Brilio.net - Sebagai perantau di kota pelajar, ada banyak hal yang perlu dipersiapkan Muzadi dan Ahmad Bisyri, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, saat pertama kali datang di Yogyakarta. Salah satunya soal hunian. Muzadi datang sebagai mahasiswa bersahaja yang tak pengin membebani finansial kedua orang tua. Sementara itu, Ahmad datang sambil terus mengingat wasiat almarhum bapaknya.
BACA JUGA :
Bingung cari kerja, mahasiswa ini ubah kecintaannya pada kucing jadi untung jutaan rupiah
foto: Dokumentasi pribadi/Ahmad Bisyri
Nanti kalau di Jogja jangan ngekos, mondok (tinggal di pesantren) aja, kata Ahmad, sambil menirukan perkataan mendiang orang tuanya, saat diwawancarai brilio.net pada Rabu (10/1).
Kedua motif itu lantas dipersatukan oleh Masjid UIN Sunan Kalijaga, yang secara berkala membuka rekrutmen takmir sekaligus menyediakan tempat tinggal gratis. Sejak itu, selain berkuliah, aktivitas masjid tak pernah lepas dari hidupnya.
BACA JUGA :
Mengintip kisah juang para mahasiswa "burung hantu", minim tidur demi cuan
Jarak dan biaya jadi alasan untuk menetap di masjid kampus.
foto: Dokumentasi pribadi/Ahmad Bisyri
Sambil terus mengingat wasiat almarhum ayahnya, Ahmad langsung memilih tinggal di pesantren setibanya di Jogja setelah perjalanan jauh dari kampung halamannya di Nganjuk, Jawa Timur. Tepatnya, ia memilih tinggal di Pondok Pesantren Ar-Risalah, yang terletak di depan Masjid Pathok Negara, Mlangi.
Saat itu 2019, di pesantrennya, Ahmad mesti mengeluarkan uang sebesar Rp 200 ribu per bulan sebagai ongkos tinggal di pesantren. Ia juga rutin mengikuti kegiatan pondok, mungkin sesuai harapan bapaknya. Tinggal di pesantren yang dikenal banyak aturan, sebetulnya membuat Ahmad betah-betah saja.
Kalaupun ada yang kurang dari pesantren tersebut, itu adalah jaraknya yang sangat jauh dari kampusnya. Ahmad berkuliah di UIN Sunan Kalijaga, di jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI). Karena itu, setiap kali berkuliah, Ahmad mesti menempuh jarak sepanjang 12 kilometer lebih.
Maka dari itu, ia sempat terpikir untuk mencari tempat tinggal lain. Di semester 2, ia sempat terpikir untuk tinggal di Masjid UIN Sunan Kalijaga. Hanya saja, saat itu ia merasa tak percaya diri memenuhi persyaratannya.
foto: Dokumentasi pribadi/Ahmad Bisyri
Di satu sisi, Ahmad menguasai berbagai hal, salah satunya fikih yang sangat diperlukan seorang takmir masjid. Namun, di sisi lain, ia tak terlalu pede dengan suaranya, yang juga sangat diperlukan takmir masjid untuk mengisi azan dan lain sebagainya. Ia sebenarnya merasa punya potensi lain yang agaknya bisa berkontribusi terhadap masjid.
Sebagai masjid kampus, ada banyak kegiatan yang harus dilaksanakan. Dan untuk menjalankan kegiatan itu, ada banyak hal yang diperlukan, misalnya saja desain dan publikasi. Seperti yang sudah diungkapkan, Ahmad adalah seorang mahasiswa KPI, yang sedikit banyak bakal belajar desain sepanjang perkuliahan.
Hanya saja, di semester 2, Ahmad belum banyak belajar desain. Niat itu pun diurungkan. Dan pandemi datang. Ahmad pulang ke Nganjuk hingga duduk di semester 5, lantas kembali ke Jogja. Saat itu, masjid kampus kembali menggelar rekrutmen. Ahmad pun merasa sudah cukup siap ketimbang dulu. Ia lantas mendaftarkan diri dan lulus.
Setahun setelahnya, Muzadi datang mendaftarkan diri. Saat itu, mahasiswa teknik industri itu baru saja keluar dari pesantren lamanya yang terletak di Nologaten, tak jauh dari kampus. Ia pindah karena pesantren tersebut memaksa dirinya merogoh kocek dalam-dalam. Selama setahun, Muzadi harus mengeluarkan uang sebesar Rp 5 juta.
Maka dari itu, ia pun juga memilih mendaftarkan diri di UIN. Berebeda dengan Ahmad, Muzadi tidak datang dari tradisi yang religius. Ia tak pernah nyantri seperti Ahmad. Maka dari itu, saat pendaftaran, Muzadi sempat belajar terlebih dahulu agar lolos tes menjadi takmir. Pasalnya, untuk menjadi takmir UIN, ada beragam tes yang harus dilalui. Mulai dari tes suara hingga pengetahuan keagamaan.
Saya dulu sampai nyari-nyari materi seputar keagamaan, browsing-browsing. Sisanya pakai pengetahuan yang ada aja, katanya saat diwawancarai di Kantor Pengurus Masjid UIN Sunan Kalijaga, berbarengan dengan Ahmad.
Kegiatan di masjid kampus bisa berlangsung seharian.
foto: Dokumentasi pribadi/Ahmad Bisyri
Sebagai masjid kampus, Masjid UIN Sunan Kalijaga memang terbilang cukup administratif. Untuk menjadi takmir, ada beragam tes yang perlu dilalui. Pun, kebutuhannya saat mengadakan kegiatan juga banyak. Salah satunya publikasi dan desain seperti yang sudah disebut sebelumnya.
Maka dari itu, takmir masjid UIN berbentuk seperti kepengurusan organisasi, memiliki pengurus harian dan divisi. Pengurus hariannya sama seperti organisasi lainnya, diisi oleh jabatan sekretaris dan bendahara. Kepengurusan mereka bahkan ditetapkan oleh Surat Keputusan (SK) yang diterbitkan oleh kampus. Di SK itulah nama Muzadi tercatat sebagai sekretaris.
Selain pengurus harian, ada pula empat divisi lain, yakni divisi ibadah, kerjasama dan usaha, media dan publikasi, serta sarana dan prasarana. Adapun, Ahmad bertugas di divisi media dan publikasi. Semua divisi dan jabatan itu diisi oleh 7 orang, termasuk Muzadi dan Ahmad.
Bertujuh, mereka mengelola berbagai aktivitas dan kegiatan masjid mulai dari salat jamaah, pengajian, perayaan hari besar Islam, dan lain sebagainya. Karena itu, kegiatan mereka terbilang padat. Maka dari itu juga takmir Masjid UIN Sunan Kalijaga dibantu oleh relawan bernama Sahabat Masjid (SM), yang juga berisi mahasiswa.
foto: Dokumentasi pribadi/Ahmad Bisyri
Dan di antara kegiatan yang cukup padat itu, ada satu waktu di mana mereka mesti beraktivitas hampir seharian penuh. Waktu itu adalah bulan puasa. Sepanjang bulan puasa, mereka beraktivitas sejak jam 3 dinihari hingga hampir pukul 12 malam.
Hal itu wajar belaka, sebab mereka harus menyiapkan sahur hingga salat subuh. Selepas salat subuh, dulunya ada kuliah tujuh menit (kultum) yang diisi langsung oleh para takmir. Tapi itu dulu sih, sekarang mungkin karena pada nggak berani jadi sudah nggak ada, kata Ahmad.
Setelah itu, mereka masih harus lanjut duduk di kelas hingga sore, kalau mata kuliah lagi padat-padatnya. Mereka lantas lanjut menyiapkan takjil dan salat terawih hingga pukul 21.00 WIB. Bagian paling rumit dan melelahkan, kata Ahmad, ketika mengurus salat terawih, apalagi di hari-hari pertama bulan puasa.
Di momen tersebut, masjid bisa dipadati sekira 3000 orang. Dan mereka, para takmir, harus mengondisikan agar kegiatan itu bisa berlangsung dengan nyaman dan aman. Untungnya, di bulan puasa, mereka mengadakan rekrutmen relawan lagi sehingga pekerjaan bisa sedikit lebih ringan.
Di bulan puasa 2023 lalu, ada 65 relawan yang membantu takmir menjalankan kegiatan harian. Meski dengan kegiatan yang padat dan nyaris seharian, namun hal tersebut nyatanya tak membuat kegiatan kuliah mereka jadi terbengkalai.
Nggak (ganggu kuliah) sih, Mas, kata Ahmad pendek.
Makanya kita memang dibatasi ikut organisasi yang menguras banyak waktu. Dan secara prioritas yang paling utama tetap perkuliahan. Jadi pertama kuliah, kedua masjid, ketiga barulah aktivitas lainnya, lanjutnya Ahmad.
Privilege para takmir masjid.
Ahmad juga menambahkan, menjadi pengurus masjid sebetulnya nggak sesibuk beberapa organisasi lain yang kerapkali rapat hingga larut malam. Paling tidak, kata Ahmad, di waktu paling sibuk mereka mentok hanya berkegiatan hingga pukul 12 malam.
Di hari-hari biasa, mereka juga cuma wajib mengisi kegiatan masjid seperti salat jamaah. Itupun kalau tidak ada kelas. Ketika salat jamaah mepet dengan jam kelas, mereka diimbau untuk memprioritaskan perkuliahan. Di sinilah para takmir dan SM saling bahu-membahu.
Sisanya, mereka bisa menjalani aktivitas masing-masing. Mereka juga mendapatkan berbagai fasilitas yang mungkin tak dimiliki beberapa anak indekos. Misalnya saja wifi, dapur, dan uang saku.
Malah lebih padat di pondok dulu kalau aku, terang Ahmad.
foto: Dokumentasi pribadi/Ahmad Bisyri
Maka dari itu, Ahmad bisa dibilang sangat betah menjadi takmir. Ia bahkan masih menjadi takmir meski sudah wisuda pada November 2023 lalu. Hanya saja, sebentar lagi masa kepengurusannya sudah habis. Juga sudah ada rekrutmen untuk menggantikan Ahmad di divisi media dan publikasi.
Sementara itu, Muzadi masih akan melanjutkan aktivitasnya sebagai takmir hingga beberapa waktu ke depan. Ia juga mengaku betah. Dan tak lagi terbebani secara finansial ketimbang dulu. Ia juga masih bisa mengikuti kegiatan perkuliahan secara optimal dan mengikuti organisasi himpunan mahasiswa jurusan.