1. Home
  2. »
  3. Serius
29 Oktober 2024 18:15

Buntut karangan bunga satir, begini pendapat pakar soal upaya dekan membekukan BEM FISIP Unair

Masihkah kampus menjadi ruang kebebasan berpendapat? Farika Maula

Brilio.net - Upaya pembekuan yang sempat dilakukan dekan kepada Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FISIP Universitas Airlangga (Unair), hingga saat ini masih mencuri perhatian publik. Mulai dari akademisi hingga komentator politik kondang Indonesia satu per satu mulai bersuara.

Karangan bunga yang dihiasi kata-kata satir menjadi sebuah aksi yang memancing pro dan kontra di kalangan masyarakat luas. Bukan tanpa alasan, karangan bunga yang berisi ucapan selamat kepada Presiden dan Wakil Presiden RI dengan tulisan satir ini dinilai kurang pantas dan tidak etis.

BACA JUGA :
Rocky Gerung: Karangan bunga satir BEM FISIP Unair upaya menghidupkan demokrasi


foto: X/@bemfisipunair

Dosen Prodi Ilmu Sejarah, Fakultas FISHIPOL UNY, Ilmiawati Safitri, menyatakan bahwa apa yang dikritik oleh BEM Unair bukanlah sekadar olok-olok kosong.

BACA JUGA :
100 Kata-kata Rocky Gerung penuh makna dan visioner

"Apa yang dituliskan oleh BEM Unair itu fakta dan nyata benar adanya. Akan tetapi banyak masyarakat kita yang tutup mata, atau beberapa menampik akan fakta itu," ujar koordinator bidang mahasiswa tersebut kepada Brilio.net.

Sebagai ungkapan-ungkapan yang mengandung satir bukanlah tanda kebencian, namun lebih sebagai cara untuk menyuarakan kebenaran di tengah masyarakat yang cenderung pasif.

"Satire dianggap tidak beretika, padahal itu hanya ekspresi tajam dari pemuda yang kritis," lanjutnya kepada Brilio.net.

Sementara itu Rocky Gerung, seorang filsuf dan komentator politik, turut memberikan pandangannya. Menurutnya, kritik adalah naluri yang sudah tertanam di dalam benak para mahasiswa untuk menentang kekuasaan yang terlalu dominan.

"Sebetulnya ada semacam epistem di dalam benak mereka bahwa semua hal yang berbau kekuasaan itu adalah sasaran kritik," kata Rocky melalui akun YouTube-nya.

Ia menambahkan, "Di universitas, mahasiswa dilatih untuk berpikir kritis, tetapi ironisnya, mereka kini menghadapi larangan untuk mengekspresikan kritik tersebut. Ini adalah bentuk paradoks yang nyata, di mana kampus yang seharusnya menjadi tempat bebas berpikir justru membatasi kebebasan itu."

Demokrasi yang Kian Tumpul di Ranah Kampus

Ilmiawati menambahkan bahwa upaya membekukan BEM seperti ini merupakan gejala dari adanya pengaruh besar yang mengarahkan generasi muda untuk bungkam.

"Tujuan pusat jelas, membuat generasi muda tumpul, tidak kritis," ujar Ilmi kepada Brilio.net.

Melalui kontrol yang diperketat, generasi ini diarahkan untuk menghindari tindakan-tindakan kritis yang dinilai sebagai pemberontakan.

Pentingnya mahasiswa yang kritis, menurut Ilmiawati, juga dipupuk dari kebebasan intelektual dalam proses belajar.

"Aku minta mahasiswa kritis, melek berita, melek bacaan sejarah," jelasnya. Seminar-seminar seperti Politik Dinasti: Dalam Perspektif Sejarah dan Dampaknya pada Demokrasi sangat penting untuk membuka cakrawala mereka terhadap situasi politik yang ada," ujarnya pada Brilio.net.

Di sisi lain, Rocky Gerung berpendapat bahwa pengekangan seperti ini mengingatkan pada teori disciplinary society yang digagas oleh Michel Foucault.

"Kita sedang melihat upaya pendisiplinan yang membatasi kebebasan berpendapat di dalam universitas," ujarnya.

Ia menggambarkan bagaimana langkah ini adalah sebuah tanda bahwa universitas bukan lagi tempat diskusi bebas, tetapi tempat gagasan dan tindakan mahasiswa diawasi dan dikontrol.

Menurut Rocky, upaya untuk membungkam mahasiswa justru mencerminkan kembalinya kekuasaan yang mengarah pada bentuk otoritarianisme baru.

"Dekan atau rektor membubarkan BEM di Unair itu jadi penanda bahwa Indonesia sedang berada di depan pintu gerbang new kind of authoritarianism," jelasnya.

Bagi Ilmiawati, kebebasan untuk bersuara, meski dengan cara yang tajam, seharusnya menjadi bagian dari hak mahasiswa.

"Ketika demokrasi diinjak, masyarakat kita dianggap boneka yang tidak tahu apa-apa. Lalu, harusnya kita melawan," katanya kepada Brilio.net tegas.

Kekhawatiran akan hilangnya simbol demokrasi di kampus juga diungkapkan oleh Rocky. Menurutnya, para rektor yang seharusnya mendukung kebebasan akademik malah berfungsi sebagai alat pengendali.

"Jika kita lihat di awal 80-an atau 90-an, istilah Ideological State Apparatuses sering dipakai untuk menggambarkan peran institusi sebagai alat negara. Di sini, rektor dan dekan berperan seperti itu, sebagai aparatur negara yang menjaga ideologi tertentu," ujarnya.

Rocky menambahkan bahwa satir yang disampaikan mahasiswa sebenarnya justru menjadi nafas dari demokrasi itu sendiri.

foto: Brilio.net/Farika Maula

"Sebenarnya tulisan, demonstrasi, satire, post, dan segala macam itu adalah yang menghidupkan demokrasi kita," jelasnya.

Namun, saat demokrasi di kampus perlahan padam, kritik yang diutarakan justru dianggap sebagai ancaman.

Dalam kasus ini Ilmiawati dan Rocky sepakat bahwa gerakan mahasiswa bukan sekadar aksi tanpa makna. Di dalamnya terkandung upaya untuk menjaga demokrasi dan kebebasan berpendapat. Ilmiawati, yang juga membimbing himpunan mahasiswa di kampusnya, menekankan pentingnya peran pengajar dalam memupuk pikiran kritis mahasiswa.

"Mahasiswa itu harus bebas mengemukakan pendapatnya selama mereka paham batasannya," jelasnya pada Brilio.net.

Sementara itu, Rocky menggambarkan situasi ini sebagai refleksi dari sejarah panjang perjuangan intelektual di Indonesia.

"Peristiwa ini tidak bisa dianggap remeh. Kejadian di BEM Unair dan kampus-kampus lain adalah bagian dari takdir historis kita untuk terus melanjutkan kritik terhadap kekuasaan," katanya.

Menurut Rocky, kritik mahasiswa adalah nyawa dari demokrasi yang seharusnya dirawat, bukan dibatasi.

"Aura pendisiplinan ini hanya mempersempit ruang gerak mahasiswa, dan jika diteruskan, akan mengerdilkan kampus sebagai tempat lahirnya gagasan-gagasan besar," tegasnya.

SHARE NOW
EXPLORE BRILIO!
RELATED
MOST POPULAR
Today Tags