best way to learn is to experience, cara terbaik belajar ya harus mengalami. Diberi tantangan nyata tapi tetap membuka buku, membuka tutorial, tapi kembali ke proyek nyata, katanya.
Foto: brilio.net/istimewa
Baginya, kurikulum pendidikan sudah seharusnya menjadi agregasi dari adanya produk riil, baik yang tangible maupun intangible. Pendekatan ini dinilainya lebih efektif dalam melahirkan sumber daya manusia siap kerja. Pembelajaran berbasis pengalaman mempersiapkan siswa untuk menghadapi perubahan dengan keterampilan praktis yang dapat langsung diterapkan, daripada sekadar mengandalkan ingatan saja.
Dengan adanya Kurikulum Merdeka saat ini, diharapkan para pengajar mengubah mindset dari guru menjadi tutor atau bahkan pelatih. Kurikulum ini menekankan pada project based learning yang mendorong siswa untuk belajar melalui proyek dan penelitian, di mana mereka terlibat langsung dalam pengumpulan data, analisis, dan presentasi hasil.
Namun, penerapan metode ini masih perlu diperluas agar manfaatnya dapat dirasakan oleh lebih banyak siswa. Kurikulum perlu dirancang sedemikian rupa sehingga siswa diberi kesempatan lebih banyak untuk terlibat dalam aktivitas praktis yang relevan dengan kehidupan nyata.