Brilio.net - Ada yang menarik ketika pementasan Bunga Penutup Abad di Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki, Jumat pekan lalu. Ratusan milenial memadati ruangan pementasan sejak sore hari. Pementasan ini diperankan Reza Rahardian yang berperan sebagai Minke, Chelsea Islan (Annelies Melleme), Lukman Sardi (Jean Marais), Marsha Timothy (Nyai Ontosoroh), dan si kecil pemain berbakat Sabia Arifin sebagai May.
Lakon ini mengisahkan tentang perjuangan Nyai Ontosoroh, sosok yang diangkat dari gabungan tetralogi Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Jelas ini bukan novel roman picisan.
BACA JUGA :
Salah kaprah soal tari Aceh di AG 2018, ini beda Saman & Ratoeh Jaroe
Nyai Ontosoroh aslinya bernama Sanikem. Saat berusia 14 tahun ia dijual oleh ayah kandungnya yang seorang juru tulis di pabrik gula Tulangan, Sidoarjo. Sang ayah menjual Sanikem kepada seorang Belanda bernama Herman Mellema untuk mendapatkan jabatan yang diinginkan. Belakangan Sanikem dijadikan gundik oleh Mellema. Sejak itulah ia terpaksa mendapat julukan Nyai.
Karya-karya Prambegitu Pramoedya Ananta Toer biasa disapaadalah kisah-kisah serius dan sarat makna perlawanan. Boleh jadi dianggap sebagai bacaan berat oleh generasi milenial. Terlepas dari pandangan politiknya, Pram adalah salah satu sastrawan besar yang dimiliki Indonesia. Karya-karyanya banyak yang sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa.
BACA JUGA :
Indonesia dalam mimpi dan nyata ala Paundrakarna
Lantas mengapa sekelompok milenial begitu penasaran dengan teater besutan Titimangsa Fondation dengan sutradara dan penulis naskah Wawan Sofwan ini? Apalagi pementasan ini berjalan tanpa jeda babak dan berlangsung hampir tiga jam. Lalu mengapa penonton milenial diam dan tidak bosan?
Tentu saja bukan perkara gampang mengalihwahanakan cerita dari novel diangkat ke panggung teater. Apalagi, karya sastra Pram ini berbeda era dengan generasi kebanyakan milenial. Terlebih, cerita yang diangkat bukan sesuatu yang aktual. Novel Pram terbit pada 1975. Berkisah tentang masa penjajahan.
Menjejali milenial dengan kisah sejarah tentu juga bukan perkara mudah. Milenial lebih memilih berpikir masa depan. Tapi, pementasan Bunga Penutup Abad mampu menyuguhkan kisah sejarah dari sisi lain. Apakah selera sebagian milenial sudah bergeser?
Boleh jadi ini disebabkan kemampuan sang sutradara dan penulis naskah Wawan Sofwan yang mampu mengaliwahanakan bagian-bagian penting dua novel Pram tadi untuk keperluan pementasan. Hanya pokok-pokok cerita saja yang dipilih. Jika harus menerjemahkan dua novel Pram yang begitu tebal menjadi sebuah adegan utuh, mungkin butuh durasi waktu yang jauh lebih panjang.
Yang cukup menarik, cerita dari kedua novel itu diramu dalam bentuk pembacaan surat dan visualisasi. Peran teknologi yang diletakkan pada latar panggung menjadi penting. Judul Bunga Penutup Abad muncul dari satu adegan ketika Minke (Reza Rahardian) bertemu dengan sahabatnya, Jean Marais yang seorang pelukis. Minke diminta melihat hasil lukisan Annelies dan memberinya judul.
Lukisan ini harus selesai. Siapa tahu. Ya, siapa tahu, pada suatu kali akan sampaijuga ke Louvre? Apa kiranya nama lukisan ini nanti, Minke?
Bunga Penutup Abad, Jean.
Jean Marais terdiam sejenak. Kemudian matanya berbinar.
Nama itu memberi pikiran baru padaku. Kalau begitu latar belakang dan kilatmatanya harus disesuaikan.... karena dia harus berkisah tentang abad yang lewat, ucap Jean lagi.
Nama Bunga Penutup Abad diambil dari satu peristiwa dalam novel Anak Semua Bangsa. Cerita Bunga Penutup Abad berputar pada kisah Annelies sebagai anak peranakan Indo (Belanda dan pribumi). Ia harus terasing dari tanah kelahirannya, Hindia Belanda. Annelies adalah istri Minke yang seorang pribumi Jawa.
Memang penampilan Annelies dalam pementasan ini tidak sedominan Minke dan Nyai Ontosoroh. Namun konflik dan peristiwa dalam lakon ini justru terbangun karena eksistensi Annelies. Dalam pementasan Bunga Penutup Abad cerita berpusat pada Minke dan Nyai Ontosoroh sepeninggal Annelies.
Mereka berdua membaca satu per satu surat yang dikirimkan Robert Jan Dapperste yang kemudian mengganti namanya menjadi Panji Darman. Dia pegawai Nyai Ontosoroh yang diminta untuk menemani kemana pun Annelies pergi.
Panji Darman selalu mengirim surat kepada Minke dan Nyai Ontosoroh yang mengisahkan tentang keberangkatan Annelies dari pelabuhan Surabaya menuju Belanda. Surat-surat itu bercap pos dari berbagai kota tempat singgahnya kapal yang ditumpangi Annelies dan Panji. Minke selalu membacakan surat-surat itu pada Nyai Ontosoroh.
Sedikitnya ada lima surat yang dikirimkan Panji. Surat pertama mengabarkan mereka berada di atas kapal dari Surabaya menuju Betawi. Dalam surat itu Panji menceritakan bagaimana Annelies ditempatkan di ruang khusus di bawah pengawasan dokter kapal.
Selesai sudah semuanya, ucap Minke yang kemudian tertunduk setelah membacakan surat pertama itu.
Kemudian Nyai Ontosoroh memandang tajam Minke.
Memang sudah selesai dengan kekalahan kita, Nak, Nyo. Tetapi kita telah melawan, Nak, dengan sekuat-kuatnya, sehormat-hormatnya.
Iya, Ma. Semoga Ir Maurits Mellema bisa menjadi wali yang baik bagi Ann, tandas Minke.
Aku tidak yakin, Nyo. Dialah yang menjadi penyebab ini semua. Dulu dia mengungkit-ungkit soal dosa darah. Sekarang dia ambil hasil dosa darah itu. Dulu kukira dia seorang nabi yang suci.
Kutipan itulah yang langsung dikeluarkan dalam pembuka pertunjukan. Awal yangsuksesuntukmenggiring penonton masuk ke dalam kekuatan cerita.
Lalu surat kedua dikirim dari Singapura yang mengabarkan Annelies dikawal seorang juru rawat wanita. Kemudian surat ketiga dikirim dari Colombo mengabarkan keadaan Annelies yang semakin buruk meski Panji turut merawatnya.
Surat keempat datang dari Amsterdam yang mengabarkan keadaan Annelies bertambah buruk. Pada akhir surat Panji menyampaikan pesan Annelies yang menyuruhnya untuk bersahabat dengan suaminya (Minke). Sedangkan surat kelima mengabarkan dari Amsterdam yang menyebutkan Annelies dijemput perawat dan wanita tua yang berpakaian serba hitam. Annelies dibawa dengan kereta kuda ke Huizen.
Annelies ditempatkan di kamar loteng, sebuah kamar sempit berbau jerami. Terakhir, Nyai Ontosoroh dan Minke menerima telegram tentang kematian Annelies di Belanda. Minke yang dilanda kesedihan kemudian meminta izin pada Nyai Ontosoroh untuk pergi ke Batavia melanjutkan sekolah menjadi dokter. Ke Batavia, Minke membawa serta lukisan potret Annelies karya Jean Marais itu.
Peristiwa-peristiwa itulah yang diperagakan lewat pembacaan surat dalam pementasan ini. Adegan demi adegan ditampilkan dalam format kini dan masa lalu (flasback) mengenai kehidupan Annelies.
Sebenarnya kisah cinta antara Minke dan Annelies yang terpisahkan karena status hukum merupakan tema universal. Kisah cinta yang tak kesampaian ini adalah tema abadi yang bisa dinikmati siapa saja. Boleh jadi ini juga yang menjadi jawaban mengapa milenial ingin tahu cerita lakon ini.